Nilai Religiusitas dalam Puisi Abdul Hadi-Tuhan Kita Begitu Dekat

1.      Abdul M.W - Tuhan, Kita Begitu Dekat

Tuhan
Kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam apimu
Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti kain dengan kapas
Aku kapas dalam kainmu
Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti angin dengan arahnya
Kita begitu dekat
Dalam gelap
Kini aku nyala
Pada lampu padammu
Abdul Hadi WM adalah seorang sastrawan, budawayan dan ahli filsafat Indonesia. Ia dikenal melalui karya-karyanya yang bernafaskan sufistik, penelitian-penelitiannya dalam bidang kesusastraan Melayu Nusantara dan pandangan-pandangannya tentang Islam dan pluralisme. 
Hadi merupakan keturunan dari saudagar Tionghoa yang hijrah dan menetap di Sumenep. Ayahnya, K. Abu Muthar, adalah seorang saudagar dan guru bahasa Jerman. Sementara ibunya, R. A. Martiya adalah putri keraton Solo. Anak sulung dari empat bersaudara ini sudah mengenal bacaan berat dari pemikir-pemikir seperti Plato, Sokrates, Imam Ghazali, Rabindranath Tagore, dan Muhammad Iqbal sejak ia kecil. 
Dalam puisinya yang berjudul “Tuhan, Kita Begitu Dekat” menyatakan bahwa ia dekat dengan Tuhan. Salah satu kutipannya pada larik ketiga dan keempat.

Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam apimu

Pada bait di atas menunjukkan hubungan perbandingan kedekatan antara manusia dengan Tuhan. Dengan begitu dapat diartikan bahwa manusia adalah bagian yang tidak bisa terpisahkan dari Tuhan sebagai pemilik kehidupan.

Dari kedua larik di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwasannya puisi “Tuhan, Kita Begitu Dekat” karya Abdul Hadi ini termasuk ke dalam sastra profetik yang sufistik, yaki ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihkan akhlak, membangun dhahir dan batin serta untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi.

Nilai Religiusitas dalam Puisi Ainun Najib-Ikrar

1.      Ainun Najib - Ikrar

Di dalam sinar-Mu
Segala soal dan wajah dunia
Tak menyebabkan apa-apa
Aku sendirilah yang menggerakkan laku
Atas nama-Mu
Kuambil siakp, total dan tuntas
Maka getaranku
Adalah getaran-Mu
Lenyap segala dimensi
Baik dan buruk, kuat dan lemah
Keutuhan yang ada
Terpelihara dalam pasrah dan setia
Menangis dalam tertawa
Bersedih dalam gembira
Atau sebaliknya
Tak ada kekaguman, kebanggaan, segala belenggu
Mulus dalam nilai satu
Kesadaran yang lebih tinggi
Mengatasi pikiran dan emosi
Menetaplah, berbahagialah
Demi para tetangga
Tetapi di dalam kamu kosong
Ialah wujud yang tak terucapkan, tak tertuliskan
Kugenggam kamu
Kau genggam aku
Jangan sentuh apapun
Yang menyebabkan noda
Untuk tidak melepaskan, menggenggam lainnya
Berangkat ulang jengkal pertama

Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun lahir di Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953. Ia merupakan anak keempat dari 15 bersaudara.  Dalam kesehariannya, Emha terjun langsung di masyarakat dan melakukan aktivitas-aktivitas yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik, sinergi ekonomi guna menumbuhkan potensialitas rakyat. Dalam pertemuan-pertemuan sosial tersebut ia melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.
Dalam salah satu karya puisinya, yang berjudul “Ikrar” mempunyai makna bahwa semua yang terjadi di dunia ini semata-mata karena Sang Pencipta. Apa yang dianggap milik kita, sebenarnya semua itu hanya titipan semata, dan tentunya semua kembali milik Tuhan. Bahkan perasaan dalam emosi juga bukan milik kita. Dan kembalilah kepada Tuhan untuk mengatasi pikiran dan emosi. Dengan saling mendekatkan diri dalam menggapai kebahagiaan. Namun jangan menjauhkan diri dari Tuhan supaya tidak menyebabkan noda yang berarti hal yang tidak baik.
Dalam puisi di atas dapat dikatakan adalah proses manusia dalam beribadah terhadap Tuhan. Hal-hal demikian tentu dapat kita temui di kehidupan sehari-hari, dengan begitu dapat disimpulkan kalau puisi “Ikrar” karya Ainun Najib ini termasuk dalam sastra profetik yang transendental.



