[Prosa]: Mengeja Rindu (sudah diterbitkan dalam antalogi FiksiMini Nostalgia)


Tanpa sengaja kembali meniti waktu. Aku sadar bahwa tak ubahnya sepi menjelma menjadi sebuah keharusan. Setidaknya saat itu dalam waktu yang begitu singkat, aku membantu menghalau sunyi di istanamu. Meski kehadiranku tak banyak menciptakan canda dan hanya berjibagu pada keegoisan. Bila dipikir-pikir, memang istana itu tak berbeda jauh di tempat mana dulu aku dilahirkan, hanya saja kau tak menyuguhkan kebisuan. Namun memberikan hak mutlak untuk seorang putri.


“Untuk apa punya gawai kalau tidak dibawa?” itu bukanlah sindiran, tapi buah protes yang kesekiankalinya. Namun aku mempertahankan pendirian sebelum menyerah dengan protes lainnya.

Saat itu aku baru duduk di bangku SMA, masih terlalu polos dengan ketentuan yang melarang membawa gawai ke sekolah. Meski sejatinya sangat keras kepala, tapi selalu ciut bila berhadapan dengan peraturan apalagi harus beratatapan dengan guru tata tertib. Mungkin karena sikap teladan di sekolah, dia kadang memberiku ruang untuk mengeksplorasi diri.

“Baca buku diktatnya, jangan novel terus” tuturnya kerap kali melihatku membuka novel di meja belajar.

Tak ada yang bisa dilakukan waktu itu, selain harus menutup novel dan berpura-pura belajar. Ya, setidaknya aku tidak akan mendengar lagi bentuk protesnya.

Namun aku lupa mempertanyakan hal yang sama pada diri atau mungkin, karena memilih untuk tidak ingin mengindahkan semua celoteh ataupun bentuk protes-protesnya selama ini? 

Aku sungguh pandir! Terlalu pandir untuk mengerti semua.

Memang aku tidak lahir dari rahimnya. Jangankan begitu, dia bukanlah seseorang yang berpengaruh dalam hidupku. Bukan siapa-siapa kecuali seorang kerabat jauh, tapi ada satu hal yang membuat enggan menutup mata. Satu hal yang tak kurasakan lagi tiga tahun terakhir. Apakah setiap wanita memiliki insting yang sama?
Baru saja aku merasa diperhatikan, padahal sudah lupa bagaimana rasanya. Aku lupa bagaimana ibu mengomel, marah, dan lupa bagaimana ibu pernah memberikan kasihnya. Seberkas pun tak lagi bisa diingat. Apakah karena aku begitu rindu?

Ya, sekarang memang aku sadar. Dia sudah membawa rinduku pulang dengan selamat. Tak ada cacat sedikitpun, bahkan lebih berkilau dari sebelumnya.

Benar! Kini rinduku berpulang lewat kekhawatirnya. Dia terlalu mencemaskan aku, hingga dia selalu menyuruh untuk membawa gawai kemana pun pergi. Dia bahkan tak memberikan celah pada insting keibuan untuk mengingatkan anak belajar. Aku baru sadar semua itu tulus. Meski kenyataannya aku dan dia memiliki rindu yang berbeda.

Lupa Untuk Jatuh Cinta



Apa kabar hati? Apa kau telah menemukan tempat terdamaimu hingga kau tak ingin kembali?

Ah! Aku lupa, bahwasanya dulu kau telah mengantarku pulang dengan selamat. Aku sungguh berterima kasih untuk itu. Kau sudah memberikan keputusan yang sangat baik, hingga aku enggan untuk kembali melanglang buana.

Aku juga paham, bagaimana kau tak akan pernah tega membiarkanku terpenjara dalan ruang kosong yang kau suguhkan dalam hari-hari sunyi disetiap waktunya. Kau juga tak akan pernah membiarkan aku untuk mengasah keputusasaan yang kadang melanda. Bahkan  aku yakin bahwa kau tak akan membuatku gamang dalam banyak hal. Kau seharusnya tahu, keputusanku untuk pulang bukan karena aku membencimu atau karena kasih itu sudah hilang. Tetapi aku pulang sebab lupa untuk jatuh cinta.

