Belajar Teguh dari Hati Poniem (Review Novel Merantau ke Deli karya Hamka)

Salah satu fungsi dari sebuah karya sastra khususnya novel adalah sebagai hiburan juga media penyampai pesan implisit yang ditulis oleh pengarangnya. Tak ayal, kadang novel bisa mengubah seseorang baik secara emosi maupun intelek.

Review Novel Merantau ke Deli karya Hamka


Nah, kali ini saya akan mengulas salah satu karya dari penulis fenomenal dalam dunia sastra. Kalau teteman pernah membaca novel maupun nonton film yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck pasti tahulah siapa yang dimaksud kali ini?

Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah atau nama populernya Hamka merupakan seorang ulama dan sastrawan Indonesia.  Beliau lahir 17 Februari 1908  dan berkarir sebagai wartawan, pengajar juga seorang penulis. Merantau ke Deli merupakan salah satu karya yang ditulis sebelum perang dunia kedua. Karya ini dimuat rutin di Majalah Pedoman Masyarakat pada pertengahan tahun 1939 sampai awal tahun 1940 dan diterbitkan oleh Penerbit Cerdas Medan pada tahun 1941.

Namanya sebuah karya sastra pasti tidak jauh dari pengalaman, lingkar kehidupan, atau imajinasi brilian sang penulis. Seperti halnya Merantau ke Deli, Hamka mendapat inspirasi dari mengamati kehidupan pedagang kecil, kuli kontrak ketika kepulangannya dari Mekah dan berbulan-bulan menjadi guru agama di satu pasar kecil di Deli.

Merantau ke Deli bercerita tentang seorang lelaki bernama Leman (orang Minangkabau) pekerjaannya adalah seorang pedagang kelontong yang menikah dengan wanita bernama Poniem (orang Jawa) bekerja sebagai kuli kontrak perkebunan di Deli. Bisa dikatakan nih, bila pernikahan mereka merupakan percampuran dua budaya–Minang dan Jawa.

Setelah menikah, Poniem berhenti bekerja dan ikut suaminya (dia sudah hidup sebatang kara). Hari-hari mereka bahagia, bahkan kebutuhan mereka tergolong berkecukupan. Usaha mereka membuka toko kain cukup berhasil.  

Akan tetapi ketika Leman membawa istri ke kampung kelahirannya, dia mendapatkan kritik dari keluarga. Kebudayaan Minang mengharuskan laki-laki Minang menikah dengan gadis dari kampung sendiri. Bergejolaklah batin juga pikiran Leman. Tentu saja dia tidak ingin membagi hatinya, apalagi selama ini Poniem sudah sangat berbakti. Poniem jugalah yang sangat telaten mengurus toko bersama pegawainya yang setia (Suyono).

Suatu ketika satu masalah muncul. Adanya keluarga tidak terasa lengkap tanpa kehadiran seorang anak. Beberapa tahun setelah menikah belum ada tanda-tanda bahwa Leman akan menjadi seorang ayah. Satu alasan tersebut juga membuat Poniem pasrah. Apalagi hasutan demi hasutan sanak saudara untuk menikahkan Leman dengan gadis kampung sendiri membuat pikirannya berkecamuk. Hingga disuatu ketika, ternyata Leman memutuskan menikah untuk kedua kalinya.

Istri mudanya dibawa ke rantau, dia bernama Mariatun gadis pilihan keluarga. Tentu saja, keberadaan Mariatun telah mengubah sedikitnya kondisi dalam keluarga itu. Awalnya Poniem merasa wajar sebagai orang baru dia tentu masih beradapatasi. Akan tetapi perlakukannya kepada Poniem seperti dianggapnya sebagai (maaf) babu di rumah. Pekerjaan rumah, masak, menyiapkan keperluan lain, semua dilakukan Poniem. Mariatun hanya memilih menjaga toko dan hal-hal ringan lainnya. Kadang Mariatun menjelek-jelekkan Poniem dan tak jarang juga mengaku bila dia yang menyiapkan makanan untuk Leman.

Hingga di suatu ketika muncullah percekcokan antara Poniem dan Mariatun. Jika dipilih siapa yang salah, tentu teteman bisa menilai. Tetapi yang lebih menjengkelkan Leman lebih memilih Mariatun. Lantas membuat Leman tidak bisa menjadi nahkoda dan mengatur dua kapal secara bersamaan–Poniem memutuskan pergi.

