ARUS


1997
Tahun pertama aku bernapas di bumi dan menjadi seorang putri paling kecil dalam sebuah keluarga sederhana.


1998-2008
Masa-masa disaat kata ‘bermain’ adalah dunia paling menyenangkan. Ketika itu aku tak kenal panas, hujan, gemuruh, petir, lelah, mendung, keringat, apalagi omelan ibu. Pulang sekolah sudah biasa lupa makan dan langsung pergi keluyuran entah kemana.

2009
Tahun tersulit yang pernah kulalui. Tahun yang mengakrabiku hingga bersahabat dengan kata sabar dan ikhlas. Sebuah tahun yang memberiku pengalaman paling berat untuk mengenang kata patah, pilu, hilang, berpisah dan merelakan.

2010-2011
Masa tidak mempunyai tujuan hidup. Saat itu kehidupan terasa sangat datar. Raga ada, namun jiwa kosong. Hidup hanya sebatas tempat untuk tidur, dan bangun hanya untuk memastikan bahwa aku masih bernyawa.

2012
Di tahun itu ada sedikit tekad untuk mengatur hidup–lagi. Ibarat sebuah biji yang tengah memecahkan cangkang untuk tumbuh, terus hidup dan berkembang. Begitulah tekad itu membawaku bergerak.

2013
Pertama kalinya belajar prioritas, kemauan, harapan, dan memecahkan masalah sendiri. 30% mendengarkan saran keluarga dan 70% mencerna keputusan sendiri. Untuk pertama kalinya pula memutuskan untuk merantau dan bercengkerama dengan lingkungan dan orang-orang baru.

2014-2015
Tahun yang telah menyadarkan aku untuk berkata, ‘It’s me’.  Sebuah masa untuk lebih mengenali diri sendiri, bisa dibilang tahun ‘duniaku’. Di tahun itu, aku sedang fokus dan sangat asyik menekuni hobi dan hal-hal yang kusukai. Masa dimana aku ingin menjadi apa, seperti apa, dan ingin bagaimana di kemudian hari.


2016
Tahun penuh syukur. Meski pernah dua bulan tidak pulang untuk persiapan UN, tetapi harapan, mimpi, cita-cita dan anak pinaknya, beransur-ansur menjadi kenyataan. Hal yang pernah kupikir sebuah kemustahilan muncul dan menjadi keajaiban.

2017-2018
Belajar hidup sendiri. Meski sebelumnya sudah pernah merantau, namun di tahun-tahun itu aku belajar menjadi aku yang sesungguhnya. Aku ya aku dengan segudang urusan itu.

2019
Tahun banyak perenungan. Hingga kadang stres mulai bermunculan. Apalagi terlintas kalimat, “Apa aku bisa?” menjadi sebuah pertanyaan yang sering muncul dalam pikiran.

2020
Sedang menanti kabar baik.



Nyatanya sebagai tokoh, aku tidak bisa memilih ending yang kuinginkan. Namun terima kasih aku, sampai detik ini kau masih bersedia untuk bertahan.


Kunto Aji – Pilu Membilu


Akhirnya aku lihat lagi
Sederhana tanpa banyak celah
Wangimu
Berlalu
Akhirnya aku lihat lagi
Jemarimu yang bergerak bebas
Seiring
Tawamu
Tak ada yang seindah matamu
Hanya rembulan
Tak ada yang selembut sikapmu
Hanya lautan
Tak tergantikan, oh
Walau kita tak lagi saling
Menyapa
Akhirnya aku lihat lagi
Akhirnya aku temui
Oh
Tercekat lidahku
Masih banyak yang belum sempat
Aku katakan padamu
Masih banyak yang belum sempat
Aku sampaikan padamu
Masih banyak yang belum sempat
Aku katakan padamu
Masih banyak yang belum sempat
Aku sampaikan padamu
Masih banyak yang belum sempat
Aku katakan padamu
Masih banyak yang belum sempat
Aku sampaikan padamu
Tak ada yang seindah matamu
Hanya rembulan
Tak ada yang selembut sikapmu
Hanya lautan
Tak tergantikan, oh
Walau kita tak lagi saling
Menyapa 


Review Buku Off The Record 2 karya Ria SW


Identitas buku
Judul Buku      : Off The Record 2
Pengarang       : Ria SW
Penerbit          : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan           : I, November 2019
Tempat Terbit : Jakarta
Tebal                : 256 hlm.



Kepengarangan
Ria SW adalah content creator yang memiliki channel Youtube  dengan video yang berfokus pada food and travel.

Sinopsis
Bagi kalian yang sudah membaca buku pertama dari Off The Record pasti sudah tahu buku ini akan berisi tentang apa. Iya, buku ini berisi cerita halu-nya Kak Ria waktu di balik layar kanal YouTube-nya. Hal-hal seru yang enggak mungkin ditayangkan ataupun keresahan Kak Ria selama menjadi content creator.

Dalam buku ini ada hal baru dari isi buku sebelumnya. Pokoknya kalian enggak bakalan nyesel deh untuk beli buku ini. Apalagi buat RAYS, kalian akan diajak untuk lebih mengenal Ria SW lebih dekat lagi. Karena apa? Dalam buku ini disajikan edisi “random talk” berisi kisah dan cara pikir Ria yang tentunya enggak kalian lihat atau dengar di YouTube atau FeedsInstagram.

Intinya dalam “random talk”, bahwa setiap orang itu memiliki sisi yang berbeda, dan setiap orang memiliki kelemahan juga obatnya masing-masing.  Kalian akan tahu, jalan menuju kesuksesan tidak akan selamanya berjalan mulus. Akan ada orang-orang yang akan meremehkan mimpi besar kita, mungkin kisah dalam “random talk” juga kisah yang saat ini kalian alami mungkin juga, saya?

Seperti buku sebelumnya, pembawaan Ria SW yang kocak dan asyik tetap kalian temukan dalam buku ini. Satu lagi yang membuat buku ini lebih seru dari sebelumnya. Kisah horor Kak Ria waktu di rumah, asli membuat perasaan campur aduk antara kasihan, takut, dan pengen ketawa. Ah! Ternyata YouTuber punya cerita horor juga ya? (hehehehe)

Menghibur? Bangetlah. Akan lebih tahu siapa itu Ria SW? Pasti. Mahal enggak? (kali ini saya hanya bisa garuk-garuk sembari berpikir keras). Yups, salah satu yang menjadi kekurangan untuk buku ini, adalah terlalu mahal. Dari isi dan desain-nya bagus banget. Hanya kendala mahal yang mungkin tidak semua pembaca bisa merengkuh buku ini. Mudah-mudahan untuk kedepannya, lebih bersahabat dengan kantong teman-teman.

