Menjadi Sang Inspirasi (Review Film The Teacher’s Diary)


Ngomong-ngomong masalah inspirasi nih, saya suka sekali membaca kisah-kisah (seseorang dari cerita nyatanya). Enggak selalu tokoh yang notabene sudah dicap sebagai tokoh inspiratif, tapi semua orang yang mempunyai pengalaman enggak mudah dalam hidup ini. 

Teteman merasa enggak sih, bila kisah nyata atau memoar itu selalu mengena di hati?

Mengapa ya? Apa karena masalah yang dihadapi tokoh merupakan konflik-konflik dalam keseharian kita, sehingga tanpa sadar otak ini menganggap hal tersebut jugalah yang tengah kita alami?

Kalau saya pribadi, membaca kisah orang lain merupakan modal menghadapi “apa-apa” yang akan datang. Dapat dikatakan, sebagai tabungan dalam menangani konflik dikemudian hari. Terlebih biasanya, kita itu suka sekali mencari pengalaman-pengalaman dari orang lain tentang apa yang sedang dialami, right?

Toh, namanya hidup sebagai manusia kita enggak tahu apa saja halang rintang tersebut. Saya jadi teringat ucapan guru saya yang mengatakan “Tak ada kehidupan yang berjalan tanpa ada masalah”. Jadi, kalau enggak ada masalah, bukan hidup namanya! 

Btw, bertemunya saya dengan Film The Teacher’s Diary pun bukan tanpa sebab. Beberapa tahun sebelumnya, ada pergolakkan batin tentang keputusan yang sedang saya jalani. Walhasil penjelajahan tersebut terhenti di film ini. Sebenarnya bukan The Teaher’s Diary saja, banyak film-film bertema pendidikan dan keluarga yang mungkin akan saya bahas dikemudian hari. 

The Teacher’s Diary merupakan fimThailand yang disutradai oleh Nithiwat Tharathorn. Film berdurasi sembilan puluh menit ini diperankan oleh Laila Boonyasak (sebagai Guru Ann) dan Sukrit Wisetkaew (sebagai Guru Song) yang dirilis pada 20 Maret 2014. Meskipun tergolong film lama, tapi rasa-rasanya bila film bertema pendidikan enggak akan termakan zaman.

Secara singkat Film The Teacher’s Diary bercerita tentang seorang guru bernama Song, yang dipindahtugaskan di sebuah sekolah terpencil. Guru tersebut menemukan sebuah buku harian dari seorang guru sebelumnya dan dari buku tersebut Guru Song banyak belajar untuk bertahan hidup juga cara memperlakukan anak didiknya.

Fyi, alasan kedua guru ini dipindahtugaskan sebab, (1) Guru Ann (guru sebelum Guru Song) karena memiliki tato tiga bintang di lengan kanannya. Dia tidak ingin menghapus tato tersebut dan kepala sekolah langsung memindahkannya ke sekolah terpencil. Sedangkan Guru Song karena lowongan untuk guru pendidikan jasmani telah terisi. 

Memangnya sekolah yang dimaksud seperti apa sih? 

Sekolah terapung merupakan tempat belajar terapung di tengah pulau. Sekolah yang terdiri dari dua bangunan yang saling terhubung, yaitu ruang kelas dan tempat tinggal Guru Song juga anak-anak. Kalau sekolah itu terapung, pastilah pondasi bangunannya bukan dari semen, apalagi batu. Seperti tempat terapung pada umumnya sekolah itu berbahan dasar bambu, kayu dan seng sebagai atapnya. 

Enggak heran bila perahu menjadi satu-satunya kendaraan di sana. Jangan harapkan ada sinyal, listrik dan apa-apa yang ada di kota. Bahkan untuk pergi ke (darat) pasar, masyarakat setempat hanya pergi sekali dalam sepekan.

Dari letak dan situasi sekolah yang seperti itu, pendatang mana yang akan betah? Eh, guru mana yang ingin dipindahtugaskan di sini? Namun seperti halnya Guru Ann; Guru Song menerima keputusan kepala sekolah dengan lapang dada. Meski pada kenyataannya, kedua guru tersebut akan melewati hal yang enggak mudah di kemudian hari. 

Seperti kejadian beberapa hari setelah sampai di sekolah, Guru Song mulai kelabakan dengan perilaku siswanya. Empat siswa dengan kelas berbeda membuat Guru Song kebingungan. Coba saja bayangkan, beda kelas dengan tingkat kedewasaan yang tidak sama dalam satu ruangan, tentu saja mereka berhasil menyulut emosi Guru Song. Terlebih perlakuan Guru Song membuat mereka membandingkannya dengan Guru Ann. Mereka menganggap Guru Ann yang lebih mengerti mereka.

Beruntung, kebingungan dan kekawatiran Guru Song akhirnya berhenti disatu titik. Saat tanpa sengaja Guru Song menemukan sebuah buku harian milik Guru Ann. Dari buku harian itulah Guru Song mencoba menjadi guru sekaligus orang tua para siswanya.