Setelah peristiwa itu, Leman bukan hanya kehilangan Poniem namun lambat laun usaha toko kainnya semakin merosot dan bangkrut. Bahkan rumah yang ditempatinya kini dijual dan pindah ke petak rumah kecil yang disewanya bersama dua orang lain. Kini Leman kembali berdagang barang kelontong seperti pertama kali dia datang ke Deli. Leman mengalami nasib jungkir balik, hingga menyadari bahwa selama ini yang pandai dan telaten mengurus toko tak lain Poniem dan pegawainya–Suyono. Poniem telah memiliki banyak jasa pada hidup Leman.

Lantas bagaimanakah dengan Poniem setelah memutuskan cerai?

Poniem membangun usaha baru bersama Suyono (saat Poniem pergi waktu itu, Suyono juga memilih pergi. Dia merasa senasib dengan Poniem karena sama-sama berasal dari Jawa). Mereka mengurus segala hal berdua, jatuh bangun dari nol. Hingga suatu ketika mereka menikah dan cukup dianggap sebagai keluarga yang berhasil. Suyono dan Poniem memutuskan untuk kembali dan membeli tanah di Deli, karena harga di sana masih tergolong cukup murah. Ternyata rumah yang mereka beli adalah rumah yang dulu pernah ditinggali Poniem dan Leman.

Mengetahui bahwa yang membeli rumahnya adalah Suyono–mantan pegawainya dulu, membuat Leman rendah diri. Dia kagum melihat Suyono sukses. Bahkan dia beberapa kali minta maaf dan menyesal setelah tahu bahwa Suyono telah beristri dan istrinya tersebut tak lain mantan istrinya dahulu. Poniem tentu berhak mendapatkan kata maaf dari Leman meski dia sudah memaafkan kejadian di masa lalunya. Kini, dia sudah berbahagia dengan Suyono dan Maryam–putri angkatnya.

Novel ini ini cukup membuat perasaan campur aduk. Apalagi si tokoh Leman yang dengan teganya berbuat seperti itu, labil dan mudah sekali terpengaruh oleh pembicaraan sanak keluarganya dan istri mudanya. Meski begitu, bener-bener salut dengan tokoh Poniem yang tahan banting. Sudah sabar menghadapi mantan suami yang (maaf) tidak tahu terima kasih itu. Pak Hamka benar-benar brilian mengemas ceritanya. Yaaa meski bahasanya yang khas jaman dahulu namun buku ini wajib dibaca teteman yang suka sastra. Bahasanya enggak sejelimet itu sih, masih bisa dipahami meski butuh waktu untuk diproses oleh otak. 

Eh, tapi enggak tahu yaaa novel ini masih diproduksi atau enggak. Beberapa kali ke toko buku yang berbeda, sudah tidak melihat di rak ada Merantau ke Deli. Habis atau tidak diproduksi lagi? (karena saat author enggak sengaja ke toko buku, Merantau ke Deli hanya tinggal satu eksemplar ini doang!) Kalau habis wajar sih... ini novel bagus, tapi kalau enggak diproduksi laaagiii...? cukup disayangkan. Saya kira, kita butuh novel berbobot seperti ini–sebuah novel yang penuh dengan sarat makna kehidupan.


[Puisi]: Garis Senja


Senja kapankah kita bersua?
Kau pada jingga
Sedang aku pada sang fajar

Lantas kemanakah kau melangkah?
Kemanakah arah tujuanmu?
Bukankah warna kita sama?

Ah! Tersadarlah Senja
Bahwa kau hanya peduli pada sunyi
Kau hanya memperhatikan sendu
Sedangkan aku sekadar acuh,
Pada keceriannmu


Jember, 4 September 2019

Resensi Buku Gara-Gara Indonesia karya Agung Pribadi


Identitas buku
Judul buku     : Gara-Gara Indonesia
Penulis            : Agung Pribadi
Penerbit          : AsmaNadia Publishing House
Cetakan           : II, Januari 2014
Tempat terbit : Depok
Tebal                : xiv + 210 hlm.

Review Buku Gara-Gara Indonesia karya Agung Pribadi


Kepengarangan
Agung Pribadi merupakan penulis berlatar belakang pendidikan sejarah. Sejak masa kuliah dia dikenal sebagai mahasiswa yang produktif. Sudah banyak karyanya yang diterbitkan di media cetak maupun elektronik. Saat ini Agung Pribadi aktif di penerbitan dan menjadi pembicara motivasi di berbagai kesempatan. Bila ingin berkomunikasi dengan penulis bisa melalui twitter @agungpribadisej dan facebook: Agung Pribadidua.

