[Cerbung]: Edisi Baper : Memory "Perjalanan Melipat Jarak"


#part6


Tak terasa tiga tahun berlalu dan masa-masa SMA-pun terlewati. Sungguh di luar dugaan. Ternyata waktu berputar begitu cepat. Padahal baru kemarin dia ingat ketika Masa Orientasi Siswa, saat kakak kelas menghukumnya karena papan nama yang tidak sesuai ukuran, dan dia harus berdiri di lapangan badminton padahal waktu itu tepat tengah hari di bulan puasa. Atau saat dia memakai atribut khas Dayak dan mengelilingi sekolah yang tak sempit itu, yang tentu saja menjadi tontonan warga sekolah sebagai pertunjukan gratis.

Kenangan yang melahirkan sebuah saudara baru. Bahkan dia tidak menyangka di tempat yang jauh, ternyata disambut dengan tangan terbuka. Kota Probolinggo–di Kota Mangga dan Anggur dia mulai menorehkan jejak mimpinya. Bersama kekonyolan, kejailan, ataupun warna yang sudah menemaninya selama dua tahun di Program Bahasa, dan tentu saja bersama memory mengenai kepolosan anak-anak– tentang masa kecilnya.

“Sudah berapa lama aku tidak menanyakan kabar kalian?” batinnya menggerutu. Sekali lagi Ulfa meletakkan pensil dan mengalihkan ke layar berbentuk persegi panjang di sampingnya.

Dia kembali membuka lembaran cerita yang pernah dilalui. Seperti hobi, mimpi, dan semua yang berkaitan dengan Korea. Tentang kedua teman yang entah sekarang bagaimana dan seperti apa? Tentang sungai, rumah-rumahan, badminton, ekstrajoss, dan semua keceriaan itu. Lalu kabar Alfi, Nur dan lainnya? Ulfa kembali menghela napas panjang, sebelum akhirnya terdengar suara khas BBM.

“Kangen kalian aku rekk” diikuti dengan emotif sedih.

“Kapan bisa kumpul?”

“Berkumpul seperti ini yang aku inginkan. Kembali ke SMA lagi” sembari mengirim foto keluarga Linguistic. Dan tentunya masih banyak lagi pernyataan maupun pertanyaan, selain kembali mengejek satu sama lain.

Ulfa hanya bisa mengenang, sembari menyimak percakapan teman-temannya. Belum genap satu tahun mereka berpisah, sudah lebih dari satu kali kata kangen dan kapan bisa kumpul lagi berkicau di grup yang sakral itu. Padahal ketika masih SMA, mereka tidak sabar untuk segera lulus dan melepas masa putih abu-abu.

Tapi jika ditanya apa dia ingin? Tentu saja. Bahkan tidak perlu ada yang menawarkan Ulfa pasti mau. Daripada dia repot dan jemu dengan tugas kampus yang membuat energinya terkuras banyak, dengan membagi waktu untuk latihan Orientasi Mahasiswa Baru, yang selama tiga bulan ini dilalui secara bergiliran. Sungguh membuat kepala pening. Kehidupan kampus tidak seperti bayangannya dulu. Kemampuan beradaptasinya kali ini membutuhkan keteguhan yang ekstra.

Tidak ada lagi seorang guru yang menegur ketika melakukan kesalahan, tidak ada yang menasehati, tidak ada yang mengingatkan bahwa mempunyai mimpi besar dan pantang menyerah itu sebuah keharusan. Tidak ada yang seperti itu. Karena sekarang Ulfa tahu, masuk dalam kampus dan keputusan untuk menjadi mahasiswa harus bisa menghapus semua itu. Masuk kampus harus berdiri sendiri, tidak ada alasan dan diri sendirilah yang harus mengingatkan. Ya, begitu.

Dengan jejak-jejak kenangan masa kecilnya itulah Ulfa menghibur diri. Disesaknya kampus, sebuah nostalgia dapat kembali mengisi energinya.

Kadangkala, dia sempat mengimajinasikan seandainya perkembangan zaman bisa membawanya ke masa lalu–seperti alat yang dimiliki oleh robot kucing asal Negeri Matahari itu, dia begitu ingin menciptakan banyak memori dalam hidupnya. Tidak peduli apakah kenangan itu saat dia dan Lida kembali dikejar-kejar kakak kelas karena jailnya teman satu kelas waktu sekolah dasar. Atau berkali-kali mereka bermain di sungai dan memasak kerang sehingga Maria tidak mendapat bagian. Juga pulang sekolah dengan seragam yang basah kuyup karena kehujanan.

Jika sebuah masa kecil bisa diulang, dia ingin menciptakan banyak kenangan lagi. Kalau saja masa kecil itu dapat diulang, mungkin dia tidak ingin segera beranjak dewasa dengan kehidupan yang begitu rumit ini. Namun jika masa kecil itu dapat diulang, semoga mereka tidak melupakan kenangan hangat yang pernah tercipta.

Dan sekali lagi, suara khas messenger membuyarkan lamunannya.

“Ngadain reuni yukk!”

-oOo-

[Cerbung]: Everytime With You : Memory "Perjalanan Melipat Jarak"


#part5


Aneh. Kupikir demikian. Semakin hari kulewati, kenangan itu selalu terlintas begitu saja. Kupikir apa harganya sebuah kenangan? Namun aku salah besar. Karena kenanganlah kita bisa mengerti seseorang yang sangat berharga. Dan karena kenanganlah kita bisa tahu, kalau kita pernah merasakan apa itu kata keceriaan.

***

“Hai kawan! Sudah lama rasanya aku tak menorehkan kembali tintaku di lembaran kertas putih ini. Apa kau masih setia menunggu kelanjutan cerita ini? Bila begitu, bersiaplah.” Ulfa kembali menorehkan tinta dalam buku harian seperti biasanya.

Duduk di kelas sebelas tanpa kehadiran kalian benarkah? Itulah jauh-jauh hari yang kupikirkan setelah kita benar-benar terhalang jarak karena kata perpisahan. Apa kalian pernah berpikir membenci kata itu? Jika kalian berdua bertanya kepadaku–ya, aku membencinya. Aku bahkan tidak tahu apa itu arti kehidupan, tapi setidaknya aku tahu satu hal. Tentang kalian, yang setiap saat bersamaku.

Class meeting yang membosankan. Pagi itu sekitar pukul setengah sebelas, Ulfa dan beberapa teman satu kelasnya tengah duduk-duduk berselonjor di bangku kelas paling belakang. Semuanya terlihat lemas, dan sangat berharap bel pulang akan segera berdenting. Tetapi sudah satu jam lebih mereka berada di kelas, namun harapan itu hanya sia-sia saja.

Mengantuk, lapar, dan bosan dengan kegiatan yang ini-ini saja, membuat mereka hanya bisa termenung dengan kipas angin yang selalu menemaninya. Bahkan pertandingan futsal antar kelas yang dilaksanakan di lapangan basket itu sudah tidak menarik lagi. Mereka hanya mengharapkan satu kata–pulang.