Nilai Religiusitas dalam Puisi Taufik Ismail-Sajadah Panjang

1.      Taufik Ismail -  Sajadah Panjang
Ada sajadah panjang terbentang
Dari kaki buaian
Sampai ke tepi kuburan hamba
Kuburan hamba bila mati

Ada sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan sujud
Di atas sajadah yang panjang ini

Diselingi sekedar interupsi
Mencari rezeki, mencari ilmu
Mengukur jalanan seharian
Begitu terdengar suara azan
Kembali tersungkur hamba

Ada sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan rukuk
Hamba sujud dan tak lepas kening hamba
Mengingat Dikau
Sepenuhnya.
1984
Taufik Ismail adalah seorang sastrawan ternama di Indonesia. Taufik lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat 25 Juni 1935. Ia tumbuh dalam keluarga guru dan wartawan yang suka membaca.
Taufik Ismail adalah salah satu penyair yang dari beberapa karyanya mengandung sastra profetik. Salah satu contohnya pada puisi “Sajadah Panjang”. Dalam puisi tersebut Taufik sebagai penyair hendak menggambarkan dirinya yang selalu tunduk terhadap apa-apa yang diperintahkan oleh Tuhan. Meskipun begitu tidak semata-mata berkaitan dengan urusan akhirat saja namun juga dunia. Pernyataan tersebut terdapat pada kutipan bait ketiga.
Meskipun demikian, puisi “Sajadah Panjang” karya Taufik Ismail ini lebih menekankan pada ketuhanan, atau istilah dalam sastra profetiknya yaitu termasuk dalam sastra yang berjiwa sufistik. Dan pernyataan tersebut diperkuat dengan bait terakhir yaitu:

Ada sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan rukuk
Hamba sujud dan tak lepas kening hamba
Mengingat Dikau
Sepenuhnya.

Bait di atas menjelaskan bahwa Taufik Ismail melalui ibadahnya tetap tunduk terhadap perintah Tuhan, tetap mengingat Tuhan dalam kondisi apapun. Karena itulah mengapa puisi karya Taufik Ismail yang berjudul “Sajadah Panjang” ini termasuk dalam sastra profetik sufistik.



Nilai Religiusitas dalam Puisi Iwan Simatupang-Pada Kepergian Bersama Angin

1.      Iwan Simatupang - Pada Kepergian Bersama Angin
buat murid-muridku di Surabaya


Irama dari bahaya dan bencana
Lagi-lagi gentayangan dari jauhan
Ah, mengapa panji tak kuangkat saja kembali
Dan
Berlari jingkat telanjang bulat ke muka
Dengan tembilang
Memupus segala jejak di belakang?
Usah duga
Mana tugu ujung segala pencarian
Hanya
: Bila pelangi cerlangi dinihari pekat
Dan asap berkepul hijau dari bintang-gerhana –
Datang, datanglah kau
Ziarahi aku dalam bayang terkulai
Dari tiang gantungan atas piala racun tercecer...