Sinopsis
Gara-gara Indonesia merupakan karya buku nonfiksi yang berisi tentang kumpulan sejarah Indonesia, khususnya mengenai peran Indonesia dalam perubahan dunia yang mungkin jarang ditemui pada buku sejarah maupun pembelajaran Sejarah di sekolah. Buku ini terdiri dari empat sub pembahasan (1) gara-gara Indonesia, (2) hanya Indonesia yang berani beda, (3) Indonesia lebih hebat, dan (4) penutup.
Dari beberapa topik tersebut ada satu subsub topik yang cukup menarik dan mungkin akan membuat teteman juga bangga terhadap bangsa ini. Topik tersebut yakni ‘hanya Indonesia yang mengabaikan bahasa penjajah’.  

Teteman sudah tahu bukan, bila suatu negara yang pernah terjajah puluhan atau ratusan tahun akan menggunakan bahasa penjajahnya tersebut sebagai bahasa nasional? Misalkan saja Negara Brazil yang masyarakatnya berbicara bahasa Portugal karena pernah dijajah Portugal selama 500 tahun. Contoh lain Maroko yang pernah dijajah Perancis. Akan tetapi berbeda dengan Indonesia yang memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional berdasarkan kesepakatan bersama. Meski dulu Belanda pernah menjajah Indonesia selama ratusan tahun, namun bangsa ini menolak bahkan melupakan bahasa penjajah dan hanya menggunakan beberapa kata bahasa Belanda yang diserap sebagai bahasa Indonesia.

Author yakin, perjuangan untuk menyepakati bahasa persatuan tersebut tidaklah mudah. Indonesia– negara yang luasnya tak sepetak ini dengan beragam suku, ras, dan budaya berani menjunjung persatuan dan menjadikan bangsa Indonesia mempunyai jati diri. Jadi berbaggalah teteman, meski di luar sana kita melihat negara ini dari “sudut pandang yang berbeda”, sejatinya bangsa ini memiliki banyak sekali sejarah yang panjang dan kisah yang perlu diapresiasi–terkhusus bagaimana kini kita menyikapi bahasa Indonesia untuk bersaing dalam konteks global.





“Yakin, bisa Thor?”

Kalau ditanya seperti itu, author sih yakin sebab bahasa Indonesia itu berkembang bila dipelajari dan hidup karena dilestarikan. 


Catatan Lucu



Ada satu catatan kecilku mengenai pandemi kali ini. Kau tahu, dari kisah ini aku belajar banyak hal mengenai sabar dan menunggu, lelah dan mencoba untuk tidak berhenti. Akan tetapi ada satu hal yang paling krusial yaitu jarak dan kau. Ya, kau yang tiba-tiba samar dan menghilang namun ada mereka yang tetap menetap dan menyapa tanpa batas. Lucu bukan?



Lumajang, 15 Mei 2020

Membaca Sisi Lain dari The World of the Married (Review Drama Korea The World of the Married 2020)

Drama Korea yang disiarkan oleh JTBC resmi berakhir pada tanggal 16 Mei 2020. Drama Korea ini disutradarai oleh Mo Wan Il dan pertama kali tayang pada 27 Maret 2020. Dari beberapa sumber yang saya baca nih, drama ini merupakan adaptasi dari seri televisi di Inggris berjudul Doctor Foster.

Berakhirnya The World of The Married berakhir pula dong emosi yang selalu meletup-letup di tiap hari sabtu dan minggu? Bagus banget aktingnya Han Soo He dan cerdas juga penulisnya, sampai bisa membuat para netizen bersedia menunggu kelanjutan disetiap episodenya!

Enggak tahu kenapa hal-hal yang berbau “wanita kedua” selalu menjadi perbincangan hangat. Ternyata bukan hanya bagi netizen Indonesia nih, di Korea sendiri The World of the Married menjadi salah satu drama yang mendapat catatan bersejarah disebabkan  kepopulerannya (tiap pekan selalu mendapatkan ranting tertinggi di hari penayangan dibanding drama lain yang tayang di hari yang sama).