Tapi entahlah dari mana topik ini berasal, membuat Ulfa semakin ingin membahasnya. “Melihat dia tidur di atas barisan kursi itu mengingatkan aku tentang masa kecilku dulu, yang masih gemar-gemarnya membuat rumah-rumahan dari bambu, beratapkan daun salak, dan masih rajin-rajinnya bermain masak-masakan,” tutur Ulfa seraya bercerita sedikit tentang masa kecilnya.

“Iya Ul, dulu aku juga pernah seperti itu. bila diingat-ingat lucu juga ya?” jawab salah satu teman Ulfa yang tengah duduk di sebelah Ulfa menghadap ke utara. Ulfa hanya tersenyum sambil mengangguk.

 “Tentu saja, sangat menyenangkan” gerutu Ulfa dalam hati.

“Aku pernah merebus jeruk yang rasanya  kecut. Aku pikir dengan merebusnya akan menghilangkan rasa kecutnya, tetapi sama saja. Menggoreng mangga dengan botol seng, yang sama sekali tidak ada takutnya dengan berbagai bakteri. Bahkan membakar buah salak dan kadang merebusnya,” Ulfa menggeleng-gelengkan kepalanya sambil sesekali tersenyum. Masa kecil yang konyol, lanjutnya.

Teman-teman di sampingnya berwajah heran, mereka diam mendengarkan pengalaman Ulfa dengan sangat khusyuk. Mungkin di dalam hati mereka bertanya-tanya bagaimana mungkin? Atau mereka sedang menertawakannya dalam hati. Namun sepertinya Ulfa tak peduli bila mereka menertawakannya. Karena menurutnya, hal-hal konyol itu yang paling berkesan dalam ingatannya. Hah ... lagi-lagi kali ini dia tengah bernostalgia.

Sekitar delapan tahun yang lalu...

Terik mentari merayap epidermis kulit. Waktu itu sekitar pukul dua belas tepat, aku baru pulang dari sekolah dan memarkirkan sepeda di teras. Aku langsung berlari ke kamar, setelah mendapatkan penyambutan dari ibu. Mengingat ini ... sungguh menyedihkan.

Setelah itu aku kembali keluar rumah. Biasanya langsung menuju ke rumah Lida, tetapi kadang sebaliknya. Selanjutya kami akan menuju ke tempat biasa kami bermain, kebun salak di belakang rumah.

Sudah dua hari terakhir kami bermain rumah-rumahan. Kali ini kami hanya berkunjung dan sesekali membersihkan dedaunan yang bertamu di rumah sederhana kami. Dan kami juga berpikir, apa yang kurang dari rumah-rumahan ini?

Beberapa detik kemudian datang Alfi, Maria, Nur, dan beberapa teman lainnya. Ulfa dan Lida terkejut sekaligus senang. Keduanya menyambutnya dengan tangan terbuka. Bagaimana tidak? Mereka adalah tamu pertama, dan dengan kedatangan mereka bertambahlah penghuni rumahnya.

“Hei teman-teman, kita main masak-masakkan yuk?” tutur Alfi sembari memberi pendapatnya. Semua teman-temannya setuju, namun mereka kembali bingung–apa yang akan mereka masak nantinya?

Mereka melingkar dan mengutarakan pendapatnya masing-masing, mengingat ini seperti konferensi meja bundar saja. Tak sampai satu jam, akhirnya mereka menghasilkan sebuah kesepakatan yaitu memasak mi instan dan merebus telur.

Dipertemuan berikutnya mereka kembali mencari ide apa yang akan mereka masak? Ada yang berpendapat memasak kangkung, nasi goreng, dan kerang. Dari sekitar lima orang lebih itu, akhirnya memilih kerang. Tentu saja kerang bukan perkara mudah. Tidak seperti mi instan yang selalu ada di toko atau warung-warung setempat, tapi mereka harus mencarinya dulu di sungai.

“Aku dulu mencari kerang di sungai ini,” tutur Alfi sembari menunjuk dengan jari telunjuknya. Aliran sungainya tidak terlalu deras, jernih lagi. Heemm... pasti airnya dingin, terlebih di sini pepohonannya amat rindang. Namun aku tidak melihat sebiji kerang pun di sungai ini, gerutu Ulfa dalam hati. Dengan perlahan Alfi turun ke dasar sungai sembari membawa setangkai kayu yang tak kutahu namanya. Kami hanya menontonnya dan berpikir sebenarnya apa yang akan dilakukan? Alfi lalu membungkuk dan membelah aliran sungai hingga ke dasar tanah sehingga membuat air sungai mengeruh. Kami masih diam, berpikir tidak tahu apa maksudnya.

Namun setelah air sungai kembali jernih, saat itulah aku dan teman-teman melihat sekumpulan kerang berwarna kuning kecoklatan. Ya, dan di situlah aku mengerti kalau kerang-kerang itu bersembunyi di balik tanah.

“Apa kalian akan diam menonton saja? Ayo kemari” komentarnya kepada kami yang memandangnya takjub. Namun beberapa detik setelahnya kami dengan serempak menyingsingkan celana dan menjatuhkan diri ke dalam air sungai yang sudah kami prediksi sebelumnya–dingin. Rasanya sungguh segar, dan kami sesekali membasuh muka sembari memunguti kerang yang kami cari.

Memang yang satu ini butuh perjuangan. Kami memang sudah mendapat setengah keranjang kerang segar. Setelah tenaga kami terkuras, salah satu teman memutuskan untuk kembali ke rumah-rumahan dan menyimpan kerang-kerang itu di bak dengan penuh air. Kami tidak mungkin langsung memprosesnya, karena tanpa terasa saking asyiknya bermain di sungai, mentari sudah berada di sepenenggal langit.

“Kerangnya kita rebus besok saja, dan setelah itu langsung kita goreng.” Tutur Alfi yang terlihat sangat berpengalaman di dunia permainan ini. Dia menatap lekat-lekat teman-temannya yang perlahan menganggukkan kepalanya ringan.

“Tapi, kita bumbui apa kerang itu? masa digoreng saja, mana ada rasanya?” komentar Nur yang disetujui semuanya.

“Emm ... yang sederhana sajalah. Dibumbui kecap juga mantap,” dan lagi-lagi Alfi yang paling berpengaruh di kegiatan ini. Padahal kan dia anak cowok, meski tidak satu-satunya dia anak cowok di sini tapi pengetahuannya tentang memasak yang membuat Ulfa iri. Mungkin bukan Ulfa saja, tapi teman-teman cewek lainnya.

“Kalau begitu, kita kumpulkan uang untuk membeli bahan yang kita butuhkan untuk besok. Atau kita bagi saja, siapa-siapa yang membawa bahan-bahannya?” kali ini Ulfa ikut menimpali.

“Setuju. Itu terkesan tidak memberatkan.” Semuanya mengangguk.

Keesokkan harinya, kami mulai beraksi dengan sepanci kerang bersama kepulan panas yang membumbung dengan bau gurihnya. Cangkang-cangkang kerang itu dengan perlahan mulai membuka bak bunga mawar yang mekar. Air yang awalnya penuh, kini terkikis dan meresap menandakan kerang yang kami rebus sudah siap untuk diproses ketahap selanjutnya.