Hati, seharusnya kau tahu bahwa ini menjadi semakin rumit saja. Aku masih menyimpan segenggam benih yang dulu kau beri. Tapi aku tidak bisa membayangkan jika benih itu tidak akan ada yang pernah menumbuhkan tunasnya dan membelah tanah di bawah terik matahari. Aku salah telah menyimpannya terlalu lama. Seharusnya aku langsung menanam benih itu setelah kau memberikannya. Sehingga mereka bisa tumbuh dan tidak kopong seperti sekarang.

Aku sungguh menyesal untuk itu. Karenanya tolong jangan kembali memberi benih yang tak bisa kutanam. Rumahku memang tidak tandus. Tetapi aku takut, benih itu kembali kopong. Namun ketakutan terbesarku adalah bahwa aku lupa bagaimana cara menanamnya.

Seberkas Angan yang Tertinggal


Tak ada yang tersisa semenjak saat itu. Sebuah potret kelalaian yang menjelma raksasa tak berdarah. Selembar ingatan yang berhasil menyayat, mengorek, hati yang membiru. Kisah yang selalu membuatku membeku. Padahal terik membakar semuanya.

Peristiwa-peristiwa itu begitu menyayangkan. Kenapa? Adalah sebuah kata yang berulang dikala senyap. Apakah aku, dan mereka tak memiliki kesempatan lagi? Duhai kasih, kadang senyum terhias di rona wajahmu, kadang pula sendu menorehkan luka. Tapi kau, dengan segampangnya menuturkan kata  yang membuatku menjadi tuna rungu saat itu juga.

Sejatinya aku ingin berteriak. Ini tidak adil. Seharusnya, hal ini tidak terjadi. Namun apa? Apa arti dari semua? Pandanganku langsung mengabur. Aku tidak percaya dengan bulir yang baru saja menetes. Bingung dengan orang-orang yang memusatkan perhatiannya padaku. Aku lemah. Lemah pada detik itu juga.

Aku terus memandang awan yang semakin pekat. Sejatinya, aku ingin menanggalkan duka yang tersisa. Benakku sudah terlampau penuh. Penuh dengan rindu, sesal, dan siluet tentang segalanya.

Maafkan kepandiranku yang tak bisa membaca makna. Maafkan kelalaianku ketika tak mendengar alam berbicara. Maafkan aku, karena masih menaruh sesal kepadamu. Maafkan aku yang terus merindu.

Maaf .... bila belum bisa menjadi anak yang berbakti dimasa hidupmu.

Jember, 15 Maret 2018

SEBUAH PERJALANAN PANJANG

Lucu. Mungkin kata itu bisa mewakili segalanya. Entah bagaimana, kenapa peristiwa itu menjadi salah-satu yang sangat sakral, dan menjadi pilihan dalam tabungan imaji di kepala. Bukan karena mereka terpilih, namun dari sebuah titik-titik yang berbeda dapat menyatukan kembali kebersamaan.

Hari itu Minggu, 3 Desember 2017 ego bersiap kembali merantau. Desas-desus yang katanya libur panjang ternyata sudah berakhir. Dan tentunya, sebuah kewajiban ego sudah menunggu di depan mata. Kurang lebih dua hari bersama keluarga, merupakan kebahagiaan tersendiri. Meskipun, satu dua tugas juga tidak absen dalam perjalanan.

Namun sebelumnya, ego ingin bercerita sedikit. Hampir dua tahun di kota orang, ego mempunyai kawan yang juga sedaerah rantauan. Tidak ingat lagi kapan ego pertama kali mengenal kawan-kawan ini. Mungkin sejak di Taman Kanak-kanak atau sejak di dalam kandungan melalui orang tua kami. Hanya saja, dan mungkin hanya kebetulan saja atau karena ego lupa bagaimana cara kami berkenalan, yang menyebabkan kami seolah-olah mengenal tanpa harus berkenalan.

Dan cerita itu menjadi semakin unik. Ternyata Sang Pencipta tengah menakdirkan sebuah alur yang tak pernah terduga. Semenjak di Taman Kanak-kanak, masuk ke Sekolah Dasar, dan ternyata sampai Sekolah Menengah Pertama, sebuah titik-titik itu tersambung. Bisa dihitung berapa tahun alur dari jenjeng sekolah itu? Yaaa sekitar sebelas tahun. Namun, setelah itu kami berpisah untuk melanjutkan sekolah yang diingini.

