Anakmu Bukanlah Milikmu – Kahlil Gibran
Anakmu bukanlah milikmu,
mereka adalah putra putri sang Hidup,
yang rindu akan dirinya sendiri.
Mereka lahir lewat engkau,
tetapi bukan dari engkau,
mereka ada padamu, tetapi bukanlah milikmu.
Berikanlah mereka kasih sayangmu,
namun jangan sodorkan pemikiranmu,
sebab pada mereka ada alam pikirannya sendiri.
Patut kau berikan rumah bagi raganya,
namun tidak bagi jiwanya,
sebab jiwa mereka
adalah penghuni rumah masa depan,
yang tiada dapat kau kunjungi,
sekalipun dalam mimpimu.
Engkau boleh berusaha menyerupai mereka,
namun jangan membuat mereka menyerupaimu,
sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
ataupun tenggelam
ke masa lampau.
Engkaulah busur
asal anakmu,
anak panah hidup,
melesat pergi.
Sang Pemanah
membidik sasaran keabadian,
Dia merentangkanmu dengan kuasa-Nya,
hingga anak panah
itu melesat jauh dan cepat.
Bersukacitalah
dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
sebab Dia mengasihi
anak-anak panah yang melesat laksana kilat,
sebagaimana
dikasihi-Nya
pula busur yang mantap.
Analisis Pendekatan Didaktis dalam Puisi “Anakmu Bukanlah
milikmu” Kahlil Gibran
A. Aspek Moral Orang tua dan Remaja dalam Puisi
“Anakmu Bukanlah Milikmu” Kahlil Gibran
Sudah menjadi rahasia
umum, bahwasannya masih ada orang tua yang menuntut bahkan memaksa remaja atau anaknya
untuk menuruti keinginan orang tua. Saat seorang anak itu menolak keinginan
tersebut, orang tua akan menganggap bahwasannya anak itu tidak tahu etika dan
moral kepada orang tuanya.
Adapun pengertian moral
secara
etimologis, kata moral berasal dari kata mos
dalam bahasa Latin, bentuk jamaknya mores,
yang artinya adalah tata-cara atau adat-istiadat. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1989: 592), moral diartikan sebagai akhlak, budi pekerti, atau
susila. Secara terminologis, terdapat berbagai rumusan pengertian moral, yang
dari segi substantif materiilnya tidak ada perbedaan, akan tetapi bentuk
formalnya berbeda. Widjaja (1985:
154) menyatakan bahwa moral adalah ajaran baik dan buruk tentang perbuatan dan
kelakuan (akhlak). Al-Ghazali (1994: 31) mengemukakan pengertian akhlak,
sebagai padanan kata moral, sebagai perangai (watak, tabiat) yang menetap kuat
dalam jiwa manusia dan merupakan sumber timbulnya perbuatan tertentu dari
dirinya secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan dan direncanakan
sebelumnya.
Kata moral juga sering disinonimkan dengan etika, yang
berasal dari kata ethos dalam bahasa
Yunani Kuno, yang berarti kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, atau
cara berfikir.
Dalam puisi karya Kahlil Gibran yang berjudul “Anakmu Bukanlah
Milikmu” terdapat beberapa kutipan mengenai moral orang tua terhadap remaja
atau anaknya, yaitu dalam bait ketiga dan kelima.
“Berikanlah mereka kasih sayangmu,
namun jangan sodorkan pemikiranmu,
sebab pada mereka ada alam
pikirannya sendiri.”
Pada kutipan di bait
ketiga, orang tua dianjurkan untuk memberikan kasih sayang kepada anaknya
sebagaimana mestinya. Namun dalam memberikan kasih sayangnya itu, orang tua
tidak boleh memberikan secara paksa pemikirannya kepada anak, karena anak itu
sudah memiliki pemikirannya sendiri. Misalnya, seorang anak bermimpi menjadi seorang
penulis, namun orang tua menginginkan anaknya menjadi seorang dokter dengan
alasan menjadi seorang dokter masa depan anaknya bisa terjamin. Tetapi anaknya
menolak, dan orang tua mengatakan kalau anaknya itu tidak punya etika terhadap
orang tua. Sebagai orang tua, melakukan hal semacam itu tentu salah, seharusnya
orang tua mendukung keinginan anak selama itu dalam hal positif. Sehingga, anak
bisa leluasa menuangkan bakat minatnya, dan menjadi diri sendiri.