Alfi langsung mengangkat panci dan meniriskan kerang-kerang itu lalu menungkannya ke sebuah panci baru yang sudah dipenuhi air. Dia beranggapan bahwa dengan merendam kerang-kerang yang tengah mengepul itu ke dalam air akan menetralkan suhunya. Dan ternyata, itu memang benar. Setelah sekiranya kerang-kerang itu mendingin, kami berkumpul membentuk lingkaran dan ramai-ramai memisahkan daging kerang dengan cangkangnya.

Kami sempat tidak mempercayai sebuah keadaan dengan kerang-kerang yang terbilang tak sedikit ini apakah bisa segera menyelesaikan? Terlebih meski sudah memisahkan cangkang dengan dagingnya, kami masih belum bisa menyantapnya. Tentu masih harus berlari lagi ke tahap selanjutnya. Memang menyebalkan. Tapi sembari melakukannya, kami seraya bercerita bahkan bercanda yang membuat lupa waktu, dan membuat kegiatan yang dilakukan lebih cepat selesai dari yang dibayangkan sebelumnya.

“Aku akan menyiapkan wajannya,” tutur Ulfa sembari beranjak dari lingkaran yang mereka ciptakan.

“Hei teman! Kita membutuhkan kayu bakar, ini tidak cukup untuk menggoreng kerangnya,” salah satu teman kami berteriak dari tungku setelah memeriksa bahan kelengkapan lainnya. Mendengar teriakkan itu, beberapa teman menyegerakan diri mencari ranting-ranting di sekitar kebun salak sebelah barat yang berada tepat di bawah pohon bayur.

Setelah semua siap, kami kembali mengerumuni wajan yang tengah menopang di atas tungku dengan api yang menyala-nyala. Sambil menunggu kerang yang digoreng, ada yang hanya duduk-duduk sambil bercerita, bermain ranting-ranting atau memainkan bunga bayur dengan mengibaskan ke atas seperti kicir angin. Itu adalah kegiatan menunggu yang paling menyenangkan.

“Ayo berkumpul teman-teman!” teriakkan Alfi yang membuat semua yang sedang asyik bermain sendiri menyerbu Alfi yang tengah membawa sepiring kerang goreng hangat.

Semua hanya tercengang, dan diam beberapa saat. Kenapa begitu? Tentu saja kami heran dengan kerang yang hanya sepiring ini. Bukankah awalnya kami mendapatkan kerang segar setengah panci besar, dan setelah matang hanya menjadi sepiring itu pun sudah ada taburan kecapnya? Ahh ... tahu begitu mungkin kami akan mencarinya lebih banyak lagi. Tapi sudahlah, tidak perlu menyesal. Saat ini bukan waktunya untuk menyesal, tapi waktu untuk menyantap kerang goreng kecap ala kami.

Selamat makan! Iiitttsss tunggu!!! Sebelum menyantap kerang goreng kecap itu, kami merasa kasihan kepada Maria yang harus pulang terlebih dahulu sebelum mencicipi sekalipun masakan ini. Tidak ada yang tahu alasannya, tapi sepertinya dia harus ikut dengan ibunya yang entah mau ke mana. Sudah sejauh ini, dia malah pergi begitu saja.

Ting!ting! ting! ting! Yes. Akhirnya hal yang ditunggu-tunggu pun terjadi. Bel pulang telah berdenting, Ulfa dan teman-temannya terkesiap dan segera menyiapkan diri untuk segera pulang. Namun Ulfa kembali tersenyum saat mengingat kenangan masa kecilnya itu. Sambil berjalan beriringan dengan siswa lainnya tak terasa hatinya tak bergeming, “Meski pada saat itu aku merasa kecewa, tapi di situlah aku tahu arti sebuah kebersamaan.”


[Cerbung]: Just One Day : Memory "Perjalanan Melipat Jarak"


#part4


Aku punya satu keinginan. Namun aku tidak tahu, apakah aku akan segera mendapatkannya? Awalnya, aku selalu berharap seperti itu. tapi waktu tengah berkata lain.

Namun aku begitu memimpikan suatu hari itu, di mana kita dapat kembali tebar sapa dan melepas kerinduan. Ya, aku selalu memimpikannya.
***
Tak terasa aku sudah duduk di kelas sebelas. Ini berarti, sudah satu tahun lebih kami tidak bersama-sama lagi. Jejak tinta yang tengah berada di pelukan jemari Ulfa. Tidak masalah, bukankah sebentar lagi akan liburan? Memang, karena itu inilah liburan yang paling aku tunggu-tunggu. Lanjutnya kembali. Dengan perlahan Ulfa menutup buku hariannya dan merebahkan seluruh tulangnya ke atas ranjang kamarnya. “Selamat malam kawan...” tuturnya sambil memejamkan kedua bola matanya.

Langit jingga sudah terlihat tiga puluh menit yang lalu. Dan saat itu, terlihat Ulfa tengah mempersiapkan diri untuk berangkat ke sekolah. Beberapa saat kemudian dia terlihat tengah menimang sesuatu, tapi dia langsung saja menepisnya dan segera melakukan kegiatan seperti biasanya.

Siang telah menjelang. Sepulang sekolah dia langsung merebahkan tulang-tulangnya seperti biasanya, namun beberapa saat kemudian, ponselnya berdering tertanda ada pesan baru masuk.

“Liburan besok, bagaimana kalau kita bertemu?” Ulfa tersenyum saat mendapati pesan itu dari salah satu temannya waktu SMP. Wajah Ulfa terlihat sedikit bingung, dia kembali berpikir dan terus berpikir.

“Aku sih iya-iya saja. Tapi masalahnya, aku tidak tahu kapan waktu liburanku tiba”dengan cepat dia membalasnya.

Dengan balasan juga, temannya menjawab, “Oh baiklah kalau begitu. Kita lihat saja nanti.”

Aku kembali meletakkan benda elektronik itu di atas meja belajar dan kembali bernapas berat. Aku terus berpikir, apakah bisa datang dan berkumpul lagi dengan teman-teman? Sehingga terbelenggu dengan kepastian sekolah.

Hari yang kutunggu-tunggu pun telah datang. Meski sedikit kecewa, karena liburanku datang terakhir dari teman-teman yang ada. Meskipun seseorang yang katanya cita-citanya masih dipikirkan, masih ada waktu dua hari untuk liburan, tapi aku tak bisa bertemu dengannya.

“Sepertinya rencana kita gagal. Aku sudah masuk sekolah,” aku kembali mendapati pesan itu bertengger di layar benda elektronikku. Ya, aku juga merasa demikian. “Bagaimana denganmu, sudah liburan kah?” lanjutnya. Dengan santai aku menggerakkan jemari kananku untuk membalasnya.

“Iya, sangat disayangkan. Kita tunggu liburan selanjutnya. Hemm ... aku sedang merasakan liburanku hari ini. Selamat belajar” candaku saat membalas pesan singkatnya.

Setelah itu, aku berniat menghubungi seorang penggemar berat Super Junior, Maria. Namun urung dan hanya bisa kembali meletakkan ponsel lalu meninggalkannya di atas ranjang kamar. Kemudian kembali berkumpul dengan keluarga, terutama anggota baru–Azka, begitulah aku memanggilnya.