Dan aku
Akan ziarahi semua
Penziarah

Dengan senyum –
Seribu-kiamat



Iwan Martua Dongan Simatupang, lebih umum dikenal sebagai Iwan Simatupang adalah seorang novelis, penyair, dan esais Indonesia. Iwan Simatupang lahir di Sibolga, pada 18 Januari 1928, Ia belajar di HBS di Medan, lalu melanjutkan ke sekolah kedokteran (NIAS) di Surabaya tetapi tidak selesai. Kemudian belajar antropologi di Universitas Leiden (1954-56), drama di Amsterdam, dan filsafat di Universitas Sorbonne, Paris, Perancis pada Prof. Jean Wahl pada 1958.
Pada mulanya ia menulis sajak, tetapi kemudian terutama menulis esai, cerita pendek, drama dan roman. Sebagai pengarang prosa ia menampilkan gaya baru, baik dalam esainya, maupun dalam drama, cerita pendek dan terutama dalam romannya; dengan meninggalkan cara-cara konvensional dan alam pikiran lama. Jalan cerita dan penampilan watak dalam semua karangannya tidak lagi terikat oleh logika untuk sampai kepada nilai-nilai baru yang lebih mendasar.
Puisi di atas mengisahkan “Aku” yang tengah mengalami musibah atau bencana, dia berusaha mencari bantuan, yang dalam puisi di atas terdapat pada bait kedua larik kedua, yakni “Mana tugu ujung segala pencarian” hingga pada akhirnya “Aku”  tersebut tidak menemukan ujung yang dicari, lalu ajalnya menjemput dengan amarah karena belum menemukan ujung pencariannya.
Puisi “Pada Kepergian Bersama Angin” ini termasuk ke dalam sastra profetik yang transendental yaitu pengalaman keseharian yang bersifat supralogis.

Nilai Religiusitas dalam Puisi Idrus-Akhir Kata

1.      Idrus - Akhir Kata

Pada mulanya ialah bunyi
Lalu tercipta kata pertama
Untuk menyatakan terima kasih
Dari hati yang putih tak tercela

Setelah itu
Seperti benih tumbuhkan tunas
Bunga-bunga dan buahnya lebat sarat
Itulah kosa kata bahasa manusia
Dan dengan itu semua
Kulahirkan puisi
Kisah pengkhianatanku kepadamu
Dendang tentang cinta kita
Mabuk seribu malam
Dan doa-doa yang membumbung
Terbang ke langit
Seperti burung-burung putih kecil-kecil
Coba menggapai singgasanamu

Pada mulanya ialah bunyi
Dan akhirnya tak lain sunyi

Abdullah Idrus adalah sastrawan kelahiran Padang, 21 September 1921 yang tergolong produktif mengelurkan karyanya. Sejak duduk di bangku sekolah, memang sangat kentara bahwa ia sangat berminat dengan dunia sastra. Ia kerap membaca roman dan novel Eropa di perpustakaan sekolah. Pada usia yang tergolong muda, ia juga telah menulis beberapa cerpen.
Dalam salah satu karyanya yang berjudul “Akhir Kata” Idrus memaknai pada mulanya manusia diciptakan dengan hati yang suci atau hati manusia saat baru dilahirkan dalam keadaan bersih. Setelah itu manusia tumbuh berkembang, dalam proses ini tentu saja manusia sudah mengerti tentang baik dan buruk dan semestinya manusia akan melakukan hal yang demikian itu. Dalam puisi “Akhir Kata” kutipannya terdapat pada larik pertama sampai pada larik kesebelas.
Selanjutnya pada larik kedua belas sampai larik ketujuh belas mengenai permohonan ampunan atau bertaubat atas apa yang dilakukan. Seolah-olah doa yang diucapkan sampai singgahsana yang dimaksudkan adalah doanya didengar Tuhan. Pada larik kedelapan belas dan sembilan belas dimaknai bahwa setiap yang hidup atau yang lahir, melakukan hal baik dan buruk, kemudian bertaubat dan yang selanjutnya akan bertemu dengan ajal. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, puisi “Akhir Kata” karya Idrus ini termasuk ke dalam sastra profetik yang transendental, yaitu pengalaman keseharian yang bersifat supralogis. 