Sinopsis The World of the Married

Memangnya The World of the Married ini bercerita tentang apa sih? Kok sampai sebegitunya?

Mungkin dari Teteman sudah ada yang tahu The World of the Married ini bercerita tentang apa, saya pun juga sedikit menyinggung tentang “wanita kedua” ‘kan?

Jadi The World of the Married ini bercerita tentang keluarga seorang dokter bernama Ji Sun Woo (diperankan oleh Kim Hee Ae) dan suaminya yang seorang produser film Lee Tae Oh (diperankan Park Hae Joon) mengalami keretakan keluarga akibat sang suami diketahui memiliki “wanita kedua”.

Padahal nih, keluarga mereka terlihat sangat harmonis. Apalagi si dr. Ji  merupakan wanita karir yang cukup sukses dan seorang dokter yang sangat disegani di rumah sakit tempat dia bekerja. Jadi heran deh, mengapa si Tae Oh beralih ke wanita lain, padahal dr. Ji sangat perhatian padanya dan kepada anak tunggalnya–Lee Joon Yeong (diperankan Jeon Jin Seo).

Dari segi finansial, kehidupan mereka cukup elit, ataukah si Tae Oh mempunyai niat tersembunyi? Secara yaa “wanita kedua” Yeo Da Kyung (diperankan oleh Han So Hee) selain masih gadis, dia merupakan putri tunggal Tuan Yeo yang sangat berpengaruh di Gosan.

Gosan merupakan kota kecil, tetapi  enggak ada yang enggak tahu siapa itu Tuan Yeo. Selama ini si Tae Oh juga hanya bergantung pada dr. Ji sebab perusahaannya hampir bangkrut, beberapa karyawannya sudah tidak mendapatkan gaji bulanan. Apa benar ada maksud tersembunyi? Ataukah memang karena rasa khilafnya Tae Oh yang memang seorang ‘emmm maaf’ buaya darat?

Perasaan curiga yang menumpuk dan banyak bukti yang ditemukanoleh dr. Ji akhirnya memutuskan untuk bercerai, tspi masih berbuntut panjang saat mencoba mengambil hak asuh sang putra.

Tae Oh yang sudah diterima secara suka rela oleh Tuan Yeo (karena Da Kyung hamil), kini juga berupaya ingin membawa Joon Yeong tinggal bersama. Aksi berebut dan teror tak terelakkan. Hingga disuatu titik dr. Ji merasa tertekan, bahkan dia berpikir untuk bunuh diri setelah memutuskan mengundurkan diri dari pekerjaannya.

Pada situasi terendah itu rekan sesama dokter, dr.  Kim yang cukup membantunya selama berseteru dengan Tae Oh juga berhasil menolong dr. Ji yang mencoba bunuh diri (dengan menenggelamkan diri ke laut).

Setelah menenangkan situasinya, dr. Ji bangkit. Dia berhasil membawa Joon Yeong dan meninggalkan Gosan untuk sementara, sedangkan keluarga Yeo memutuskan menceraikan Tae Oh dengan Da Kyung mereka juga memutuskan untuk meninggalkan Gosan (setelah tahu bila Tae Oh masih berhubungan dengan mantan istrinya).

Pada keterpurukannya tersebut, Tae Oh masih menguntit dr. Ji dan Joon Yeong yang tak lama kembali ke Gosan. Dia bahkan memaksa ingin kembali menjadi keluarga, tapi sudah tidak ada harapan. Joon Yeong sudah tidak ingin Tae Oh kembali dan sangat membecinya.

Review Drama Korea The World of the Married 2020

Di akhir cerita Tae Oh berupaya memulai kembali kegiatannya sebagai produser film  sembari mencari investor. Da kyung kembali kuliah dan bertemu salah seorang yang ramah di tempat belajarnya. Kemudian dr. Ji kembali meniti karirnya dan bekerja di rumah sakit, begitu pula Joon Yeong yang pulang setelah setahun kabur dari rumah.

Endingnya banyak mengandung pertanyaan sih. Misalnya mengenai Jeny anak Tae Oh dan Da kyung yang tiba-tiba tidak muncul lagi setelah berupaya meninggalkan Gosan. Mengapa Tae Oh hanya menguntit Joon Yeong, apa dia tidak mencoba mencari Jeny?

 Alasan mengapa dr. Ji mau membantu Tae Oh meski sudah dikhianati? Mengenai bagaimana hubungan dr. Ji dan dr. Kim? Lantas alasan Joo Yeong kabur hingga satu tahun? dan banyak lagi pertanyaan lainnya.