Dia adalah malaikat kecil dalam keluarga. Seorang malaikat kecil yang menyebalkan. Kenapa begitu? Karena aku sering digigit olehnya.

“Yek... yek... yek...” begitulah dia memanggilku. Awalnya aku sedikit bingung. Bukan, lebih tepatnya tidak mengerti sama sekali dengan bahasa bayinya. Namun setelah hampir seminggu penuh dengannya, akhirnya mengerti kata “Yek” itu yang keluar dari bibir tipisnya adalah “Lik”. Aku hanya bisa mengelengkan kepala setelah kakak menjelaskan maksudnya. Dalam pikiran berkata, kuasa Allah sungguh mengagumkan.

Kamis malam aku mendapatkan sebuah pesan baru. Awalnya aku tidak tahu, karena baru membukanya saat menyidikkan mata setelah bangun tidur. Seperti biasanya, langsung meraba-raba tempat tidur untuk mencari ponsel. kemudian langsung mengeceknya apakah ada pesan baru masuk. Dan ternyata, kedua bola mataku mendapatinya.

“Yang tersisa hanyalah puing-puing kenangan saja. Mungkin memang tidak saling mengucapkan “kita sahabat” atau “aku akan selalu ada untukmu” dan juga “aku sayang kamu”. Tetapi aku bersyukur, mereka selalu ada saat masa-masa sulitku dulu. Di saat semua menjauh, mereka malah tetap tinggal, entah karena memang peduli atau hanya sekedar kasihan. Terima kasih. Namun saat ini semua telah berubah, tak ada lagi 2 teman yang selalu ada itu, jarak kami bahkan sangat jauh. Mereka telah memiliki cerita dan kawan-kawan yang baru. Mengingat itu, terkadang aku merasa sedih. Terima kasih, Manboo, Yongsul. Selamat Tidur” jujur saja, sedikit tercengang saat membacanya. Aku langsung berpikir, kenapa tiba-tiba Maria mengirimkan pesan ini kepadaku? Apa ada yang salah denganku? Apa ada masalah dengannya?          

Siang harinya, aku merebahkan seluruh tulang-tulang di atas ranjang kamar. Dengan bernapas berat aku kembali berpikir dan kembali membaca pesan dari Maria. Tak terasa telah menciptakan senyuman yang menggantung di sudut bibir, aneh juga aku tidak mengerti kenapa. Tapi kembali tak menyangka, dia sungguh puitis. Sungguh tak disangka. Aku berpikir dia sedang dirundung hati yang berbunga atau sebaliknya. Tetapi aku selalu berharap, semoga selalu ada keajaiban di sekitarnya.

Beberapa hari kemudian, aku mendapati Maria tengah berargumen di jejaring sosialnya. Aku hanya bisa tersenyum dengan kalimat yang sungguh tersembunyi artinya itu. Aku juga tak bisa banyak bertanya padanya, namun aku tahu... hatinya kini sedang dirundung kebimbangan. Hihihihihi...

“Kalau Anda single bukan berarti Anda tidak laku. Mungkin saja Tuhan terlalu sibuk menuliskan kisah cinta yang indah untuk Anda.” Sekarang aku tahu kenapa dia mengirimkan pesan ini beberapa waktu lalu. Dia bukan membicarakan tentang orang lain, karena menurutku dia sedang membicarakan tentang dirinya sendiri, yang sedang penuh dengan tanda tanya besar di hatinya. Andai ada Lida, pasti lebih menyenangkan. Tapi oppss... berkata Lida membuatku teringat padanya. Sayangnya, kali ini tak ada kabar apa-apa, begitu pula cerita yang kutulis kali ini. Tidak banyak yang bisa ditulis, namun semua itu masih tersimpat lekat di memori.

“Kawan ... aku pernah bercerita tentang berjuta mimpi yang ingin kucapai. Dari berjuta mimpi itu, aku selalu berharap, kita akan selalu menciptakan kenangan yang tak terlupakan. Aku tak butuh satu tahun untuk menciptakannya, lima bulan, sebulan, empat belas hari maupun seminggu. Namun cukup sehari, aku selalu berharap, kita akan segara menciptakannya kembali.

Sebuah ingatan telah merubah dunia. Sebuah kenangan telah terlewati bersama. Sebuah kebersamaan telah kita lakukan. Dan semua tentangmu, masih tersimpan. Ingatlah kawan ... berjuta bintang menyinari dunia. Beribu galaxy menghiasi angkasa. Aku tak bisa melihatnya semua, hanya ada dua cahaya yang bisa aku pandang, disetiap saat ... disetiap waktu ... dan selamanya ....”

[Cerbung]: A Promise



#part3


Andaikan aku bisa memutar waktu. Aku ingin kembali kemasa-masa dulu, di mana kita selalu bersama. Do Chi San dan Wo Yong Sul, yang selalu membuatku “Happy Ending”.

Sore ini hujan turun begitu derasnya. Aku tidak mengerti apakah akan segera berakhir? Tapi ... aku berpikir lebih baik seperti ini, sehingga bisa bernostalgia dan kembali merangkainya, merangkai kenangan-kenangan yang pernah kita lalui bersama.

Hal pertama yang ingin aku sampaikan. Tak terasa sudah hampir dua tahun kita berpisah. Aku sungguh tak pernah menyangka semua ini akan terjadi dan ... mengarunginya tanpa bersama kalian berdua. Sebenarnya aku sangat berharap, bisa menikmati setiap detik manis pahitnya kehidupan seperti dulu. Tapi aku juga menyadari sesuatu, bahwa semua itu tidak dapat lagi kita rasakan–seutuhnya.

Saat aku tengah bernostalgia seperti saat ini, aku merasa ada sesuatu yang hilang dari raga. Aku tidak mengerti kenapa  bisa merasakannya. Yang jelas, aku tengah membutuhkan kehadiran kalian, yang selalu membuat tersenyum tanpa sebab, yang selalu membuat tertawa tanpa sebab, dan selalu membuatku bersedih tanpa sebab. Ya ... aku benar-benar merasa kehilangan semua itu akhir-akhir ini. Benar-benar kehilangannya. Ukiran kalimat ini meninggalkan jejak  di buku harian Ulfa.

7 bulan yang lalu...

Saat itu terlihat Ulfa tengah bermain-main dengan ponselnya. Seperti biasa, dia selalu melihat berita tentang Korea dari balik layar itu. Ya, dia tengah membuka jejaring sosialnya. Dan betapa terkejutnya, saat mengetahui berita hangat yang bisa membuat hati berbunga-bunga. Boy-band terkenal Korea akan mengunjungi Indonesia dalam waktu dekat ini.

“Wahh... mereka akan mengadakan konser live” tukasnya sambil terus membaca artikel itu dengan seksama. Sebelum membaca tuntas artikel itu, tiba-tiba pesan di jejaring sosialnya berdenting.

“Hei! Ulfa apa kamu tahu, tanggal 23 Agustus bulan besok Super Junior akan ke Indonesia. Hah, aku tidak menyangka, bahkan di tayangkan live. Aku begitu bahagia, tapi sayangnya aku harus berangkat sebelum konser itu terlaksana.” Ulfa hanya bisa membacanya dengan tersenyum, tapi ... ada sedikit yang mengganjal yang membuat senyumnya memudar.