[Puisi]: Kepada Tuan dan Rindu (sudah diterbitkan dalam Antalogi Puisi Senja dan Sajak oleh Penerbit Tasik Zona Barokah

Tuan, berbalaskah rindu ini?
Serak batin memanggilmu
Tertatih langkah bertemu
Jauh–sungguh jauh tuan

Kini, tak ada payung terbaik selain mendung
Tak ada dekapan terhangat kecuali kabut pagi
Tuan, sudahkah kau bertemu mentari?
Tersampaikankah salamku padamu?

Tuan, setiap waktu aku berjumpa bunga bermekaran di taman
Mereka begitu mesra menyambut tatapanku
Seperti tuan yang selalu merengkuh rindu
Pada jeda–kasih yang melintasi garis waktu


Untukmu Tuan (aba)
Jember, 11 Agustus 2019

Ketika Drama “Bu” Berakhir



“Bu, belum istirahat....”
“Bu, tugasnya belum selesai,”
“Bu, nonton film ya?”
“Ganti baju ya Bu?”
“Bu, ngajar di sini saja”
“Kok one time sih Bu”
“Bu, salat ya?”
“Bu, izin ke kamar mandi”
“Bu, enggak ngerti”
“Bu, soal yang nomor tiga gimana?”
“Makan ya Bu?”
“Bu, jam kos”
“Bu, mau buang sampah”
“Bu, izin latihan”
“Bu, jangan pergi”
“Jangan kemana-kemana Bu”
“Tumben duduk di sini Bu”
Dan “Bu” lainnya.

Tentang sebuah kisah di waktu itu, dan pada masa-masa itu. Kini, hanya bisa dilalui oleh ingatan dan diabadikan oleh kenangan.




Tentang sebuah cerita, pada detik-detik itu dan kesempatan itu. Saat ini hanya bisa dibicarakan oleh asih dan dirasakan oleh batin.

Sebuah rangkaian narasi yang dimulai prolog tanpa ada sumbangsih namun epilog memberi jeda panjang.

Ya, begitulah kisah ini berakhir.

Akan tetapi tidak ada yang tahu, sad ending atau happy ending.

Coba tanyakan pada mereka–puing-puing kenangan.

Akibat Hujan Semalam


----

"Aku tidak ingin mengutukmu. Sudahlah jika kau ingin pergi, pergilah yang jauh!"

Selalu terdiam, setelah menyupah serapahi sendiri. Bukan! Aku tidak sedang berbicara denganmu, apalagi dengan dia yang sudah membawa lari kenangan itu.

Aku berbicara padaku, dan aku menjadi lawan bicaraku. Bukan kau yang mendengarku, tapi aku yang mendengar sendiri.

Di saat senyap, aku mengusik ketenangan tiada henti. Seperti berjalan di gurun tandus, aku berjalan bukan denganmu namun sendiri. Bahkan aku tertawa bukan bersamamu tetapi sendiri.

Jika kau ingin pergi, pergilah yang jauh. Karena aku akan pergi sendiri.

----

LMJ.3.8.18

Ketika Tere Liye Meremaja part 1 (Review Novel Ceros dan Batozar karya Tere Liye)



Ceros dan Batazor –adalah novel seri ke-4,5 dari Novel Bumi, Bulan, Bintang, dan Matahari. Novel bergenre remaja ini bercerita tentang petuangan tiga sahabat di dunia paralel. Kisah petualang Raib–seorang putri dari klan bulan, Seli dari klan matahri dan Ali–Si jenius dari klan bumi.

Review Ceroz dan Batozar karya Tere Liye

Untuk review kali ini akan menjadi dua bagian yaaa.. pertama review Ceros dan kedua review Batozar. Karena dalam buku ceritanya juga dipisah meskipun setiap cerita saling berkaitan. Okay!

Berbeda dari novel-novel sebelumnya, kisah petualangan ketiga sahabat ini, tidak di klan bulan, bintang atau matahari, melainkan mereka berpetualang di tempat selama ini dibesarkan yakni di klan bumi.

Kisah Ceros–berawal dari study tour sekolah ke salah satu situs kuno peninggalan bersejarah. Sebuah bangunan yang didirikan pada awal-awal masehi sekitar dua ribu tahun yang lalu. Saat melakukan study tour–Ali yang memang tidak menyukai sejarah dia lebih tertarik dengan penemuan barunya dan memilih berpisah dengan rombongan teman-temannya. Raib dan Seli yang mengetahui Ali sedang memisahkan diri, langsung menghampiri Ali yang sedang memperhatikan sensor yang dibuatnya untuk menangkap aktivitas dunia paralel. Sensor itu berdesing kencang berskala 10, itu artinya kekuatannya dua kali hebat dari Tamus atau Robot Z dari klan matahari.

Ketiga sahabat itu tentu saja mulai dirundung rasa penasaran dan khawatir. Bagaimana mungkin di klan bumi ada aktivitas dunia paralel? Bukannya Av melarang keras adanya aktivitas tersebut, kecuali ada kondisi terdesak? Namun anehnya, mengapa sensor itu mengarah pada bangunan setengah bola dan berada jauh di bawah lapisan bumi sana? Mereka juga khawatir bahwa sensor kuat itu berasal dari si Tanpa Mahkota yang berhasil bebas dari penjara Bayangan di Bawah Bayangan. Mereka khawatir tiba-tiba si Tanpa Mahkota muncul dan menyerang di tengah keramaian dan ditonton turis juga ribuan orang. Sehingga tak perlu berpikir dua kali, Ali–si anak jenius dengan rasa ingin tahunya yang besar langsung mengajak kedua sahabatnya untuk melihat secara jelas, apa yang sebenarnya ada di dalam bangunan setengah bola itu.

Ternyata di dalam bangunan setengah bola itu merupakan tempat yang menajubkan. Saat itu mereka tiba diwaktu senja. Sebuah sunset paling menajubkan di dunia paralel. Akan tetapi, kekaguman itu tidak bertahan lama. Setelah matahari benar-benar tenggelam. Muncullah dua ekor badak raksasa (lebih tepatnya manusia berkepala badak) yang berupaya menyerang ILY– kapsul perak yang sudah menemani ketiga sahabat itu berpetualang. Kedua badak itu bukan badak biasa, melainkan mereka bisa menguasai semua teknik pertarung dunia paralel, seperti teleportasi, pukulan berdentum, teknik kinetik, sambaran petir, dan yang lebih mengejutkan lagi mereka mempunyai tongkat perak mirip milik Faar dalam versi yang lebih kuat dan besar.