Setelah tiga tahun, kami kembali dibingungkan dengan tujuan selanjutnya. Mungkin bagi ego atau kedua kawan itu, masa-masa ini adalah yang terberat. Kenapa itu menjadi masa terberat? Karena pada masa itu, ego dan kawan harus memilih apa keinginan dan tentunya harus menanggung resiko apapun yang nantinya akan terjadi.

Dan dari sebuah pilihan-pilihan itu titik-titik yang semula terputus kembali memiliki sebuah pola. Akhirnya kami kembali berjuang di kota yang sama meski dalam tempat yang berbeda.

Di depan masjid kecamatan, setelah kurang lebih dua hari berada di rumah. Akhirnya ego dan kedua kawan yang mungkin tak ingin disebut namanya, bersiap kembali merantau. Di hari dan waktu itu adalah pertama kalinya kami berangkat bersama.

Kalian tahu sinetron bukan? Bagaimana cara orang tua mengantarkan anaknya yang masih SD berangkat ke sekolah? Ya, seperti itulah bagaimana cara orang tua melepas kami waktu itu. Ditunggu, sampai anaknya benar-benar masuk lewat gerbang sekolah, atau mengantarkan sampai ke depan kelas. Namun bedanya kami ditunggui sampai naik bus yang bertuliskan ‘Jember’ atau ‘Denpasar’.

Ketika menunggu itu seperti sebuah reuni, yang entah dari mana asal-usul kata reuni itu muncul. Padahalkan waktu SD dulu, tidak pernah diantar seperti itu. Mungkin ini salah satu anungerah. Dan Tuhan ingin ego dan kawan rasa, supaya menjadi anak yang mempunyai masa kecil yang indah. Seperti disinetron-sinetron itu... :D

Mungkin sebatas ini terlebih dahulu.
Ego sudah berkali-kali mendapatkan panggilan :D
Semangat, dan terus berjuang!
Tunggu sebulan, dan puncak semester tiga akan terlewati.

-sambil minum OBH Combi 100 ml 

Jember, 6 Desember 2017

Nyanyian Kata


Tanyaku mengalun kesunyian
Kadang merebah
Di rerumputan menghijau
Bersembunyi
Pun senyap jua

Tanyaku menari
Melanggak-lenggok bak peragawati
Bising
Buatnya berhenti
Menatap nanar keramaian diri

Tanyaku berkidung suci
Melambaikan kidung Sang Ilahi
Dia pun memulai kata
Uh!
Akankah aku berkawan sepi?


Lumajang, 14 Januari 2018

Masa Kecilku Indah Tanpa Gawai


“Beri satu sendok gula. Lalu tepung”
“Mau buat apa Lek Fafa?”
“Kue ulang tahun”

Ah! Aku hanya tersenyum melihat tingkah mereka. Teringat bagaimana kisah-kisah dulu, tentunya sebelum dekat dengan gawai apalagi kata selfie yang menjadi andalan.

Waktu itu anak zaman seusiaku masih suka mblarah, pulang sekolah langsung bermain entah kemana. Kalau lagi bosan main petak umpet, berganti rumah-rumahan, masak-masakan, jentik, sewuan, kapal-kapalan, lompat tali, main kartu dengan gambar macam-macam kartun, cari ikan dan kerang di sungai, membuat aneka mainan dari tanah liat tapi andalannya asbak karena paling gampang dibuat, cari belalang dan berburu capung, dan sebagainya tidak bisa disebutkan satu persatu. Sungguh menyenangkan waktu itu.

Ya memang, adakalanya kadang cerita itu tidak bisa diabadikan. Tidak seperti sekarang, yang apa-apa dan bagaimana nggak pas kalau nggak selfie disetiap momen. Namun bagiku, masa kecil dulu lebih indah. Meski tanpa diabadikan lewat teknologi terkini, namun diabadikan oleh kenangan.

Aku teringat kata-kata ini, yang entah diucapkan oleh siapa “Kamu akan terus bersamanya, lewat kenangan” kira-kira begitulah. Aku percaya, kalau mereka selalu bersamaku, melalui setiap kenangan yang tercipta.


Tak Sengaja Bertemu A.K

Siapa sih A.K itu?

A.K adalah penulis motivasi islami. Kalau dideskripsikan secara singkat, A.K penulis non fiksi Ya Allah Tolong Aku yang sebelumnya juga sudah bestseller. Banyak juga sih karya-karya A.K yang lain, hanya saja saya akan membicarakan salah satu bukunya yang berjudul Aku Bisa Bahagia.