“Aku juga senang dengan adanya berita itu. Haisss... sayangnya kamu tidak bisa menonton Kyuhyun Oppa idolamu. Aku punya solusi. Bagaimana kalau kamu bawa televisi saja dari sini? Kan enak tuh, tanggal 23 kamu bisa melihat mereka tampil,” canda Ulfa saat membalas pesan itu yang ternyata dari Lida.

“Iya bisa. Tapi aku sampai sana, di bawa lagi oleh ayah ke sini.” Ulfa benar-benar tak bisa menahan tawanya saat membaca balasan pesan dari Lida itu, dan percakapan mereka hanya bisa sampai di sini.
Santri ini sudah pulang  beberapa hari sebelum menjelangnya Hari Raya Idul Fitri. Ya ... waktu itu sekitar, hah! Yang jelas pada waktu itulah, sekitar bulan juni dia kembali. Waktu itu kami bertiga masih sempat pergi bersama, menghadiri pisah kenang sekolah dasar kami yang tak begitu jauh dari komplek rumah.

Saat itu kami berkumpul, bukan bertiga. Tapi ada tambahan anak-anak K- pop lainnya yang juga alumni dari sekolah kami. Lama tidak bertemu membuatku semakin was-was. Ya, aku selalu melihat gerak-geriknya. Yang ternyata meskipun dia sudah resmi menjadi santri dia tidak berubah. Bukan dia yang aku maksud, tapi tangannya masih tetap agresif, tangan itu akan hinggap sesaat alias mudah nyeplos, jika ada yang membuatnya kesal, walaupun itu hanya sebuah candaan.

Tapi hatiku semakin tertawa terbahak-bahak. Aku sungguh tidak bisa menahannya. Karena baru pertama kali ini ada seorang santri yang menanyakan lagu terbaru K-pop. Dia seorang K-pop santri sejati dan dia sahabat terunik yang pernah aku temui. Dan aku yakin, hanya persahabatan ini yang paling unik. Dari persahabatan lainnya yang ada di seluruh dunia, kata hati Ulfa sambil menutup jejaring sosialnya.

Bukan itu saja, kata hati Ulfa kembali tak bergeming. Waktu itu tanpa sengaja aku mendapati adik kelasku bermain badminton di tempat yang tak seharusnya. Mereka bermain di bawah pohon mangga yang besar berjarak seratus atau dua ratus meter dari jarak pandangku yang duduk santai di bangku depan kelas bersama ketiga teman akrabku. Sambil melepas lelah setelah jam olahraga, akhirnya aku dan teman-teman memutuskan untuk rehat dan berbincang-bincang di sana.

Aku terus memandang mereka bermain dengan tertawa, bahkan beberapa waktu berlalu sensei–guru juga ikut bermain. Aku juga ikut tertawa saat salah satu dari mereka tidak bisa menangkis kok dengan benar. Tapi ternyata, aku bukan tertawa karena melihat sensei bermain dengan ketiga adik kelas itu. Tapi aku tertawa saat tiba-tiba  aku terhanyut kembali ke dalam  kenangan bersama  Lida.

Waktu itu aku masih belum yakin apa itu yang di namakan arti sebuah persahabatan. Karena itu, aku juga tidak yakin apa kenangan itu bisa membuat kenangan indah setelah dewasa nanti. Inilah pemikiranku waktu masih duduk di bangku sekolah dasar. Sayangnya, pemikiran itu sedikit demi sedikit menjadi kenyataan. Meskipun belum terlalu dewasa, ternyata kenangan itu benar-benar indah.

Liburan akhir pekanku, biasanya dihabiskan dengan bermain bersama teman daerah rumah. Tapi saat itu, aku punya rencana lain. Yup, ada janji dengan Lida untuk bermain badminton pukul enam pagi. Akhir-akhir ini kami serasa dihantui oleh badminton, karena hawanya semakin menjadi-jadi di daerah kami.

Hari-hari yang ditunggu-tunggu telah menjelang. Kami berdua sedang mencari tempat yang pas untuk bermain badminton.

“Bagaimana kalau di depan halaman rumahmu?” tanya Ulfa sambil sibuk memainkan raketnya.

“Jangan. Kamu tahu sendiri kan  adikku seperti apa,” sergah Lida sambil memasang wajah bingung.

“Terus? Kita akan bermain di mana? Sayang jika batal. Aku sudah menyiapkan minuman ekstra untuk kita nanti” tanya Ulfa sambil memandang botol penuh itu dari jemarinya, begitu juga dengan Lida.

“Ah... aku punya ide. Gimana kalau kita bermain di halaman masjid?” tukasnya sumringah.

“Ide bagus, ayo.”

Sambil melakukan pemanasan, keduanya menegak sekali minuman yang tadi dibawa. Karena hari sebelumnya, mereka sudah menyiapkan minuman itu, yaitu minuman andalan ekstrajos. Sebenarnya Ulfa juga tidak tahu apa alasan keduanya membeli minuman kemasan itu. Mungkin karena sering nonton televisi yang waktu penayangan Olimpiade Bad nimton Asean para pemainnya meneguk minuman sejenisnya. Dan keduanya, ingin merasakan apa yang atlet itu lakukan. Atau mungkin karena pengaruh iklan? Mereka ingin seperti Taufik Hidayat, Liliana Natsir, Simon Santoso atau Ahmad, melakukan pukulan yang menajubkan, mungkin itu alasannya.

Setelah dipikir-pikir, meminum minuman yang mereka bawa itu permainan yang dilakukan begitu sangat lancar. Pukul, pukul, pukul! mereka saling memukul satu sama lain dalam waktu yang panjang. Sampai-sampai keduanya tidak kuat dan entah mengapa keduanya tiba-tiba tertawa. Sungguh, mereka tertawa lepas dalam permainan ini.

“Tunggu, tunggu, biarkan aku tertawa sebentar,” tukas Ulfa sambil memegangi perutnya yang sakit sambil duduk berselonjor di atas paving bersegi enam itu. Diikuti oleh Lida sambil berhadap-hadapan. Keduanya benar-benar tak henti-hentinya tertawa dan tak ingin berhenti tertawa.

Selang beberapa menit. Mentari telah berdiri cukup tinggi  dan keduanya juga sudah berhenti tertawa, tapi kelihatannya mereka masih terlihat lelah. Karena itu mereka tidak langsung pulang tapi masih mengobrol di tempat itu.

“Aku tidak menyangka dapat bermain dengan lihai–tadi. Aku rasa itu berkat minuman yang kita bawa, ekstrajos. Hah...” tukas Lida sambil menatap langit pagi. Sedangkan Ulfa hanya menggangguk tersenyum dan mengikuti arah pandang Lida yang misterius itu. Bukan masalah ekstrajos dan bukan karena ekstrajos. Tapi karena percaya, bahwa kita dapat melakukannya, itu kuncinya. Teriak hati Ulfa yang tak bergeming sambil memandang langit itu dengan seksama. Kepercayaan, lanjutnya sambil memejamkan matanya perlahan.