Meski drama The World of the Married berakhir dengan ranting tertinggi yakni 28,37 persen, tetapi bagi saya endingnya sidikit mengecewakan. Lebih seru episode-episode yang lain daripada episode terakhir. Yaaa bagaimana lagi, sebagai salah satu karya seni kita apresiasi dong, mahakarya yang fenomenal ini. Setuju?

Lantas apa sih sisi lain yang saya maksud kali ini?

Setelah sedikit tahu sinopsis The World of the Married di atas, ada dua topik lagi nih yang ingin saya bahas mengenai keprihatinan terhadap tokoh dan rumor tentang The World of the Married.

Pertama: keprihatinan terhadap tokoh

Lee Joon Yeong

Sebelumnya dia merupakan anak tunggal dari keluarga yang harmonis, tapi mengalami kebingungan, kegelisahan setelah  mengetahui sang ayah selingkuh. Setelah mengetahui hal itu Joon Yeong menjadi anak yang berbeda.

Dia merasa kecewa dengan ayahnya. Namun di sisi lain dia tidak ingin keluarganya itu berantakan. Akhirnya meskipun tahu kelakuan sang ayah, dia diam saja bahkan tidak mengungkitnya sama sekali kepada ibunya.

Lambat laun setelah mengetahui keputusan ibunya untuk bercerai, tentu membuat Joon Yeong marah. Akan tetapi secara implisit sikap Joon Yeong tersebut merupakan luapan emosi kekecewaan terhadap Tae Oh, tapi malah melampiaskan emosinya kepada dr. Ji dengan mengatakan kalau ayah lebih paham dirinya kesukaan ataupun hobinya, dibandingkan sang ibu yang sibuk dengan pekerjaannya sebagai dokter.

Dia memihak sang ayah dengan harapan bahwa dr. Ji bisa memaafkan dan mengulang kembali keluarga yang sudah retak. Akan tetapi apa yang bisa dia perbuat, bila sang ibu sudah terlanjur memutuskan untuk tetap bercerai? Pasti Joon Yeong sangat bingung harus berbuat apa? Dan bagaimana dengan kelanjutan keluarganya itu? Setuju?

Menghadapi masalah rumit yang dihadapannya pun, membuat Joon Yeong menyalahkan diri karena merasa perceraian ibu dan ayahnya akibat kartu memorinya ditemukan di kamar ibu (saat ulang tahun Tae Oh, Joon Yeong yang mendokumentasikan acara dan tidak sengaja melihat ayahnya dan Da Kyung berdua di taman. Kartu memori tersebut dibuang namun ditemukan oleh seseorang yang menjadi salah satu pasien dr.Ji).

Merasa menyalahkan diri saat mengahadapi keretakan keluarga, bukanlah sesuatu yang diharapkan oleh anak mana pun. Begitu pulalah yang dirasakan oleh Joon Yeong sehingga dia semakin depresi di tambah dengan rumor-rumor kurang mengenakan tentang keluarganya di kalangan teman-temannya. Sehingga dia mengidap kleptomania (gangguan perilaku yang dilakukan dengan mencuri. Biasanya barang-barang yang dicuri bukan barang yang dibutuhkan. Jadi memang ada hasrat untuk mencuri. Lalu biasanya seseorang yang mengidap kleptomania ini barang curian tersebut akan dibuang atau disimpan dan jarang digunakan sendiri. Begitu pula yang dilakukan Joon Yeong beberapa barang milik temannya disimpan dan ada yang dibuang)  juga berkelahi dengan temannya.

Dalam kasus ini, sulit memutuskan siapa yang perlu disalahkan. Perubahan sikap Joon Yeong menambah pula beban dr. Ji, semakin bingunglah dan depresi pula bagaimana menyikapi sang anak yang mulai “menyimpang” itu.

Mengetahui sang ibu mempunyai beban pikiran, dia memutuskan untuk tinggal bersama sang ayah. Akan tetapi Teteman tahu sendirilah, enggak semudah itu tinggal bersama orang baru, orang yang membuat perpecahan dalam keluarganya dan orang yang pernah menolaknya untuk tinggal bersama (Da Kyung pernah menolak Joon Yeong saat Tae Oh memintanya untuk tinggal bersama). Dalam kondisi psikis Joon Yeong yang seperti itu, cukup mustahil diterima oleh batin. Bukan hanya itu, pasti ada perasaan cemburu ketika Tae Oh bersama Jeny.