Nilai Religiusitas dalam Puisi Amir Hamzah-Padamu Jua

1.      Amir Hamzah - Padamu jua


Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu


Kaulah kendi kemerlap
Pelita jendela dimalam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia, selalu


Satu kasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Dimana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati




Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas


Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa darah dibalik tirai

Kasihku sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu—bukan giliranku
Mati hari—bukan kawanku



Tengkoe Amir Hamzah Pangeran Indra Poetera, atau lebih dikenal hanya dengan nama pena Amir Hamzah lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur, Hindia Belanda, 28 Februari 1911 – meninggal  di Kwala Begumit, Binjai, Langkat, Indonesia, 20 Maret 1946 pada umur 35 tahun. Amir mulai menulis puisi saat masih remaja meskipun karya-karyanya tidak bertanggal, yang paling awal diperkirakan telah ditulis ketika ia pertama kali melakukan perjalanan ke Jawa.
Puisi-puisi Amir sarat dengan tema cinta dan agama, dan puisinya sering mencerminkan konflik batin yang mendalam. Diksi pilihannya yang menggunakan kata-kata bahasa Melayu dan bahasa Jawa dan memperluas struktur tradisional, dipengaruhi oleh kebutuhan untuk ritme dan metrum, serta simbolisme yang berhubungan dengan istilah-istilah tertentu. Karya-karya awalnya berhubungan dengan rasa rindu dan cinta, baik erotis dan ideal, sedangkan karya-karyanya selanjutnya mempunyai makna yang lebih religius.
Pada salah satu puisinya yang berjudul “Padamu Jua” ini Amir Hamzah berusaha mengutarakan rasa keingintahuan kepada Sang Pencipta. Hal itu dipertegas pada bait keempat:
Dimana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati



Bahkan dalam puisi tersebut, pengarang menuliskan tentang kegelisahan seseorang atas pencarian jati dirinya dalam menemukan Tuhan. Dengan demikian, salah satu puisi karya Amir Hamzah ini termasuk dalam sastra profetik yang sufistik yakni karya sastra yang mengandung ajaran sufi atau sufisme yaitu ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin serta untuk memperoleh kebahagian yang abadi. 

Nilai Religiusitas dalam Puisi Sanusi Pane-Kembang Melati

Sanusi Pane - Kembang Melati


Aku menyusun kembang melati
Di bawah bintang tengah malam,
Buat menunjukkan betapa dalam
Cinta kasih memasuki hati.
Aku tidur menantikan pagi
Dan mimpi dalam bah’gia
Duduk bersanding dengan Dia
Di atas pelaminan dari pelangi
Aku bangun, tetapi mentari
Sudah tinggi di cakrawala
Dan pujaan sudah selesai
O Jiwa, yang menanti hari,
Sudah Hari datang bernyala,
Engkau bermimpi, termenung lalai. 

Sanusi Pane adalah salah seorang Sastrawan Indonesia angkatan 20-an. Dilahirkan di Muara Sipongi, Tapanuli, pada tanggal 14 Mei 1905 dan meninggal di Jakarta tanggal 2 Juni 1968. Setelah menamatkan H.I.K. Gunung Sari, lalu mengajar bahasa Melayu di sana waktu usianya baru 19 tahun.

Sanusi sangat tertarik kebudayaan dan mistik India dan Jawa, hal tersebut dapat dilihat dari sajak-sajak dan karangannya. Salah satu contoh pada puisi “Kembang Melati” misalnya. Pada larik ketujuh puisi di atas, dengan kutipan yaitu “Duduk bersanding dengan Dia,” Sanusi Pane mencoba menggambarkan tokoh aku tengah duduk bersanding dengan Dia yang menunjuk pada Tuhan. 

Dalam puisi tersebut tokoh aku tengah bersuka ria, dia menunggu pagi sambil menyusun kembang melati yang berarti kesucian yang sederhana. Lalu  dia berbahagia yang diibaratkan tengah duduk bersama Tuhan namun ternyata itu hanya mimpi dan dia terbangun saat hari sudah menjelang siang.