Ulfa hanya bisa tersenyum mengenang kenangan itu sambil merebahkan diri di atas ranjangnya. Dia sejenak berpikir, apakah kelak dia dapat menciptakannya lagi? Apa dia bisa melukisnya lagi? Tapi untuk saat ini dia tidak mau banyak berpikir. Karena matanya telah mengajaknya ke sebuah mimpi indah dalam khayalnya.

3 minggu sebelum 23 Agustus...

Kabar keberangkatan Lida ke pesantren saat itu juga didengar oleh Ulfa yang sedang berada di luar kota. Dia tahu saat membuka jejaring sosial. Dia melihat kiriman dari Lida yang tengah mengucapkan salam perpisahan. Ulfa hanya bisa memandangnya dengan hati getir, dia berfikir Lida benar-benar tidak bisa menonton idolanya saat ini. Demi mimpinya menjadi guru, dia rela melakukannya.

“Selamat jalan kawan. Kyuhyun pasti tahu alasan kamu tidak bisa  melihat konsernya. Tenang saja, aku akan membawakanmu tanda tangannya saat aku ke Korea nanti :P... ” balas Ulfa, tapi dia segera menghapusnya dari kolom komentar. Dia membatalkan kiriman dan meng-logout jejaring sosial itu. Dia hanya mendesah dan kembali fokus kepada tumpukan tugas-tugas yang telah lama menanti.

"Dan sekarang semua itu telah berlalu. Semua itu sudah menjadi kenangan masa lalu. Tapi bagiku, tidak ada yang lebih indah dari sebuah pengalaman bahagia. Aku ingin terus menciptakannya, bersama kalian melalui masa depan esok. Berjanjilah selalu menjadi sahabat terbaik yang pernah aku miliki. Disetiap hembusan napas, yang melengkapi sebuah kebersamaan.”

--Ulfa


[Cerbung]: Kembali ke Masa Lalu : Memory Perjalanan Melipat Jarak



#part2


Memang, waktu telah berputar begitu cepat yang membuat siapa pun pasti tak menyangka akan hilangnya setiap detik waktu berdenting. Kerinduaan yang mendalam akan hadirnya sesuatu yang berharga dalam jiwa seseorang, membuatnya begitu terasa istimewa dan memiliki keunikan tersendiri bagi yang merasakannya.

Desas-desus ini sudah bermunculan sekian lama, tapi masih belum ada suatu kebenaran di dalamnya. Karena ringannya beban, sehingga angin dapat membawa terbang sampai ke penjuru kota. Seperti pada siang yang terik ini. Ketika Ulfa sedang ingin membaringkan diri ke ranjang, tiba-tiba ponselnya berdering tanda ada pesan masuk. Dengan menghela napas panjang, ia kembali berdiri mengambil ponsel yang berada di meja belajar dengan jarak cukup jauh. Dengan perasaan kesal juga penasaran dibukalah pesan singat tersebut.

“Assalamualaikum Wr.Wb...... bertepatan dengan hari pisah kenang adik kelas sembilan, sekolah mengadakan reuni bagi para alumni pada 7 Juni. Aku ingin sekali kamu bisa datang. Aku ingin sekali kita kumpul-kumpul seperti dulu, please... datang ya?”

Pesan dari Maria yang begitu banyak arti ini, membuat Ulfa shock sekaligus bingung. Pasalnya tanggal 7 Juni besok, ia masih ada ujian. Ya ... ujian yang menentukan, pantas tidaknya ia naik ke kelas sebelas.

Namun di sisi lain, ia juga begitu ingin bertemu dengan sahabat juga temannya waktu di SMP. Para guru, terutama Bu Dwi yang telah memberikan kepercayaan padanya. Bu Lia yang selalu memberi dukungan penuh untuknya. Juga adik kelas yang dulu bisa membuat senyum Ulfa mengembang karena sifat humoris dan jailnya. Semua itu tiba-tiba terputar oleh memori Ulfa, saat ia mengingat tentang masa lalu di SMP tercinta.

Beberapa saat kemudian, perasaan lega tengah membanjiri hati ulfa, pasalnya dugaannya tadi meleset dan tentu salah duga. Dia pikir terlaksana pagi hari, tapi kenyataannya memiliki kesamaan dengan kemauannya pada malam hari. Meskipun belum positif ia akan datang, tapi lebih positif ia akan mengusahakan diri untuk hadir diacara tersebut.

7 hari kemudian

Besok adalah ujian terakhir Ulfa. Meskipun hanya satu mata pelajaran yang sedang diujikan, ia begitu semangat belajar. Pasalnya ingin sekali diselesaikan dan  segera berangkat ke luar kota. Ke tempat keluarganya menetap dan ... begitu ingin menghadiri undangan reuni itu.

Keesokan harinya, terlihat Ulfa dengan selembar kertas jawaban yang tengah dikumpulkan kepada pengawas ujian dengan begitu percaya diri. Disaat bersamaan, terdengar empat kali suara bel berdenting. Hatinya begitu berbunga-bunga, tandanya waktu pulang sekolah pun tiba.

“Ayo kita pulang?” ajak salah satu teman SMA Ulfa, Tia namanya.

“Ayo!” kata Ulfa mengiyakan. Tapi dari belakang suara teriakan memanggil mereka.

“Ulfa, Tia, tunggu aku!” katanya, sambil sesekali berlari untuk mendekatkan diri pada Ulfa dan Tia. Dia adalah teman Ulfa namanya Musti. Kedua temannya ini juga penggemar berat Korea. Siwon personil Super Junior adalah idola Tia, sedangkan aktor ganteng Kim Bom Soo adalah idola Musti.

Hah ... tidak di mana pun K-Pop masih bersarang di hati para pemuda tanah air ini. Seberapa lama-pun virus itu menyerang, mereka bukan mengobatinya, tapi tambah mempertebal virus itu dengan membaca semua seluk beluk idola masing-masing. Tapi karena adanya virus tersebut, mereka lebih terbuka dan suka bertukar pendapat dengan penderita lainnya. Dan itu juga yang menjadi keunikan tersendiri untuk para K-Pop, karena keakraban yang akan selalu hadir di dalamnya. Sementara mentari telah menyingsing. Tiba-tiba ponsel Ulfa sedang berdering sebagai tanda ada pesan baru masuk. Tentu saja sudah  bisa ditebak pesan itu dari siapa? Ya, Maria.

“Ulfa sudah sampaikah?” isi pesan singkat tersebut.

“Iya, aku baru sampai” balas Ulfa, sambil beristirahat di kamar mungilnya.

“Yeeeeessss!!! Akhirnya! Ok nanti aku tunggu ya? Soalnya nanti aku diminta menjadi penerima tamu. Jadi aku tunggu di dekat gerbang sekolah,” jelas Maria penuh bahagia.

“Oke! Kita bertemu nanti.”

Langkah ini aku lalui dengan kewas-wasan. Pasalnya banyak batu yang memenuhi jalanan yang akan dilalui. Tapi dengan begitu, aku punya sedikit kepastian untuk selalu sampai di tempat tujuan.