Dengan kekuatan yang dimiliki oleh dua badak raksasa itu, tentu saja mereka kualahan. Bukan hanya itu, mereka sudah putus asa tinggal menunggu nasib saja nanti bagaimana. Namun beruntungnya, di detik-detik terakhir badak akan menyerang matahari muncul  dan membuat badak itu lenyap entah karena apa.

Setelah waktu berselang, datanglah dua pemuda dan memberikan pertolongan kepada Raib, Seli dan Ali. Kedua pemuda itu berasal dari Klan Aldebaran dan sudah mengunci diri di dalam perut bumi selama beberapa abad. Siapa dinyana, ternyata kedua pemuda itu adalah ceroz atau badak raksasa yang menjelma di malam hari akibat benda pusaka mereka diambil oleh si Tanpa Mahkota pada abad lalu. Itulah mengapa, Raib dan kawan-kawan bisa masuk ke dalam perut bumi namun tidak bisa kembali. Kedua pemuda itu sudah mengunci wilayah itu, supaya ketika menjelma menjadi badak raksasa mereka tidak keluar dan membinasakan warga bumi.

Ada satu hal yang mengharukan dalam cerita ceroz ini, yakni ketika Ali berupaya memberikan sarung tangan kepada kedua pemuda itu. Sarung tangan sakti yang diberikan Av adalah benda milik mereka berdua, dan dengan kedua sarung tangan itu mereka bisa mengontrol diri agar tidak menjadi badak raksasa yang buas. Akan tetapi, apabila Ali mengembalikan sarung tangan itu Ali lah yang harus tinggal di dalam perut bumi. Karena tanpa sarung tangan itu, Ali tidak bisa keluar begitu pun bila sarung tangan Raib dan Seli berpindah tangan.

Saat itu Ali memutuskan untuk memberikan kedua sarung tangan kepada dua pemuda itu, dan menyuruh Raib dan Seli kembali ke permukaan bumi. Mendengar hal itu, tentu Raib dan Seli menolak. Mereka sudah pergi bersama dan seharusnya pulang pun bersama. Namun di detik-detik terakhir mereka, kedua pemuda itu memilih untuk memberikan sarung tangan itu kepada Ali, membiarkan mereka pulang ke permukaan dengan selamat.

Sampai Kapan Diskriminasi di Sekolah Terus Berlangsung?

Sekolah adalah sebuah lembaga yang berupaya membangun pola pikir anak menjadi lebih baik dan terarah. Sebuah tempat belajar yang bersifat formal dengan beragam sarana dan prasarana sebagai penyalur pengetahuan. Sebagai tempat orang-orang terdidik dan cendekia, akan tetapi mengapa diskriminasi masih merajalela?

Salahkah pola pikir guru? Atau begitu ‘biadab’ dan bebalkah siswa sehingga diperlakukan sedemikian rupa?

‘Jangan sok tahu, baru dua bulan magang saja jadi sok keminter’

Mungkin akan ada yang berkomentar demikian. Memang, tahu apa saya tentang pendidikan? Tahu apa saya tentang kondisi sekolah? Tahu apa saya dengan keadaaan siswa? Sungguh, saya bukan orang yang paham mengenai semua itu. Lantas, mengapa berlagak seperti orang yang sudah bertahun-tahun mengajar atau berkecimpung di dunia pendidikan? Mengapa berlagak sebagai guru padahal masih amatiran dan abal-abal?

Mungkin ini hanya opini terhadap situasi siswa. Bisa pula luapan yang mulai menjadi keresahan saya selama ini. Tentang sebuah pendidikan yang mendidik, mengayomi siswa tanpa pandang bulu–dan begitulah seharusnya bukan?

Namun, mengapa diskriminasi masih bermunculan di tempat suci ini?

Siswa X : “Ada guru IPS Bu?” celetuk salah satu siswa, ketika saya berjalan menuju
                  perpustakaan sekolah.
Saya       : “Coba kamu lihat di tempat guru piket sepertinya tadi ada Guru PPL IPS,
                  atau kamu bisa cari ke aula atas”
Siswa X : “Malu Bu, Ibu saja yang masuk kelas saya”
Saya       : “Kok bisa, saya bukan Guru IPS. Kamu kelas berapa?”
Siswa X : “Masak Bu Guru sudah lupa? Padahal dulu Ibu kan pernah masuk kelas saya”
   protesnya yang membuat saya protes pula dalam hati, Memangnya saya bisa
   menghafal nama seluruh siswa dan kelasnya selama beberapa minggu di sini?
Saya       : “Ya sudah, ayo ikut saya ke perpus siapa tahu ada salah satu Guru IPS di sana.”
    tutur saya berupaya melapangkan hatinya.

Saat itu mungkin bukan hari keberuntungan Siswa X. Dengan niat untuk mencari Guru IPS, dia mulai menumpahkan unek-uneknya selama menjadi siswa, mulai bercerita tentang kondisi dan bagaimana teman-temannya di kelas. Semua tetek bengek, bahkan bagaimana perlakuan guru terhadap kelasnya, dengan leluasa dia ceritakan kepada saya dan teman PPL yang ada.

“Ah! Jadi begini” satu kalimat ambigu yang saya rasakan setelah terjun sebagai pendidik yang masih amatiran. Mendengarkan cerita suka rela dari salah satu siswa, membuat kenangan saya muncul dari beberapa tahun sebelumnya. Meski bukan cerita menyenangkan, tapi itu sebuah hadiah terindah yang pernah saya dapatkan.

Teman PPL  : “Katanya memang kelas mereka itu super, Bu dan bla... bla... bla...”

Mendengarkan obrolan itu membuat saya tertawa dalam hati. Bukan karena saya meremehkan anak-anak, tapi saya sungguh tidak setuju dengan kata ‘katanya’ yang diucapkan.

Ya! Saya tidak perlu gundah apalagi memusingkan kata ‘katanya’. Saya kadang merasa beruntung tidak perlu merepotkan apa yang orang lain bicarakan tentang saya. Bukannya tidak bisa menerima kritikkan dari orang lain, saya hanya memilah mana yang memang pantas dan baik dilakukan. Begitu pula pemecahan dalam kasus ini.

Seperti dalam percakapan saya dengan Siswa X, bahwa saya pernah masuk kelas mereka. It’s fine. Mereka siswa dan saya sebagai guru piket pada saat itu. Hal yang mencengangkan adalah, kelas mereka normal tidak seperti yang diceritakan oleh sumber ‘katanya-katanya’. Mereka mendengarkan apa yang saya katakan, melakukan apa yang saya arahkan, adab juga baik. Tidak ada hal aneh yang terjadi selama dua jam mata pelajaran yang saya isi waktu itu. Akan tetapi entah karena mereka masih takut kepada saya (takut kepada orang baru yang hadir di hari-hari mereka) atau memang seperti itu keadaannya, saya belum menemukan alasan yang pasti. Namun yang terpenting, anak-anak itu jauh dari yang mereka bicarakan sebelumnya.