Hal tersebut menunjukkan bahwasannya puisi “Kembang Melati” termasuk dalam sastra profetik yang transendental karena pengalaman yang dipaparkan penulisnya ialah pengalaman transendental, seperti ekstase, kerinduan, dan persatuan mistikal dengan Yang Transenden. Pengalaman ini berada di atas pengalaman keseharian dan bersifat supralogis.


PENDEKATAN DIDAKTIS PUISI “ANAKMU BUKANLAH MILIKMU” KAHLIL GIBRAN

Anakmu Bukanlah Milikmu – Kahlil Gibran

Anakmu bukanlah milikmu,
mereka adalah putra putri sang Hidup,
yang rindu akan dirinya sendiri.

Mereka lahir lewat engkau,
tetapi bukan dari engkau,
mereka ada padamu, tetapi bukanlah milikmu.

Berikanlah mereka kasih sayangmu,
namun jangan sodorkan pemikiranmu,
sebab pada mereka ada alam pikirannya sendiri.

Patut kau berikan rumah bagi raganya,
namun tidak bagi jiwanya,
sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,
yang tiada dapat kau kunjungi,
sekalipun dalam mimpimu.

Engkau boleh berusaha menyerupai mereka,
namun jangan membuat mereka menyerupaimu,
sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
ataupun tenggelam ke masa lampau.

Engkaulah busur asal anakmu,
anak panah hidup, melesat pergi.

Sang Pemanah membidik sasaran keabadian,
Dia merentangkanmu dengan kuasa-Nya,
hingga anak panah itu melesat jauh dan cepat.

Bersukacitalah dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat,
sebagaimana dikasihi-Nya pula busur yang mantap.


Analisis Pendekatan Didaktis dalam Puisi “Anakmu Bukanlah milikmu” Kahlil Gibran
A.   Aspek Moral Orang tua dan Remaja dalam Puisi “Anakmu Bukanlah Milikmu” Kahlil Gibran
Sudah menjadi rahasia umum, bahwasannya masih ada orang tua yang menuntut bahkan memaksa remaja atau anaknya untuk menuruti keinginan orang tua. Saat seorang anak itu menolak keinginan tersebut, orang tua akan menganggap bahwasannya anak itu tidak tahu etika dan moral kepada orang tuanya.
Adapun pengertian moral secara etimologis, kata moral berasal dari kata mos dalam bahasa Latin, bentuk jamaknya mores, yang artinya adalah tata-cara atau adat-istiadat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989: 592), moral diartikan sebagai akhlak, budi pekerti, atau susila. Secara terminologis, terdapat berbagai rumusan pengertian moral, yang dari segi substantif materiilnya tidak ada perbedaan, akan tetapi bentuk formalnya berbeda. Widjaja (1985: 154) menyatakan bahwa moral adalah ajaran baik dan buruk tentang perbuatan dan kelakuan (akhlak). Al-Ghazali (1994: 31) mengemukakan pengertian akhlak, sebagai padanan kata moral, sebagai perangai (watak, tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa manusia dan merupakan sumber timbulnya perbuatan tertentu dari dirinya secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan dan direncanakan sebelumnya.
Kata moral juga sering disinonimkan dengan etika, yang berasal dari kata ethos dalam bahasa Yunani Kuno, yang berarti kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, atau cara berfikir. 
 Dalam puisi karya  Kahlil Gibran yang berjudul “Anakmu Bukanlah Milikmu” terdapat beberapa kutipan mengenai moral orang tua terhadap remaja atau anaknya, yaitu dalam bait ketiga dan kelima.
Berikanlah mereka kasih sayangmu,
namun jangan sodorkan pemikiranmu,
sebab pada mereka ada alam pikirannya sendiri.
Pada kutipan di bait ketiga, orang tua dianjurkan untuk memberikan kasih sayang kepada anaknya sebagaimana mestinya. Namun dalam memberikan kasih sayangnya itu, orang tua tidak boleh memberikan secara paksa pemikirannya kepada anak, karena anak itu sudah memiliki pemikirannya sendiri. Misalnya, seorang anak bermimpi menjadi seorang penulis, namun orang tua menginginkan anaknya menjadi seorang dokter dengan alasan menjadi seorang dokter masa depan anaknya bisa terjamin. Tetapi anaknya menolak, dan orang tua mengatakan kalau anaknya itu tidak punya etika terhadap orang tua. Sebagai orang tua, melakukan hal semacam itu tentu salah, seharusnya orang tua mendukung keinginan anak selama itu dalam hal positif. Sehingga, anak bisa leluasa menuangkan bakat minatnya, dan menjadi diri sendiri.