Malam yang dihiasi beribu bintang di setiap galaxy-nya dan bulan sabit yang tengah menyinari langit tinggi gemerlap, juga lampu-lampu penghias di sekitar pentas seni yang telah dimodifikasi sebegitu rupa sesusai dengan rencana. Telah terlihat begitu memukau ... juga terlihat barisan berbagai motif batik di sisi panggung pentas seni dengan bermacam-macam warna. Selain itu, terdapat juga peralatan musik yang sudah tertata rapi, bahkan kursi-kursi yang telah disiapkan telah terisi satu-persatu.

Begitu juga Ulfa yang sudah berada di depan gerbang sekolah, dengan pandangan tajam sedang mencari seseorang. Mata yang telah menyusuri ratusan wajah yang dipandangnya, terhenti pada sosok yang sedang terlihat sibuk dengan makanan dan air mineral di sela jari-jemarinya. Sosok itu sama sekali tidak berubah, tetap sama seperti masa SMP dulu. Ia sedang memakai baju batik berwarna biru bermotif bunga-bunga kecil, yang sesekali menyapa ramah para undangan yang datang. Biru ... adalah warna kesukaannya. Dan itu ... sosok itu yang dia rindukan selama ini, Maria sahabat dan teman 11 tahunnya. Akhirnya Ulfa dapat memandang sosok Maria hanya beberapa jarak dari posisi berdirinya.

Dengan penuh kepastian, Ulfa mengayunkan kakinya dan menuju ke arah Maria. Ia bahkan tidak menyangka bisa memandang temannya yang selama ini hanya dapat dipandang lewat pesan singkatnya. Saat tepat di hadapan Maria, Ulfa mengulurkan tangan dengan senyum yang menyungging di sudut bibirnya. Maria sedikit terkejut dan diam beberapa saat. Dia terlihat sangat tidak mempercayai pada orang yang sedang mengulurkan tangan itu.

 Setelah menyadari orang tersebut, Maria langsung membalasnya dengan penuh senang dan bahagia. Bahkan ia berkali-kali berkata, “Ulfa... aku kangen,” sambil menjabat tangan Ulfa. Bahkan mata dan wajah yang sedari tadi ramah kepada para undangan berubah menjadi mata yang berkaca-kaca.

Sesaat keduanya melepas kerinduaan, satu persatu teman lama Ulfa berdatangan. Mereka saling menjabat tangan dan saling mengucapkan kata rindu. Tanpa sengaja Ulfa mengalihkan pandangannya ke Maria, ia melihat air mata yang jatuh tanpa disadarinya. Air mata kebahagian, itulah yang dirasakan oleh Maria. Meskipun ada sesuatu yang mengganjal di hatinya dan di dalam hati Ulfa.

Acara sudah dimulai, semua bersorak ria menyambut beberapa penampilan kreatif dari adik kelas. Juga tidak ketinggalan, beribu suara tepuk tangan juga meramaikan acara tersebut. Saat itu, Ulfa tengah mengasingkan diri, duduk di depan teras kelasnya dulu dengan memandang langit malam. Di lain sisi ini bukan malam yang sempurna bagi Ulfa, karena ada satu bintang yang tak dapat menyinari langit gelap dan tak ada di galaxynya.

“Malam ini ... begitu berbeda. Aku kehilangan satu puzzle yang membuatnya kurang lengkap,” rintihan hati Ulfa sambil memandang ke langit. Tiba-tiba Maria datang dan ikut bergabung bersamanya.

“Aku merasa kurang. Andaikan Lida ada di sini, kita bertiga pasti sudah berdebat tentang Korea,” kata Maria, juga sambil menatap langit. “Tapi aku tahu, di sana dia bisa merasakan kebahagian kita di sini, benarkan?” lanjutnya seraya tetap memandang langit malam. “Pasti! cepatlah pulang Lida, kami merindukanmu,” tukas hati Maria. Sedangkan Ulfa hanya mengangguk membenarkan.

“Sahabat 11 tahunku, aku di sini akan selalu menunggumu kembali.”

Setelah merenungkan kenangannya tentang Lida. Mereka segera beranjak dan kembali ke tempat semula, duduk di tengah para undangan. Keceriaan telah kembali mereka tunjukan. Menurut Ulfa, acara pentas seni ini dapat menghiburnya, begitu juga yang terlihat pada Maria dan kawan-kawan. Tapi yang membuat lebih menyenangkan lagi, mereka duduk di sela adik kelas sembilan yang akan meninggalkan sekolah.

“Duduk di sini… membuatku teringat akan perpisahan kita dulu. Aku serasa kembali ke masa lalu” seru Maria dengan rasa haru, sambil memandangi adik kelas yang ada di sampingnya.

“Aku juga bisa merasakan apa yang kamu rasakan saat ini. Tapi bagiku…  tak ada yang lebih indah dari perpisahan kita dulu. Ada satu alasan yang membuatku berpikir egois. Alasan ... kita masih berkumpul, masih memperdebatkan tentang Korea, dan masih mendengarkan lagu favorit kita bersama. Juga tetap duduk bersama di teras depan kelas kita seperti biasanya. Tapi alasan utamanya … ada Lida yang membuat perpisahan kita indah dan begitu terasa lengkap. Tanpanya … pengawal pangeran terasa hambar. Juga karena dia yang akan selalu melindungi kita dari bahaya. (karena Wo Yongsul diperankan Lida sebagai orang ahli pedang, Do Chisan diperan Maria sebagai menteri istana, sedangkan Song Manboo diperankan Ulfa sebagai penasehat pangeran) Dengan begitu, Wo Yongsul, Song Manboodan Do Chisan akan kembali kocak seperti dulu.” tukas hati Ulfa sambil tersenyum bahagia memandangi suasana sekitar.


[Cerbung]: Perpisahan Bukan Sebuah Akhir, Tapi Sebuah Kesetiaan : Memory Perjalanan Melipat Jarak


#part1


“Apa benar kita akan berpisah?”  

Keempat telinga hanya hening setelah menangkap pertanyaan itu. Bagaimana mereka bisa tahu, kalau sekarang saja mereka belum mengetahuinya dengan pasti. Dan kata berpisah akan menjadi momok paling mengerikan bila itu benar-benar terjadi.

Hari ini adalah hari menjelangnya pisah kenang kelas sembilan, yang dilaksanakan oleh SMP ternama di sebuah kota di Jawa Timur, tepatnya di sebuah kota kecil nan asri Indonesia bagian selatan–Lumajang. Meskipun masih kurang seminggu, tapi siswa dan warga sekolah telah merencanakan dengan begitu sangat matang.

Semua tentang pisah kenang, pasti akan mengalami rasa haru, sedih juga bahagia. Apa lagi pada seseorang yang begitu dekat dengan kita. Ya, seorang sahabat. Sahabat adalah sebuah simbol ikatan seseorang yang dibangun dengan orang lainnya selama bertahun-tahun. Karena itu, sahabat pasti tahu apapun yang kita lakukan, apapun yang kita sukai. Dari idola, warna kesukaan dan sebagainya. Dan juga sahabat adalah tempat kedua setelah keluarga, yang selalu membuat ceria saat berada di samping kita.

Hari sudah menjelang siang, karena jam dinding telah menunjukkan pukul 10.00 WIB. Meskipun bagi kelas sembilan hari ini adalah hari bebas untuk mereka, tapi semua itu tak menyulutkan mereka untuk datang ke sekolah setiap harinya. Karena mereka berfikir, inilah hari terpenting menjelang hari pisah kenang. Untuk kembali berbagi kebersamaan.