“Engkau boleh berusaha menyerupai
mereka,
namun jangan membuat mereka
menyerupaimu,
sebab kehidupan tidak pernah
berjalan mundur,
ataupun tenggelam ke masa lampau.”
Bait kelima menjelaskan
kalau orang tua tidak boleh membuat anak menyerupainya. Hal ini dimaksudkan
bahwa anak itu tidak tentu mengikuti jejak orang tuanya. Salah satu contoh,
orang tua berprofesi sebagai guru dan anak dituntut menjadi seorang guru juga.
Nyatanya tidak seperti itu. Orang tua seharusnya memberikan kebebasan anak
dalam menata masa depannya. Hal ini karena zaman sudah berubah, dan anak itu
tidak mungkin kembali melalui masa-masa yang dilalui orang tuanya.
Mengenai moral orang tua
dan remaja, Kahlil Gibran melalui puisinya yang berjudul “Anakmu Bukanlah
Milikmu” ini mempunyai sudut pandang bahwasannya dia sebagai penyair mengambil
sikap kalau orang tua itu tidak berhak menuntut anak dalam hal mimpi dan masa
depannya. Orang tua hanya sebagai pengawas dan yang memfalisitasi anak. Dan hal
ini relevan dengan jaman sekarang, karena perubahan jaman tentu saja akan
membuka peluang dan macam-macam mimpi maupun harapan anak.
Meski dalam puisinya,
Kahlil Gibran lebih mengambil sudut pandang dari anak, tidak menuntut kemungkinan
itu merupakan cara terbaiknya dalam membebaskan dan ikut menyuarakan anak-anak
untuk menggapai mimpi dan keinginannya selama ini.
B.
Aspek Religiusitas Orang tua dan Remaja dalam Puisi
“Anakmu Bukanlah Milikmu” Kahlil Gibran
Dalam kehidupan manusia,
tentu saja tidak terlepas dari Sang Pencipta. Segala sesuatu yang terjadi
berasal dari-Nya, dari yang datang berupa musibah, bencana, rasa aman dan
bahagia. Karena itu dalam melakukan ibadah-Nya, setiap manusia memiliki cara
yang berbeda.
Nilai religiusitas
adalah nilai yang mendasari dan menuntun tindakan hidup ketuhanan manusia,
dalam mempertahankan dan mengembangkan ketuhanan manusia dengan cara dan tujuan
yang benar. Istilah religiusitas, pengertiannya berbeda dengan agama (religi).
Religiusitas lebih menunjuk pada aspek yang ada dalam lubuk hati manusia, riak
getaran hati pribadi manusia, sikap personal yang bersifat misteri bagi orang
lain, karena menafaskan intimitas jiwa. Religiusitas memperlihatkan nafas
intensitas jiwa, yaitu cita rasa yang merupakan kesatuan rasio dan rasa
manusiawi ke dalam pribadi manusia (Mangunwijaya, 1988:12). Kesatuan rasa dan
rasio itu selanjutnya dipakai manusia untuk berhubungan dengan Tuhan. Sedangkan
agama (religi) lebih menunjuk pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dan
kepada “dunia atas” dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan
hukum-hukumnya, serta keseluruhan organisasi tafsir Alkitab dan sebagainya yang
melingkupi segi-segi kemasyarakatan.
Dalam puisi karya Kahlil Gibran yang berjudul “Anakmu Bukanlah
Milikmu” terdapat beberapa kutipan mengenai religiusitas orang tua terhadap
remaja atau anaknya, yaitu dalam bait ketujuh dan kedelapan.