Review Buku Aku Bisa Bahagia



Sekitar dua minggu yang lalu sembari menikmati weekend, akhirnya saya putuskan untuk berkunjung ke toko buku. Tidak ada niatan untuk melihat-lihat novel kecuali mencari buku studi. Akan tetapi, bagaimana daya dan cara agar tidak tergoda pada novel-novel yang berbaris rapi di sana? Aarrghhh!!!

X: “Eh, ini loh bukunya bagus, temen sekamarku punya”
Y: “Apa isinya?”
X: “Isinya tentang motivasi gitu deh, tapi bagus! Beneran!”

Begitulah percakapan dari salah satu pengunjung yang membuat indra langsung terpancing. Ini benar-benar masalah, bila rasa penasaran tidak dapat dikondisikan. Kalian pernah enggak sih, memikirkan buku yang belum bisa dibeli? Bawaannya pengen segera punya bahkan serasa hidup akan selalu terasa resah dan gelisah? Begitulah yang saya rasakan waktu itu. Karena tidak berniat membeli novel dan fokus pada buku studi, akhirnya saya biarkan rasa gelisah itu tumbuh selama dua minggu. But, Alhamdulillah sekarang sudah digenggaman.

Tetapi kenapa harus membeli buku Aku Bisa Bahagia? Apa karena saya tidak bahagia, lantas membeli? Sebenarnya bukan masalah apakah karena hidup saya kurang bahagia kemudian membeli buku-buku tentang kiat bahagia, karena menurut perfektif saya cara bahagia orang satu dengan lainnya pun berbeda. Nah, dengan mengumpulkan beberapa informasi dari berbagai sumber bukankah dapat mengerucutkan masalah dan berharap adanya solusi yang membangun? Tidak salah kan, apabila belajar dari orang lain?

Kemudian, sekarang saya akan membagikan sedikit isi buku Aku Bisa Bahagia! Lagi-lagi mengenai hal yang memang perlu saya bagikan, dan tentunya tidak semua.

 “Jika ada orang yang kau sayangi sedang tidak bahagia, berilah perhatian yang pantas. Bantulah semampumu. Jangan buat masalah mereka menjadi bagian dari masalahmu. Jangan memberi hal yang kau sendiri tidak memilikinya.” –halaman 271

“Bersyukur menjadikanmu orang yang tidak sombong dan tamak. Kau menyadari bahwa semua yang kaumiliki tak berasal dari dirimu sendiri, melainkan titipan dari Yang Mahakuasa.” –halaman 79

“Cobalah memaafkan orang yang telah menyakitimu. Maafkan dan lupakan dia agar tidak lagi menjadi beban. Jadilah orang yang memiliki jiwa yang besar.jangan menjadi seperti dirinya. Kau harus bisa menjadi orang yang lebih baik darinya.” –halaman 101

“Dengan menjadikan keluarga sebagai tujuanmu dalam memperoleh kebahagiaan, kau menjadi punya arah hidup yang pasti. Dan secara otomatis kau akan bekerja lebih keras dan lebih semangat untuk membahagiakan orang-orang yang kaucintai.”—297

 Terima kasih, kepada salah satu pengunjung saat itu, yang telah mempertemukan saya dengan A.K.

Pesan yang dapat diambil dari Film Miracle Of The Namiya General Store

Ini film apaan sih?

Pertanyaan itu muncul pertama kali setelah beberapa menit menonton. Film yang baru bisa ditonton ini menimbulkan sedikit perasaan kecewa. Ya, kecewa karena bingung dengan prolog film yang sedikit kurang menarik.

Namun setelah tahu jalan cerita dan mulai paham maksud dari film ini, saya tarik kembali perkataan yang tadi hehehe. *labil! Sebab saya salah, nyatanya film ini begitu menginspirasi, bagus dan wah pokoknya.

Miracle  Of The Namiya General Store adalah film fantasi yang diadaptasi dari novel karya Keigo Higashino yang menceritakan sebuah pemilik toko klontong yang suka memberikan nasehat kepada siapa saja dengan mengirim surat pada malam hari dan akan mendapat balasan dikeesokan paginya, pemilik toko itu bernama Tuan Namiya.