Siswa X : “Tapi kan enggak semuanya begitu Bu” ucapnya sembari membela diri bahwa dia
    dan teman-temannya tidak seperti yang diceritakan.

Ya! Itu juga menjadi pembelaan pribadi waktu sekolah dulu. ‘enggak semuanya begitu’ adalah sebuah frasa yang tidak pernah menemukan titik temu. Saya bisa merasakan yang Siswa X rasakan ketika bercerita. Saya bisa memaklumi pembelaannya, ketidakadilannya, dan prasangka-prasangka buruk yang dialaminya. Memang, tidak semua guru berpikiran demikian, namun tidak sedikit guru yang menunjukkan hal demikian.

Kalau pun saya boleh menilai, kelas mereka adalah kelas yang berkesan setelah seharian penuh saya mengisi tiga kelas pada hari yang sama. Kelas yang membuat saya berpikir ‘ternyata mereka siswa yang baik’ meski ada catatan dan itu sungguh lumrah terjadi. Pasti kekawan yang berada diposisi saya waktu itu, atau yang sudah berpengalaman akan setuju bila tiap kelas pasti ada seorang anak yang berbeda dari teman-temannya dan membutuhkan perhatian lebih dari yang lain.

Bukankah itu normal? Toh mereka siswa (anak-anak) yang masih suka bermain. Siswa yang masih berupaya mencari jati diri, siswa yang mempunyai dunia sendiri dan perlu banyak perhatian. It’s normal!

Saya memang tidak suka diskriminasi, namun saya tahu sebagai manusia yang tidak sempurna dan banyak salah pasti tanpa sengaja ataupun tidak, pasti pernah melakukannya. Dan mungkin, tulisan ini pula menjadi salah satu media diskriminasi saya terhadap ‘pelaku’ yang membuat anak-anak hebat berpikir tentang prasangka-prasangka yang seperti itu. (emm bisa jadi pembelaan juga sih).

Diskriminasi sebuah kata yang terdiri dari lima suku kata, mempunyai dampak yang dasyat kepada siswa. Salah satu dampaknya terhadap psikologi siswa, yakni siswa akan selalu merasa dikucilkan, rendah diri, tidak percaya diri kepada kemampuan sendiri ataupun di hadapan umum. Mereka akan selalu berpikir terbelakang dari teman-temannya.

Bukankah lebih berbahaya bila mereka tidak percaya kepada kemampuannya sendiri? Lantas, bagaimana mereka akan terus bercita-cita dan berangan tinggi? Jika bukan dari guru, siapa lagi? Jika bukan dari sekolah, kemana lagi mereka menanggalkan impian tersebut?

Seharusnya mereka bisa menadapatkan perlakuan yang sama bukan?

Ah! Mudah saja ngomong sok seperti saya saat ini. Mudah saja mengatur ini itu. Iya, saya memang sok tahu. Sok segalanya! Saya tidak bermaksud menggurui kekawan dan semuanya. Ini hanya sebagai pengingat pribadi. Hal-hal ini juga sebagai perenungan pribadi, kadang seseorang yang terlihat baik-baik saja adalah yang benar-benar membutuhkan kehadiran kita. Bahwa, yang kita dengar dan lihat tidak semuanya sama dan pasti mempunyai sisi yang berbeda.

Jikalau saat itu anak-anak sudah keterlaluan, atau ‘macam-macam sudah’ yang lain dalam pembelajaran Anda, memang dari kacamata guru mereka salah. Lantas bagaimana bila dipandang dari kacamata siswa? Tentu saja mempunyai sisi yang berbeda. Pasti mereka mempunyai alasan untuk melakukan hal-hal tersebut bukan?

Sebagai salah satu pengalaman saya tentang masa lalu yang tidak mengenakkan itu, mereka bukannya tidak ingin menghormati, ataupun tidak menghargai Anda sebagai guru. Hanya saja, mereka takut, karena Anda sudah melabeli bahwa mereka ini sudah begini dan begitu.

Ah! Seandainya saat itu bisa kembali terulang....

Karena sejatinya mereka ingin berkata, “Jangan tinggalkan saya Bu, bantu saya, genggam saya supaya menjadi siswa yang lebih baik lagi.”


Tidak Salah Bila Kamu Berbeda! Film Inspiratif The Innocent Witness

Sudah lama ingin sekali membagi salah satu kisah inspiratif dari Film The Innocent Witness. Baru bisa menulis setelah dua bulan ada tugas negara yang tidak bisa ditinggalkan. Kali ini mencoba menyempatkan diri untuk mengulasnya. Eh! Memaksa diri untuk menulis, hehe.

Sebelumnya, mungkin muncul pertanyaan seperti ini, kenapa harus film Korea dan selalu Korea? Pemilik blog ini seorang penggemar Korea ‘kah? Kenapa tidak review film Indonesia atau Barat?


Pertanyaan-pertanyaan seperti itu tidaklah salah. Hanya saja, bukan karena saya tidak suka atau tidak mencintai apalagi tidak menghargai film-film dalam negeri. Akan tetapi, saya kagum kepada orang-orang Korea, mereka bisa mengemas cerita dengan begitu menarik. Mereka bisa mengembangkan cerita dengan tema yang sama akan tetapi dengan alur yang epik.

Sebagai salah satu penikmat cerita fiksi, baik buku maupun film saya sangat menghargai itu. Siapa tahu, bisa mencuri ilmunya dalam menuliskan cerita fiksi, bagaimana mengembangkan alur, tema atau setting, pendalaman karakter dalam tokoh, dan sebagainya. Bukankah kita harus belajar untuk menjadi baik dari yang terbaik? (Ah, sedang ngomong apa? *sambil tepok jidat)

Okay, kembali ke topik!

Innocent Witness – film yang dirilis pada 13 Februari 2019 ini, bercerita tentang seorang pengacara bernama Soon Ho yang tengah menangani kasus pembunuhan seorang lelaki tua penderita depresi. Dalam lokasi kejadian ditemukan pula seorang pembantu perempuan yang dituduh telah membunuh lelaki tersebut.