“Engkau boleh berusaha menyerupai mereka,
namun jangan membuat mereka menyerupaimu,
sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
ataupun tenggelam ke masa lampau.”
Bait kelima menjelaskan kalau orang tua tidak boleh membuat anak menyerupainya. Hal ini dimaksudkan bahwa anak itu tidak tentu mengikuti jejak orang tuanya. Salah satu contoh, orang tua berprofesi sebagai guru dan anak dituntut menjadi seorang guru juga. Nyatanya tidak seperti itu. Orang tua seharusnya memberikan kebebasan anak dalam menata masa depannya. Hal ini karena zaman sudah berubah, dan anak itu tidak mungkin kembali melalui masa-masa yang dilalui orang tuanya.
Mengenai moral orang tua dan remaja, Kahlil Gibran melalui puisinya yang berjudul “Anakmu Bukanlah Milikmu” ini mempunyai sudut pandang bahwasannya dia sebagai penyair mengambil sikap kalau orang tua itu tidak berhak menuntut anak dalam hal mimpi dan masa depannya. Orang tua hanya sebagai pengawas dan yang memfalisitasi anak. Dan hal ini relevan dengan jaman sekarang, karena perubahan jaman tentu saja akan membuka peluang dan macam-macam mimpi maupun harapan anak.
Meski dalam puisinya, Kahlil Gibran lebih mengambil sudut pandang dari anak, tidak menuntut kemungkinan itu merupakan cara terbaiknya dalam membebaskan dan ikut menyuarakan anak-anak untuk menggapai mimpi dan keinginannya selama ini.
B.  Aspek Religiusitas Orang tua dan Remaja dalam Puisi “Anakmu Bukanlah Milikmu” Kahlil Gibran
Dalam kehidupan manusia, tentu saja tidak terlepas dari Sang Pencipta. Segala sesuatu yang terjadi berasal dari-Nya, dari yang datang berupa musibah, bencana, rasa aman dan bahagia. Karena itu dalam melakukan ibadah-Nya, setiap manusia memiliki cara yang berbeda.
Nilai religiusitas adalah nilai yang mendasari dan menuntun tindakan hidup ketuhanan manusia, dalam mempertahankan dan mengembangkan ketuhanan manusia dengan cara dan tujuan yang benar. Istilah religiusitas, pengertiannya berbeda dengan agama (religi). Religiusitas lebih menunjuk pada aspek yang ada dalam lubuk hati manusia, riak getaran hati pribadi manusia, sikap personal yang bersifat misteri bagi orang lain, karena menafaskan intimitas jiwa. Religiusitas memperlihatkan nafas intensitas jiwa, yaitu cita rasa yang merupakan kesatuan rasio dan rasa manusiawi ke dalam pribadi manusia (Mangunwijaya, 1988:12). Kesatuan rasa dan rasio itu selanjutnya dipakai manusia untuk berhubungan dengan Tuhan. Sedangkan agama (religi) lebih menunjuk pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dan kepada “dunia atas” dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya, serta keseluruhan organisasi tafsir Alkitab dan sebagainya yang melingkupi segi-segi kemasyarakatan.
Dalam puisi karya  Kahlil Gibran yang berjudul “Anakmu Bukanlah Milikmu” terdapat beberapa kutipan mengenai religiusitas orang tua terhadap remaja atau anaknya, yaitu dalam bait ketujuh dan kedelapan.
“Sang Pemanah membidik sasaran keabadian,
Dia merentangkanmu dengan kuasa-Nya,
hingga anak panah itu melesat jauh dan cepat.”
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Tuhan menuntun anak atau remaja hingga mencapai mimpi atau harapan anak. Melalui fasilitas yang diberikan oleh orang tua. Maksudnya dalam kehidupan ini Tuhan selalu membantu hamba-hamb-Nya melewati berbagai cara.