Buku harian Guru Ann, bukan hanya menjadikan Guru Song mengerti tentang dedikasinya sebagai guru, tapi juga memberikan hiburan tersendiri. Bahkan tanpa disengaja, membaca buku harian tersebut membuat Guru Song terhanyut dan mengikuti berbagai hal yang dilakukan Guru Ann. Salah satu contohnya melompat ke danau saat sedih dan selama enam bulan Guru Song memfokuskan diri dengan menghabiskan waktu bersama siswanya. 

Ada satu hal unik yang dilakukan Guru Song saat mengajar. Siswa yang notabene tinggal di pulau belum mengerti rasanya naik kereta api. Namun dengan percaya diri Guru Song mendemonstrasikan naik kereta api dengan mengaitkan kelas mereka ke perahu. Perlakuan Guru Song tersebut membuat siswanya bukan hanya mendapat pengetahuan baru, tapi mereka sangat gembira juga terhibur.

“Untungnya aku menemukan buku harianmu. Itu menjadi panduanku yang sangat menolong. Menolongku bahwa hidup di sini kita harus menjadi lebih dari guru. Kita juga harus menjadi seperti orang tua mereka.” – Kutipan Perkataan Guru Song.

Tak terkecuali, saat Guru Song kembali mengajak Chon untuk kembali sekolah. Chon–anak laki-laki yang semester lalu berhenti sekolah karena membantu ayahnya mencari ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Chon menyerah untuk sekolah dan membuat Guru Ann kecewa. Lantas Guru Song berhasil membujuk Chon juga ayahnya dengan ikut memancing tiap akhir pekan. Namun sayang, saat ujian semester Chon tidak lulus karena tidak bisa mengerjakan soal tepat waktu.

“Kenapa aku harus kecewa? Kalau anak-anak tidak ingin belajar lagi. Aku dipekerjakan menjadi guru, jadi hanya mengajar saja. Mereka hanya murid, kenapa aku harus peduli?” – Ungkapan Guru Ann.

Hingga suatu ketika, Guru Ann kembali ke sekolah dan menemukan buku hariannya yang terdapat curhatan-curhatan Guru Song selama satu semester. Guru Song juga ikut nimbrung menulis di buku harian tersebut. Ya, lebih jelasnya sebagai ungkapan terima kasih kepada Guru Ann, sebelum akhirnya Guru Song memutuskan untuk berhenti mengajar. Nah, curhatan tersebut berhasil membuat Guru Ann tersipu, yang akhirnya membulatkan tekad Guru Ann untuk mencoba mencari keberadaan Guru Song. Namun sayang, semesta tidak berkehendak.

Satu semester berikutnya Chon berhasil lulus dan disemester itu pula Guru Ann berhenti. Namun dalam perjalanan pulang, Guru Ann terus memikirkan buku harian yang ada di tangannya. Di sisi lain sebab Guru Ann tahu, bila Guru Song akan kembali ke sekolah terapung. 

Dalam hati yang terus bergejolak, akhirnya Guru Ann memutuskan untuk kembali ke sekolah dan memutuskan hubungan dengan kekasihnya (dia calon kepala sekolah di kota dan kekasihnya ini yang membuat Guru Ann pindah dari sekolah terapung sehingga digantikan Guru Song). 

Guru Ann merasa dia dan Guru Song mempunyai keserasian dan sepemikiran dalam mendidik. Keputusan Guru Ann membuahkan hasil. Bukan hanya untuk kembali mengajar di sekolah terapung, tapi untuk bertemu pertama kali dengan Guru Song  sehingga The Teacher’s Diary berakhir happy ending.

Well, sepertinya seru yaa bisa bertemu dengan seseorang yang sepekiran dan sefrekuensi. Saya jadi berangan-angan mengenai kondisi sekolah terapung bila The Teacher’s Diary ada season keduanya. Iyaa membayangkan selain menjadi kereta api, sekolah itu akan jadi apa lagi ya?  Kalau masalah Guru Ann dengan Guru Song enggak perlu ditanyakanlah, hubungan mereka pasti sudah positif. *Eh, positif apaan? hehe

Kekreatifan Guru Song membuat saya teringat Totto-chan, lebih tepatnya Mr. Kobayashi–sang Kepala Sekolah Tomoe. Beliau seorang kepala sekolah yang menyulap gerbong-gerbong kereta sebagai ruang kelas. Cara mengajarnya yang unik dan sangat memahami isi kepala anak-anak, membuat saya mendecak kagum. Ah, pasti menyenangkan menjadi anak didiknya.

Dalam ingatan saya, kegiatan sekolah di masa lalu yaa sama seperti pada umumnya. Belum teringat tentang suatu pembelajaran yang bisa dikenang dengan menarik juga menyenangkan. Lantas bagaimana dengan masa sekolah teteman?

Ngomongin masalah guru, saya jadi banyak berasusmsi nih. Kalau diilustrasikan Guru Song dan Mr. Kobayashi, kedua orang tersebut merupakan orang-orang yang kreatif. Jadi, apakah guru yang hebat lahir dari guru-guru yang kreatif?

Post a Comment

0 Comments