 

Dalam menangani kasusnya, Soon Ho mendapatkan saksi kunci seorang gadis SMA yang kebetulan bertempat tinggal tidak jauh dari lokasi kejadian. Menariknya, gadis itu menderita autis sehingga sedikit diragukan validannya dalam beberapa kali persidangan.

 

Ngomong-ngomong apa itu autis?

 

Penjelasan singkat tetang autisme adalah gangguan perkembangan otak yang memengaruhi kemampuan penderita dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain. Di samping itu, autisme juga menyebabkan gangguan perilaku dan membatasi minat penderitanya.

Autisme sekarang disebut sebagai gangguan spektrum autisme atau autism spectrum disorder (ASD). Hal ini karena gejala dan tingkat keparahannya bervariasi pada tiap penderita. Nah, seseorang dengan sindrom autisme sangat sensitif sehingga ia mungkin akan sangat terganggu, bahkan tersakiti oleh suara, sentuhan, bau, atau pemandangan yang tampak normal bagi orang lain.

Kemudian dalam kasus ini, Ji Hoo mempunyai gejala yang sensitif pada suara. Dia bisa mendengar dengan jelas suara yang diucapkan seseorang dari jauh maupun diucapkan secara pelan. Dari riwayatnya tersebut, bagi Ji Hoo suara anjing yang menggonggong begitu memekakkan pendengarannya. Bukan hanya itu dia dapat menghitung ucapan perkata seseorang.

Soon Ho yang bertugas sebagai pengacara pembela pembantu perempuan, berupaya mencari bukti ketidakbersalahannya. Dengan salah satu caranya mendekati Ji Hoo. Benar saja, sidang pertama berhasil dimenangkan. Akan tetapi, Soon Ho merasa ada hal mengganjal.

Akhirnya dia memutuskan untuk tetap mendekati Ji Hoo dan berusaha meminta maaf karena telah menyinggung perasaan Ji Hoo. Soon Ho kala itu mengatakan kalau penderita autis adalah orang yang cacat mental yang tidak bisa membedakan apakah niat terdakwa adalah untuk menyakiti atau membantu.

Akibat hal itu Ji Hoo tidak ingin menjadi saksi dipersidangan berikutnya. Ada kemungkinan dia merasa tertekan karena perlakuan diskriminasi orang-orang dalam persidangan terhadap kondisinya.

Namun bukan Soon Ho namanya bila tidak membawa Ji Hoo kembali ke persidangan. Soon Ho yang telah bersusah payah mengenal karakter Ji Hoo menemukan satu kunci dalam kasus ini.

Dalam sidang banding, Soon Hoo menyerang terdakwah dan membuat pembantu perempuan itu masuk penjara karena perbuatannya membunuh majikan. Semua tak lain karena kesaksian Ji Hoo yang pada awalnya diremehkan kevalidannya.

Saat mencoba memahami kepribadian Ji Joo, Soon Ho baru menyadari bila Ji Hoo mempunyai cara komunikasi yang unik. Sehingga pada sidang banding tersebut, Ji Hoo dengan leluasa memberikan kesaksian yang dapat membongkar kasus tersebut.

Tentu keputusan Soon Ho kala itu tidak mudah. Dia ditugaskan untuk membela pembela perempuan, tapi pada akhirnya memutuskan untuk menyerang karena rasa kemanusiaan. Hingga pada akhirnya, Soon Ho mendapatkan pelanggaran karena telah melalaikan tugasnya sebagai pengacara pembela.

Film berakhir dengan happy ending dan kalau Teteman ingin menonton, tolong disiapkan tisu yaaa, hehe.

Well, banyak kutipan menarik dalam film ini. Salah satunya adalah saat Pengacara Soon Ho berupaya membantu saksi dan berterima kasih karena telah menjadi saksi yang baik dalam persidangan. Kemudian, surat dari ayah pengacara yang mengatakan bahwa tak ada orang yang tak pernah membuat kesalahan.

Kemudian, hal apa yang dapat diambil dari film ini?

Ji Woo–gadis SMA autis yang teguh dan mempunyai hati begitu tulus. Dia memaafkan orang-orang yang telah menganggapnya sebagai anak yang cacat mental bahkan berupaya untuk menyesuaikan diri dengan orang-orang “normal” lainnya. Selain itu, dia mampu menerima kekurangannya dan ingin membantu orang lain, khususnya ingin membantu memecahkan kasus pembunuhan yang terjadi.

 

Film ini intinya satu, mereka bahkan kita adalah orang-orang berbeda. Orang-orang yang mempunyai kelebihan atau keterbatasan yang berbeda. Seperti halnya Ji Woo, dia adalah anak yang cerdas namun menderita gangguan perkembangan komunikasi. Begitu juga kita, pasti mempunyai kekurangan juga kelebihannya masing-masing.

Dalam beberapa tulisan saya juga pernah menekankan berkali-kali, bila setiap individu itu memiliki bakatnya masing-masing. Setiap individu mempunyai minat yang beragam, memiliki pengetahuan yang bermacam-macam. Berbeda itu wajar dan memang begitu adanya.

So, jangan pernah mengatakan bahwa kamu bodoh, kamu cacat mental dan sebagainya. Karena setiap insan memiliki takdirnya sendiri. Setiap individu mempunyai jalan dan mimpinya sendiri.

Enjoy with your life! Tidak ada hidup yang sama, karena kita memang dilahirkan berbeda.

 

Berikut kutipan-kutipan dalam Film The Innocent Witness

“Tolong pertimbangkan bahwa dia mempunyai cara berkomunikasi yang khusus.”

“Prasangka. Sayangnya saya berprasangka terhadap Ji woo. Kukira dia dan saya adalah orang yang berbeda. Saya tak mempercayainya dan melihat apa yang ingin saya lihat, karena saya hanya memikirkan diri sendiri. Namun saksi berbeda. Meskipun ada prasangka kejam yang dia terima, dia memilih untuk bersaksi kembali, untuk mengatakan kebenarannya. Selama karir saya sebagai pengacara, saya belum pernah melihat saksi yang memberikan kesaksian yag lebih akurat darinya. Dia hanya mengatakan kebenarannya sejak awal. Kitalah yang tidak tahu cara berkomunikasi dengannya.” – Ucap Pengacara Soon Ho

“Setiap orang itu berbeda.”

“Seorang anak memberitahuku bahwa kepakkan seekor kupu-kupu terdengar seperti guntur di telinganya.”