Semua tentang kebersamaan dapat kita lihat dari persabatan tiga serangkai. Mereka adalah Ulfa, Lida dan Maria. Ketiganya telah membangun persahabatan selama 11 tahun dimulai dari Taman Kanak-kanak (TK), SD, hingga SMP saat ini mereka bertiga selalu bersama. Bahkan ada salah satu guru di SMP tersebut yang menyebut dengan tiga angels, tiga malaikat. Walaupun bersahabat, mereka juga bisa menjadi lawan dalam belajar dan berprestasi. Begitu profesional, bagaimana tidak? Saat  kegiatan belajar mengajar berlangsung mereka berlomba untuk mendapat prestasi, tapi di luar jam itu–mereka bersahabat seolah tak ada yang bisa memisahkannya.

Hari itu terlihat Ulfa, Lida dan Maria tengah duduk santai di teras depan kelas. Keakraban dan kehangatan yang mereka tunjukkan, pasti akan membuat iri hati yang melihatnya. Pasalnya, tak henti seutas senyum  mengembangkan di sudut bibir. Canda tawa dan keceriaan itu selalu ada saat bersama. Karena itu, begitu sulit untuk rasa sedih juga kecewa datang menghampiri.

Meskipun sudah satu tahun berselang demam Korea Pop merajai Indonesia, tapi hawanya masih ada pada persahabat tiga serangkai ini. Pasalnya mereka juga terkena virus K-pop tersebut. Dan bisa disimpulkan, apa yang  bicarakan saat bersama? Ya. Yang berkaitan dengan Korea. Dari Drama Korea, Negara Korea itu sendiri, lagu berbau Korea yang dibawakan olah boy band dan girl band-nya. Itulah yang dibicarakan. Karena canda tawa dan keceriaan itu berawal dari selera yang sama, akan membuat seseorang lebih akrab dan semua itu terbukti pada persahabatan ini.

Setiap hari tak ada kata tanpa Korea. Meskipun tak semua yang bicarakan tentang Korea. Tapi mereka berhasil membuatnya dengan menyelipkan sedikit pembicaraan tentang Korea. Jika sudah kehilangan topik untuk dibicarakan saat berkumpul bersama seperti saat ini. Ketiganya selalu mempunyai cara sendiri untuk meramaikan suasana, dengan melakukan tanya jawab.

“Apa Drama Korea favorit kalian dan apa alasannya?” tanya Maria yang tegah memecah keheningan.

“Full house! Selain ceritanya bagus. Aku ingin punya rumah seperti di Drama Korea full house,” jawab Lida dengan penuh pengharapan luar biasa.

“Kalau aku Dong Yi. Karakter yang digambarkan pada Dong Yi yang selalu cerdik dalam menghadapi berbagai masalah. Membuat semangatku berkobar setelah menontonnya, ” tukas Ulfa sambil tersenyum. “lalu kamu?” lanjutnya.

“Rooftop prince!!! Selain aku suka alur ceritanya pada Masa Joseon, aku lebih suka pada ketiga pengawal pangeran yang kocak. Wo Yongsul, Song Manboo dan Do Chisan, membuatku tertawa terbahak-bahak. Karena menurutku, ketiga pengawal itu sama kocaknya dengan persahabat kita,” kata Maria yang membuat semua tertawa lepas.

Sambil tertawa, salah satu lagu original soundtrack rooftop prince yang dinyanyikan oleh Jay Park yang berjudul “Happy ending” mengiringi kebahagiaan mereka. Kerena memang, sebelumnya Maria memutar musik saat bertanya pada teman-temannya. Dan lagu ini adalah lagu yang sering diputar oleh ketiganya. Bisa dibilang lagu favorit. Karena mereka ingin perpisahan ini akan menjadi happy ending seperti judul lagu yang tertera.

Lebaran masih lama, tapi seruan kata meminta maaf bergema di mana-mana. Lebih tepatnya di SMP persahabatan ini. Karena tanpa dipungkiri, kemarin tanggal 1 Juni telah terlaksana pisah kenang  siswa dan siswi kelas sembilan. Kebahagiaan, kesedihan dan rasa haru menggerogoti semua orang yang melihatnya. Linangan air mata, bahkan datang tanpa diundang. Tetapi bukan karena sebuah duka, tapi hangatnya kebahagian yang selalu menyelimutinya. Dengan semua mimpi-mimpi, harapan, juga kerja keras.

Di akhir acara, terlihat Ulfa, Lida dan Maria tengah duduk di depan teras kelas seperti biasanya. Mereka terlihat begitu sedih, karena hanya saat ini kesedihan datang, dan  entah ke mana perginya canda tawa yang selalu menyertai itu.

“Hari ini... apa benar kita akan berpisah? Aku benar-benar tak mempercayainya,” tanya Lida tak mempercayai sebuah keadaan.

“Memang. Dengan begitu, di mana pun kita berada kita masih tetap satu. Karena  perpisahan itu  bukan sebuah akhir, tapi sebuah kesetiaan,” tukas Ulfa menyemangati kedua sahabatnya.

“Betul! Aku sangat setuju. Di mana pun kita berada, hati kita tetap bersatu. Tapi ngomong-ngomong, benarkah besok kamu akan berangkat Lida?” tanya Maria serius menatap Lida yang tengah dengan wajah sayu.

“Iya, aku harus berangkat besok. Karena masih banyak yang harus aku persiapkan,” seru Lida sedikit menunduk.

“Hah! menjadi calon santri memang merepotkan. Tapi berjuanglah Ustazah!” canda Ulfa sambil mengangkat tangan kanannya menyemangatinya.

“Iya, kamu juga Ulfa,” balas Lida. Akhirnya canda tawa datang dengan sendirinya.  Dan ... perpisahan pun terjadi.

Tujuh bulan kemudian

Malam ini tiba-tiba ponsel Ulfa berbunyi nyaring, tertanda ada pesan baru masuk.  Entah dari siapa pesan itu berasal, ia langsung membukanya.

“Mendengarkan lagu Jay Park happy ending, membuatku teringat pada kalian.”

Pesan ini membuatnya mengingat kenangan akan persahabatannya. Dan pesan itu berasal dari salah satu sahabat Ulfa–Maria. Ia lah yang telah mengirimkan pesan tersebut.

Setelah membaca pesan singkat itu, Ulfa membuka buku bersampul warna hijau dan pelan-pelan ia menumpahkan semua kenangan tentang sahabat di dalamnya. Dan pada saat itu juga, tinta hitam telah menodai selembar kertas putih bersih dengan menari dengan gemulai. Sayangnya, tinta itu meninggalkan sebuah jejak. Jejak yang bisa terlihat oleh siapa saja tanpa harus ikut menari di atasnya.

“Aku merindukan kebersamaan dengan kalian. Canda tawa yang kalian hadirkan padaku, akan selalu aku ingat. Terima kasih, telah menjadi sahabat dan temanku selama 11 tahun ini. Terima kasih ... aku sangat berterima kasih.” Jejak tinta di buku harian Ulfa.