32 tahun setelah Tuan Namiya meninggal, Atsuya dan kedua temannya bersembunyi di toko klontong yang sudah tidak terawat. Mereka melarikan diri, karena telah mencuri dan menyekap seorang pengusaha sukses Tamura Harumi yang disebabkan adanya kesalahpahaman. Selama Atsuya dan kedua temannya bersembunyi di toko klontong itulah, cerita demi cerita pun terus menguak.

Dalam film ini sebenarnya banyak yang ingin saya bagikan mengenai setiap tokoh yang terlibat, hanya saja ada dua konflik yang begitu membekas sehingga terciptalah tulisan ini.

Konflik Menarik Dalam Film Miracle  Of The Namiya General Store

Kepercayaan Orang Tua

“Tidak apa-apa jika kau gagal, selama kau mencoba melakukan yang terbaik. Berusahalah terus seolah hidupmu bergantung padanya.Tinggalkanlah jejakmu di dunia,” –Ucapan Ayah Musisi Penjual Ikan (Katsuro Matsuoka)

Pertama adalah ketika Katsuro memilih untuk berhenti kuliah dan mengejar mimpinya untuk menjadi seorang musisi. Di sisi lain ayahnya sedang sakit dan sebagai anak sulung dia yang akan meneruskan usaha keluarganya.

Namun siapa nyana, jika Sang Ayah malah mengatakan, “Aku akan menjadi penjual ikan yang terakhir di keluarga ini. Lain halnya jika kau ingin. Tapi kau tidak.” Saya terkesan dengan sikap ayah. Ketika salah satu anggota keluarga menentang keputusan Katsuro, ayah lebih mempercayai mimpi yang dimilikinya.

Apa semua ayah di dunia ini mempunyai pemikiran demikian? Begitulah pertanyaan pertama setelah tahu konflik yang dialami Katsuro. Menurut saya, ayah adalah sosok yang begitu misterius. Bukan hanya di dalam film ini, tapi di dunia nyatapun demikian.

Ketika saya berusaha untuk mendalami karakter ayah, teringatlah pula pada lelaki tangguh yang saya sebut bapak di rumah. Mirip, hanya saja bapak tidak berterus terang apalagi ingin berbicara panjang lebar. Ini begitu unik. Ternyata tidak hanya wanita saja yang sulit dimengerti, peran lelaki tangguh pun tak ingin kalah juga, hehe.

Baca Juga karya lainnya dari Keigo Higashino:

Review Novel Kesetiaan Mr. X karya Keigo Higashino

Review Novel Keajaiban Toko Kelontong Namiya karya KeigoHigashino

Dari cerita Katsuro dan ayahnya ini, saya dapat belajar secuil makna yang entah bagaimana cara menjelaskannya. Mungkin intinya begini, kebahagian terbesar orang tua itu ketika tahu anaknya bahagia dalam mengejar mimpi yang dimilikinya.

Dimensi Waktu yang Mengubah Orang Lain

Kedua, ketika Atsuya dan kedua temannya ingin membuktikan dapat membalas surat dari 32 tahun yang lalu dengan mencoba mengirimkan kertas kosong dan mengenai kesalahpahaman terhadap Tamura Harumi.

Atsuya dan kedua temannya mengira Harumi ingin mengubah panti asuhan menjadi hotel mesum. Padahal waktu itu, Harumi ingin membalas budi terhadap Tuan Namiya yang sudah menasehatinya sampai menjadi seorang pengusaha sukses. Dia ingin berbagi kebahagian, karena sebenarnya Harumi waktu kecil dibesarkan di panti asuhan seperti Atsuya dan kedua temannya.

Ketika Atsuya dan kedua temannya bersembunyi di toko, mereka mendapat kiriman surat dari Anak Anjing yang Hilang. Tentu saja surat itu dikirim untuk Tuan Namiya, tapi mereka membalas dengan memberikan nasehat atas masalah yang dialaminya. Hingga disuatu ketika, Anak Anjing yang Hilang dapat menjadi orang yang sukses berkat nasehat itu. Mereka tidak tahu, kalau Anak Anjing yang Hilang itu adalah Harumi yang mengirim surat 32 tahun yang lalu.

Miracle  Of The Namiya General Store

Setelah mengetahui hal tersebut, Atsuya dan kedua temannya berencana kembali ke rumah Harumi. Mereka ingin melepaskan Harumi yang semalam mereka sekap di rumah. Mereka juga ingin meminta maaf mengenai kesalahpahaman yang terjadi. Terlebih mengenai dimensi waktu yang semalam mereka alami di Toko Serba Ada Namiya.