“Putraku tersayang, aku hampir lupa hari ulang tahunmu. Terima kasih sudah dilahirkan. Kau telah menjadi sukacita sejati dalam hidupku. Saat kau berusia 16 tahun, kau memberitahuku kau ingin menjadi pengacara. Dengan wajah penuh semangatmu kau berkata ‘aku ingin berbuat baik’. Aku begitu senang hingga buang angin. Bukan senang karena kau ingin menjadi pengacara, tapi karena aku tahu telah membesarkanmu dengan baik. Setelah menjalani hidup ini, aku mendapati bahwa hidup dan selalu cerah dan manis. Dunia tidak berperasaan dan penuh kemunafikan. Kita membuat kesalahan dan sangat menderita. Namun tetap saja, putraku sayang, lupakan semua yang telah kau lalui. Tak ada orang yang tak pernah membuat kesalahan. Aku hanya ingin kau mencintai dirimu sendiri, karena dengan begitu kau bisa mencintai orang lain.” – surat Ayah Soon Ho


Jejak Mimpi ke-14 "Kepada Tuan dan Rindu" LCPN Genta 2019


Sudikah kau menjadi jejak-jejakku?
Sebagai saksi bahwa aku pernah singgah di bumi
Bahwa aku adalah kau dan kau adalah mimpiku segalanya

Jangan pernah lelah
Tolong jangan jemu

Aku ingin terus melukismu
Pada kanvas rindu
Terhadap warna sendu
Untuk cerita kita 
Untuk keabadian bersama



Jember, 3 September 2019
Pada Jejakmu, kutitipkan mimpi

[Puisi]: Melipat Jarak (sudah diterbitkan dalam Antalogi Puisi bersama Eyang Sapardi Djoko Damono Menenun Rinai Hujan" oleh Penerbit Sebuku.net




Terlihat laksana titik
Berpendar dalam gelap
Pada jeda yang membentang

Dikau bias
Semu dalam belenggu
Diantara masa silam kita

Pahat memahat renungan
Kau! Serta semesta
Menggulung, membalut, melekuk,
dalam dekapan cita

Pada jiwaku
Pada sukmamu
Tersambung nurani

Jember, 20 Maret 2019

[Cerbung]: Edisi Baper : Memory "Perjalanan Melipat Jarak"


#part6


Tak terasa tiga tahun berlalu dan masa-masa SMA-pun terlewati. Sungguh di luar dugaan. Ternyata waktu berputar begitu cepat. Padahal baru kemarin dia ingat ketika Masa Orientasi Siswa, saat kakak kelas menghukumnya karena papan nama yang tidak sesuai ukuran, dan dia harus berdiri di lapangan badminton padahal waktu itu tepat tengah hari di bulan puasa. Atau saat dia memakai atribut khas Dayak dan mengelilingi sekolah yang tak sempit itu, yang tentu saja menjadi tontonan warga sekolah sebagai pertunjukan gratis.

Kenangan yang melahirkan sebuah saudara baru. Bahkan dia tidak menyangka di tempat yang jauh, ternyata disambut dengan tangan terbuka. Kota Probolinggo–di Kota Mangga dan Anggur dia mulai menorehkan jejak mimpinya. Bersama kekonyolan, kejailan, ataupun warna yang sudah menemaninya selama dua tahun di Program Bahasa, dan tentu saja bersama memory mengenai kepolosan anak-anak– tentang masa kecilnya.

“Sudah berapa lama aku tidak menanyakan kabar kalian?” batinnya menggerutu. Sekali lagi Ulfa meletakkan pensil dan mengalihkan ke layar berbentuk persegi panjang di sampingnya.

Dia kembali membuka lembaran cerita yang pernah dilalui. Seperti hobi, mimpi, dan semua yang berkaitan dengan Korea. Tentang kedua teman yang entah sekarang bagaimana dan seperti apa? Tentang sungai, rumah-rumahan, badminton, ekstrajoss, dan semua keceriaan itu. Lalu kabar Alfi, Nur dan lainnya? Ulfa kembali menghela napas panjang, sebelum akhirnya terdengar suara khas BBM.

“Kangen kalian aku rekk” diikuti dengan emotif sedih.

“Kapan bisa kumpul?”

“Berkumpul seperti ini yang aku inginkan. Kembali ke SMA lagi” sembari mengirim foto keluarga Linguistic. Dan tentunya masih banyak lagi pernyataan maupun pertanyaan, selain kembali mengejek satu sama lain.

Ulfa hanya bisa mengenang, sembari menyimak percakapan teman-temannya. Belum genap satu tahun mereka berpisah, sudah lebih dari satu kali kata kangen dan kapan bisa kumpul lagi berkicau di grup yang sakral itu. Padahal ketika masih SMA, mereka tidak sabar untuk segera lulus dan melepas masa putih abu-abu.

Tapi jika ditanya apa dia ingin? Tentu saja. Bahkan tidak perlu ada yang menawarkan Ulfa pasti mau. Daripada dia repot dan jemu dengan tugas kampus yang membuat energinya terkuras banyak, dengan membagi waktu untuk latihan Orientasi Mahasiswa Baru, yang selama tiga bulan ini dilalui secara bergiliran. Sungguh membuat kepala pening. Kehidupan kampus tidak seperti bayangannya dulu. Kemampuan beradaptasinya kali ini membutuhkan keteguhan yang ekstra.

Tidak ada lagi seorang guru yang menegur ketika melakukan kesalahan, tidak ada yang menasehati, tidak ada yang mengingatkan bahwa mempunyai mimpi besar dan pantang menyerah itu sebuah keharusan. Tidak ada yang seperti itu. Karena sekarang Ulfa tahu, masuk dalam kampus dan keputusan untuk menjadi mahasiswa harus bisa menghapus semua itu. Masuk kampus harus berdiri sendiri, tidak ada alasan dan diri sendirilah yang harus mengingatkan. Ya, begitu.

Dengan jejak-jejak kenangan masa kecilnya itulah Ulfa menghibur diri. Disesaknya kampus, sebuah nostalgia dapat kembali mengisi energinya.

Kadangkala, dia sempat mengimajinasikan seandainya perkembangan zaman bisa membawanya ke masa lalu–seperti alat yang dimiliki oleh robot kucing asal Negeri Matahari itu, dia begitu ingin menciptakan banyak memori dalam hidupnya. Tidak peduli apakah kenangan itu saat dia dan Lida kembali dikejar-kejar kakak kelas karena jailnya teman satu kelas waktu sekolah dasar. Atau berkali-kali mereka bermain di sungai dan memasak kerang sehingga Maria tidak mendapat bagian. Juga pulang sekolah dengan seragam yang basah kuyup karena kehujanan.

Jika sebuah masa kecil bisa diulang, dia ingin menciptakan banyak kenangan lagi. Kalau saja masa kecil itu dapat diulang, mungkin dia tidak ingin segera beranjak dewasa dengan kehidupan yang begitu rumit ini. Namun jika masa kecil itu dapat diulang, semoga mereka tidak melupakan kenangan hangat yang pernah tercipta.