“Sang Pemanah membidik sasaran
keabadian,
Dia merentangkanmu dengan kuasa-Nya,
hingga anak panah itu melesat jauh
dan cepat.”
Kutipan di atas
menjelaskan bahwa Tuhan menuntun anak atau remaja hingga mencapai mimpi atau
harapan anak. Melalui fasilitas yang diberikan oleh orang tua. Maksudnya dalam
kehidupan ini Tuhan selalu membantu hamba-hamb-Nya melewati berbagai cara.
“Bersukacitalah dalam rentangan
tangan Sang Pemanah,
sebab Dia mengasihi anak-anak panah
yang melesat laksana kilat,
sebagaimana dikasihi-Nya pula busur
yang mantap.”
Dalam kutipan yang
kedelapan, bahwasannya Tuhan menyukai anak-anak yang memiliki semangat dan
cita-cita besar, tetapi juga diikuti dengan usaha-usaha. Sehingga apa yang
diimpikan dapat terwujud. Seperti kata pepatah, usaha tanpa doa, dan sebaliknya
itu hanya omong kosong.
Mengenai religiusitas
orang tua dan remaja, Kahlil Gibran melalui puisinya yang berjudul “Anakmu
Bukanlah Milikmu” ini tentu saja sangat relevan dalam kehidupan. Meski dengan
cara yang berbeda dalam melaksanakan ibadah-ibadah yang diperintahkan-Nya.
Salah satu contoh dari puisi Kahlil, dengan membiarkan anak memilih jalan
hidupnya, yang didukung dan difalisitasi orang tua namun tak luput dari usaha
dan doa anak tersebut, sehingga tidak merisaukan apakah semua itu dapat
terwujud atau tidak, karena Tuhan tidak akan menyia-nyiakan apa yang dilakukan
oleh hamba-hamba-Nya.
C.
Aspek Kepribadian Remaja dalam Puisi “Anakmu
Bukanlah Milikmu” Kahlil Gibran
Manusia mempunyai
kepribadian yang beragam. Semua kepribadian manusia didasari oleh keadaan
lingkungan dan bagaimana manusia dalam berproses. Dari kepribadian yang beragam
inilah, manusia satu dan yang lain juga akan mempunyai pemikiran yang berbeda
pula dalam menjalani kesehariannya.
Nilai kepribadian adalah
nilai yang mendasari dan menjadi panduan hidup pribadi setiap manusia. Nilai
itu merupakan arah dan aturan yang perlu dilakukan sebagai hidup pribadi
manusia (Simorangkir, 1987:14). Nilai kepribadian ini digunakan individu untuk
menentukan sikap dalam mengambil keputusan dalam menjalankan kehidupan pribadi
manusia itu sendiri. Lebih dari itu, nilai kepribadian juga digunakan untuk
menginterpretasikan hidup ini oleh dan untuk pribadi masing-masing manusia
(Jarolimek dalam Sukatman, 1992:34).
Dalam puisi karya Kahlil Gibran yang berjudul “Anakmu Bukanlah
Milikmu” terdapat beberapa kutipan mengenai kepribadianr emaja atau anaknya,
yaitu dalam bait ketiga.
“Berikanlah mereka kasih sayangmu,
namun jangan sodorkan pemikiranmu,
sebab pada mereka ada alam
pikirannya sendiri.”
Kutipan di atas
menyebutkan bahwa, setiap anak itu mempunyai pemikiran sendiri. Mereka
mempunyai gagasan untuk menjadi manusia seutuhnya menurut versi mereka.
Sehingga, meskipun orang tua misalnya memberikan pemikirannya kepada anak, mungkin
sebagian besar akan mempertimbangkan itu namun kebanyakan anak akan mengikuti
intuisi yang dimilikinya.
Tentu saja ini relevan
dalam kehidupan kita di zaman serba modern ini. Anak tidak mungkin kembali ke
masa-masa orang tua dan kembali dengan cara orang dulu, dengan pemikiran yang
masih primitif. Zaman modern menuntut anak untuk berpikir lebih maju dan
berkembang.