“Bersukacitalah dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat,
sebagaimana dikasihi-Nya pula busur yang mantap.”
Dalam kutipan yang kedelapan, bahwasannya Tuhan menyukai anak-anak yang memiliki semangat dan cita-cita besar, tetapi juga diikuti dengan usaha-usaha. Sehingga apa yang diimpikan dapat terwujud. Seperti kata pepatah, usaha tanpa doa, dan sebaliknya itu hanya omong kosong.
Mengenai religiusitas orang tua dan remaja, Kahlil Gibran melalui puisinya yang berjudul “Anakmu Bukanlah Milikmu” ini tentu saja sangat relevan dalam kehidupan. Meski dengan cara yang berbeda dalam melaksanakan ibadah-ibadah yang diperintahkan-Nya. Salah satu contoh dari puisi Kahlil, dengan membiarkan anak memilih jalan hidupnya, yang didukung dan difalisitasi orang tua namun tak luput dari usaha dan doa anak tersebut, sehingga tidak merisaukan apakah semua itu dapat terwujud atau tidak, karena Tuhan tidak akan menyia-nyiakan apa yang dilakukan oleh hamba-hamba-Nya.


C.  Aspek Kepribadian Remaja dalam Puisi “Anakmu Bukanlah Milikmu” Kahlil Gibran
Manusia mempunyai kepribadian yang beragam. Semua kepribadian manusia didasari oleh keadaan lingkungan dan bagaimana manusia dalam berproses. Dari kepribadian yang beragam inilah, manusia satu dan yang lain juga akan mempunyai pemikiran yang berbeda pula dalam menjalani kesehariannya.
Nilai kepribadian adalah nilai yang mendasari dan menjadi panduan hidup pribadi setiap manusia. Nilai itu merupakan arah dan aturan yang perlu dilakukan sebagai hidup pribadi manusia (Simorangkir, 1987:14). Nilai kepribadian ini digunakan individu untuk menentukan sikap dalam mengambil keputusan dalam menjalankan kehidupan pribadi manusia itu sendiri. Lebih dari itu, nilai kepribadian juga digunakan untuk menginterpretasikan hidup ini oleh dan untuk pribadi masing-masing manusia (Jarolimek dalam Sukatman, 1992:34). 

Dalam puisi karya  Kahlil Gibran yang berjudul “Anakmu Bukanlah Milikmu” terdapat beberapa kutipan mengenai kepribadianr emaja atau anaknya, yaitu dalam bait ketiga.

“Berikanlah mereka kasih sayangmu,
namun jangan sodorkan pemikiranmu,
sebab pada mereka ada alam pikirannya sendiri.”

Kutipan di atas menyebutkan bahwa, setiap anak itu mempunyai pemikiran sendiri. Mereka mempunyai gagasan untuk menjadi manusia seutuhnya menurut versi mereka. Sehingga, meskipun orang tua misalnya memberikan pemikirannya kepada anak, mungkin sebagian besar akan mempertimbangkan itu namun kebanyakan anak akan mengikuti intuisi yang dimilikinya.
Tentu saja ini relevan dalam kehidupan kita di zaman serba modern ini. Anak tidak mungkin kembali ke masa-masa orang tua dan kembali dengan cara orang dulu, dengan pemikiran yang masih primitif. Zaman modern menuntut anak untuk berpikir lebih maju dan berkembang.