Dan sekali lagi, suara khas messenger membuyarkan lamunannya.

“Ngadain reuni yukk!”

-oOo-

[Cerbung]: Everytime With You : Memory "Perjalanan Melipat Jarak"


#part5


Aneh. Kupikir demikian. Semakin hari kulewati, kenangan itu selalu terlintas begitu saja. Kupikir apa harganya sebuah kenangan? Namun aku salah besar. Karena kenanganlah kita bisa mengerti seseorang yang sangat berharga. Dan karena kenanganlah kita bisa tahu, kalau kita pernah merasakan apa itu kata keceriaan.

***

“Hai kawan! Sudah lama rasanya aku tak menorehkan kembali tintaku di lembaran kertas putih ini. Apa kau masih setia menunggu kelanjutan cerita ini? Bila begitu, bersiaplah.” Ulfa kembali menorehkan tinta dalam buku harian seperti biasanya.

Duduk di kelas sebelas tanpa kehadiran kalian benarkah? Itulah jauh-jauh hari yang kupikirkan setelah kita benar-benar terhalang jarak karena kata perpisahan. Apa kalian pernah berpikir membenci kata itu? Jika kalian berdua bertanya kepadaku–ya, aku membencinya. Aku bahkan tidak tahu apa itu arti kehidupan, tapi setidaknya aku tahu satu hal. Tentang kalian, yang setiap saat bersamaku.

Class meeting yang membosankan. Pagi itu sekitar pukul setengah sebelas, Ulfa dan beberapa teman satu kelasnya tengah duduk-duduk berselonjor di bangku kelas paling belakang. Semuanya terlihat lemas, dan sangat berharap bel pulang akan segera berdenting. Tetapi sudah satu jam lebih mereka berada di kelas, namun harapan itu hanya sia-sia saja.

Mengantuk, lapar, dan bosan dengan kegiatan yang ini-ini saja, membuat mereka hanya bisa termenung dengan kipas angin yang selalu menemaninya. Bahkan pertandingan futsal antar kelas yang dilaksanakan di lapangan basket itu sudah tidak menarik lagi. Mereka hanya mengharapkan satu kata–pulang.

Tapi entahlah dari mana topik ini berasal, membuat Ulfa semakin ingin membahasnya. “Melihat dia tidur di atas barisan kursi itu mengingatkan aku tentang masa kecilku dulu, yang masih gemar-gemarnya membuat rumah-rumahan dari bambu, beratapkan daun salak, dan masih rajin-rajinnya bermain masak-masakan,” tutur Ulfa seraya bercerita sedikit tentang masa kecilnya.

“Iya Ul, dulu aku juga pernah seperti itu. bila diingat-ingat lucu juga ya?” jawab salah satu teman Ulfa yang tengah duduk di sebelah Ulfa menghadap ke utara. Ulfa hanya tersenyum sambil mengangguk.

 “Tentu saja, sangat menyenangkan” gerutu Ulfa dalam hati.

“Aku pernah merebus jeruk yang rasanya  kecut. Aku pikir dengan merebusnya akan menghilangkan rasa kecutnya, tetapi sama saja. Menggoreng mangga dengan botol seng, yang sama sekali tidak ada takutnya dengan berbagai bakteri. Bahkan membakar buah salak dan kadang merebusnya,” Ulfa menggeleng-gelengkan kepalanya sambil sesekali tersenyum. Masa kecil yang konyol, lanjutnya.

Teman-teman di sampingnya berwajah heran, mereka diam mendengarkan pengalaman Ulfa dengan sangat khusyuk. Mungkin di dalam hati mereka bertanya-tanya bagaimana mungkin? Atau mereka sedang menertawakannya dalam hati. Namun sepertinya Ulfa tak peduli bila mereka menertawakannya. Karena menurutnya, hal-hal konyol itu yang paling berkesan dalam ingatannya. Hah ... lagi-lagi kali ini dia tengah bernostalgia.

Sekitar delapan tahun yang lalu...

Terik mentari merayap epidermis kulit. Waktu itu sekitar pukul dua belas tepat, aku baru pulang dari sekolah dan memarkirkan sepeda di teras. Aku langsung berlari ke kamar, setelah mendapatkan penyambutan dari ibu. Mengingat ini ... sungguh menyedihkan.

Setelah itu aku kembali keluar rumah. Biasanya langsung menuju ke rumah Lida, tetapi kadang sebaliknya. Selanjutya kami akan menuju ke tempat biasa kami bermain, kebun salak di belakang rumah.

Sudah dua hari terakhir kami bermain rumah-rumahan. Kali ini kami hanya berkunjung dan sesekali membersihkan dedaunan yang bertamu di rumah sederhana kami. Dan kami juga berpikir, apa yang kurang dari rumah-rumahan ini?

Beberapa detik kemudian datang Alfi, Maria, Nur, dan beberapa teman lainnya. Ulfa dan Lida terkejut sekaligus senang. Keduanya menyambutnya dengan tangan terbuka. Bagaimana tidak? Mereka adalah tamu pertama, dan dengan kedatangan mereka bertambahlah penghuni rumahnya.

“Hei teman-teman, kita main masak-masakkan yuk?” tutur Alfi sembari memberi pendapatnya. Semua teman-temannya setuju, namun mereka kembali bingung–apa yang akan mereka masak nantinya?

Mereka melingkar dan mengutarakan pendapatnya masing-masing, mengingat ini seperti konferensi meja bundar saja. Tak sampai satu jam, akhirnya mereka menghasilkan sebuah kesepakatan yaitu memasak mi instan dan merebus telur.

Dipertemuan berikutnya mereka kembali mencari ide apa yang akan mereka masak? Ada yang berpendapat memasak kangkung, nasi goreng, dan kerang. Dari sekitar lima orang lebih itu, akhirnya memilih kerang. Tentu saja kerang bukan perkara mudah. Tidak seperti mi instan yang selalu ada di toko atau warung-warung setempat, tapi mereka harus mencarinya dulu di sungai.

“Aku dulu mencari kerang di sungai ini,” tutur Alfi sembari menunjuk dengan jari telunjuknya. Aliran sungainya tidak terlalu deras, jernih lagi. Heemm... pasti airnya dingin, terlebih di sini pepohonannya amat rindang. Namun aku tidak melihat sebiji kerang pun di sungai ini, gerutu Ulfa dalam hati. Dengan perlahan Alfi turun ke dasar sungai sembari membawa setangkai kayu yang tak kutahu namanya. Kami hanya menontonnya dan berpikir sebenarnya apa yang akan dilakukan? Alfi lalu membungkuk dan membelah aliran sungai hingga ke dasar tanah sehingga membuat air sungai mengeruh. Kami masih diam, berpikir tidak tahu apa maksudnya.