Pencarian Diri

Kepada Si Tanpa Nama. Kenapa kau mengirimku surat kosong? Pria tua ini berusaha memahaminya. Ini Cuma perkiraan, tapi mungkin akan menerangkan keadaan yang kau pikirkan. Kau tidak bisa mengerti kemana kehidupanmu akan berjalan. Tapi tolong jangan kehilangan harapan. Jangan menyerah untuk berharap.

Masa depanmu bagai selembar kertas kosong. Masa depanmu tentang apa saja yang kau tulis di atasnya. Segalanya terserah pada apa yang kau lakukan. Kau bebas melakukan apa saja.

Kemungkinan itu tiada akhirnya. Dengan penuh harapan, kau akan menjalani setiap hari yang bermakna dalam kehidupanmu. Milikilah kehidupan yang memuaskan. Kupikir, hari-hariku dalam memberi nasehat sudah berakhir. Yang terakhir ini adalah yang sangat menantang untuk dijawab. Aku menghargainya. Kuucapkan terima kasih banyak. Salam hangat, Toko Serba Ada Namiya

 ......

Kepada Tuan Namiya. Terima kasih untuk jawaban Anda yang ramah. Aku tidak tahu nasehatku dapat mengubah kehidupan seseorang. Lalu kenapa aku menulis untuknya? Aku hanya menginginkannya bahagia. Barangkali kepercayaannya padaku yang membuatnya bahagia. Aku mau bertemu dia dan mengatakan padanya kenyataan ini. Dialah yang mengambil keputusan yang mengubah hidupnya. Aku tak bisa memahami perjumpaan tanpa batas waktu yang kami alami tadi malam. Tapi Anda mengajari untuk percaya dan aku sangat berterima kasih. Aku takut Anda tidak akan menerima surat ini. Tapi kupikir, Anda akan memantau kami dari suatu tepat. Salam Tanpa Nama.

Dari sedikit cuplikan peristiwa di atas, ada satu kata yang menarik yakni percaya. Kata percaya seperti menjadi pokok pikiran dalam plot ini. Harumi percaya terhadap nasehat yang dikiranya Tuan Namiya, sehingga dia terus berusaha hingga dapat membantu kedua orang tua angkatnya dan menjadi sukses. Sedangkan Atsuya percaya, bahwa yang membuat Harumi berubah bukan karena balasan surat itu, melainkan saat mengambil keputusan untuk mengubah hidupnya.

Saya pun menyimpulkan dari kedua hal di atas, bahwasannya kepercayaan kita-lah yang mampu mengubah segalanya. Entah saat dalam kebingungan, ragu untuk melangkah, dan tetek-bengek lainnya. Dengan satu kalimat sakti ini, semoga saya dan kalian semua dapat melaluinya, It’s... I CAN DO IT! GANBATTE!!!


Apa Berteduh pada Bayangan?



Apa yang terjadi tatkala kau dalam kebimbangan? Apa yang terjadi tatkala kau dalam keragu-raguan? Apa kau akan melakukan dengan kehendakmu? Atau, kau akan berteduh pada sebuah bayangan? Apa? Apa yang akan kau lakukan?

Cahaya kasih tak terelakkan. Membakar habis hati yang telah lama menanti. Panasnya sangat menyanyat, membinasakan, melelehkan apa-apa yang disentuhnya. Lalu bagaimana bila cahaya itu melumpuhkan dirinya pada tabung kosong dalam kegelapan? Dan bila itu terjadi, hanya akan ada bekas hitam–abu kepedihan.
         
Apa yang kau rasakan, saat suka cita datang tanpa kau sadari. Tanpa aba-aba, tanpa tanda-tanda, dan akan meninggalkan segores bahagia. Apa yang kau rasakan bila itu benar-benar terjadi, yang hanya memberikan kegamangan, kebingungan, nan belenggu dalam nurani.

Namun, itulah yang membuatmu senang, ceria, serasa terbang mengelilingi angkasa. Tetapi, saat dia mulai membakarmu, apakah kau bisa menahan rasa panasnya? Saat dia mulai menyanyatmu, apakah kau bisa menahan rasa pedihnya? Kemudian saat dia mulai menghempaskanmu, apakah kau bisa menahan rasa remuknya?
         
Apa? Apa yang akan kau lakukan?