Namun setelah air sungai kembali jernih, saat itulah aku dan teman-teman melihat sekumpulan kerang berwarna kuning kecoklatan. Ya, dan di situlah aku mengerti kalau kerang-kerang itu bersembunyi di balik tanah.

“Apa kalian akan diam menonton saja? Ayo kemari” komentarnya kepada kami yang memandangnya takjub. Namun beberapa detik setelahnya kami dengan serempak menyingsingkan celana dan menjatuhkan diri ke dalam air sungai yang sudah kami prediksi sebelumnya–dingin. Rasanya sungguh segar, dan kami sesekali membasuh muka sembari memunguti kerang yang kami cari.

Memang yang satu ini butuh perjuangan. Kami memang sudah mendapat setengah keranjang kerang segar. Setelah tenaga kami terkuras, salah satu teman memutuskan untuk kembali ke rumah-rumahan dan menyimpan kerang-kerang itu di bak dengan penuh air. Kami tidak mungkin langsung memprosesnya, karena tanpa terasa saking asyiknya bermain di sungai, mentari sudah berada di sepenenggal langit.

“Kerangnya kita rebus besok saja, dan setelah itu langsung kita goreng.” Tutur Alfi yang terlihat sangat berpengalaman di dunia permainan ini. Dia menatap lekat-lekat teman-temannya yang perlahan menganggukkan kepalanya ringan.

“Tapi, kita bumbui apa kerang itu? masa digoreng saja, mana ada rasanya?” komentar Nur yang disetujui semuanya.

“Emm ... yang sederhana sajalah. Dibumbui kecap juga mantap,” dan lagi-lagi Alfi yang paling berpengaruh di kegiatan ini. Padahal kan dia anak cowok, meski tidak satu-satunya dia anak cowok di sini tapi pengetahuannya tentang memasak yang membuat Ulfa iri. Mungkin bukan Ulfa saja, tapi teman-teman cewek lainnya.

“Kalau begitu, kita kumpulkan uang untuk membeli bahan yang kita butuhkan untuk besok. Atau kita bagi saja, siapa-siapa yang membawa bahan-bahannya?” kali ini Ulfa ikut menimpali.

“Setuju. Itu terkesan tidak memberatkan.” Semuanya mengangguk.

Keesokkan harinya, kami mulai beraksi dengan sepanci kerang bersama kepulan panas yang membumbung dengan bau gurihnya. Cangkang-cangkang kerang itu dengan perlahan mulai membuka bak bunga mawar yang mekar. Air yang awalnya penuh, kini terkikis dan meresap menandakan kerang yang kami rebus sudah siap untuk diproses ketahap selanjutnya.

Alfi langsung mengangkat panci dan meniriskan kerang-kerang itu lalu menungkannya ke sebuah panci baru yang sudah dipenuhi air. Dia beranggapan bahwa dengan merendam kerang-kerang yang tengah mengepul itu ke dalam air akan menetralkan suhunya. Dan ternyata, itu memang benar. Setelah sekiranya kerang-kerang itu mendingin, kami berkumpul membentuk lingkaran dan ramai-ramai memisahkan daging kerang dengan cangkangnya.

Kami sempat tidak mempercayai sebuah keadaan dengan kerang-kerang yang terbilang tak sedikit ini apakah bisa segera menyelesaikan? Terlebih meski sudah memisahkan cangkang dengan dagingnya, kami masih belum bisa menyantapnya. Tentu masih harus berlari lagi ke tahap selanjutnya. Memang menyebalkan. Tapi sembari melakukannya, kami seraya bercerita bahkan bercanda yang membuat lupa waktu, dan membuat kegiatan yang dilakukan lebih cepat selesai dari yang dibayangkan sebelumnya.

“Aku akan menyiapkan wajannya,” tutur Ulfa sembari beranjak dari lingkaran yang mereka ciptakan.

“Hei teman! Kita membutuhkan kayu bakar, ini tidak cukup untuk menggoreng kerangnya,” salah satu teman kami berteriak dari tungku setelah memeriksa bahan kelengkapan lainnya. Mendengar teriakkan itu, beberapa teman menyegerakan diri mencari ranting-ranting di sekitar kebun salak sebelah barat yang berada tepat di bawah pohon bayur.

Setelah semua siap, kami kembali mengerumuni wajan yang tengah menopang di atas tungku dengan api yang menyala-nyala. Sambil menunggu kerang yang digoreng, ada yang hanya duduk-duduk sambil bercerita, bermain ranting-ranting atau memainkan bunga bayur dengan mengibaskan ke atas seperti kicir angin. Itu adalah kegiatan menunggu yang paling menyenangkan.

“Ayo berkumpul teman-teman!” teriakkan Alfi yang membuat semua yang sedang asyik bermain sendiri menyerbu Alfi yang tengah membawa sepiring kerang goreng hangat.

Semua hanya tercengang, dan diam beberapa saat. Kenapa begitu? Tentu saja kami heran dengan kerang yang hanya sepiring ini. Bukankah awalnya kami mendapatkan kerang segar setengah panci besar, dan setelah matang hanya menjadi sepiring itu pun sudah ada taburan kecapnya? Ahh ... tahu begitu mungkin kami akan mencarinya lebih banyak lagi. Tapi sudahlah, tidak perlu menyesal. Saat ini bukan waktunya untuk menyesal, tapi waktu untuk menyantap kerang goreng kecap ala kami.

Selamat makan! Iiitttsss tunggu!!! Sebelum menyantap kerang goreng kecap itu, kami merasa kasihan kepada Maria yang harus pulang terlebih dahulu sebelum mencicipi sekalipun masakan ini. Tidak ada yang tahu alasannya, tapi sepertinya dia harus ikut dengan ibunya yang entah mau ke mana. Sudah sejauh ini, dia malah pergi begitu saja.

Ting!ting! ting! ting! Yes. Akhirnya hal yang ditunggu-tunggu pun terjadi. Bel pulang telah berdenting, Ulfa dan teman-temannya terkesiap dan segera menyiapkan diri untuk segera pulang. Namun Ulfa kembali tersenyum saat mengingat kenangan masa kecilnya itu. Sambil berjalan beriringan dengan siswa lainnya tak terasa hatinya tak bergeming, “Meski pada saat itu aku merasa kecewa, tapi di situlah aku tahu arti sebuah kebersamaan.”