Well, jika berada di posisi Joon Yeong apa yang akan Teteman lakukan?

Yeo Da Kyung

Menjadi “wanita kedua” jangan bilang hidupnya bahagia. Coba lihat si Da Kyung, meski sudah menikah dengan Tae Oh dia hanya mencoba agar hidupnya sempurna, tapi apa yang didapat? Perasaan takut dan was-was bila sang suami akan melakukan hal serupa (lagi) seperti yang dialami oleh mantan istrinya.  

Toh, semewah dan semegah apapun tempat tinggal, sekaya apapun bila perasaan selalu resah, bagaimana mau bahagia? Yaa kan?

Jikalau boleh berpendapat sih, Yeo Da Kyung juga merupakan salah seorang korban dari kejailan Tae Oh (bukannya benci sama Tae Oh ya? Soalnya sebelum hubungan mereka diketahui, Tuan Yeo merupakan investor terbesar di perusahaan Tae Oh, dan Da Kyung tidak tahu itu). Kalau memang enggak ada apa-apa, seharusnya Tae Oh setidaknya cerita dong sama Da Kyung? Kalau enggakkan, dia seperti dimanfaatkan,  hanya sebagai alat bahwa kedekatannya selama ini untuk mendapatkan keuntungan terselubung?

Namun yaaa, saat itu sebuah keberuntungan Tae Oh bisa dicintai Da Kyung dan diterimanya sebagai keluarga (seperti yang sering Tuan Yeo katakan, apapun bisa diperbuat asalkan putrinya bahagia).

Kedua: Rumor tentang The World of the Married

Menjadi salah satu drama yang cukup viral ini, membuat adanya rumor yang beredar dijagat maya. Lantas apakah rumor tersebut?

Hubungan dr. Ji dengan dr. Kim

Saking populernya hingga banyak sekali rumor yang beredar mengenai dr. Ji dan dr. Kim yang mengatakan kalau keduanya adalah saudara tiri. Yaa langsung dong, penonton kecewa. (tetapi memang sih, sampai ending tidak diceritakan kembali secara mendalam siapa itu dokter psikiater ini dan apa hubungannya dengan dr. Ji. Saya pun sempat menaruh curiga pada awalnya, karena sikapnya yang tenang dan selalu muncul disaat dr. Ji dan Tae Oh berseteru apakah dr.Kim salah satu antek yang dikirim oleh Tuan Yeo? Namun ternyata dr. Kim memang salah seorang yang berpihak kepada dr. Ji, bahkan dia mengenal dr. yang sebelumnya pernah bekerja di rumah sakit–orang dekat dr. Ji).

Tambahan 2 episode spesial

Akan menampilkan dua episode spesial di akhir pekan ini. Akibat banyak yang tertarik dengan The World of the Married, akhirnya pihak produksi akan menambah dua episode spesial. Cukup senang dengan rumor ini, karena sampai berakhir tidak ada kejelasan mengenai rumor hubungan dr. Ji dan dr. Kim.

Bayangan saya sih, dua episode spesial itu akan membedah secara runtut cerita dr. Ji dan hubungannya bersama Tae Oh juga orang-orang di sekitarnya. Kalau enggak begitu memperbaiki endinglah (yang menurut author cukup mengecewakan). Akan tetapi rumor yaaa hanyalah rumor. Salah satu sumber menyebutkan bahwa episode spesial tersebut hanya tayangan para pemain ketika di balik layar, yaa semacam video behind the scene-nya dan sejenis video wawancara (mengetahui hal ini hanya bisa menghela napas panjang, jadi ending-nya enggak berubah dong?).

Sudah membahas panjang lebar hari ini, tapi apa yang bisa diambil amanatnya dari drama Korea The World of the Married kali ini? Mungkin salah satu kutipan dari Lee Tae Oh cukup menggambarkan semua, seperti ini:

“Orang paling berharga di dunia ini adalah orang yang berada di sisimu. Tapi jika melupakan itu, kamu akan mempermalukan dirimu sendiri. Jika lupa akan siapa yang paling menyayangi dan mencintaimu, kamu akan kehilangan segalanya.”

The World of the Married, 2020

Praktik Kritik Model Emansipatoris: Kritik Sastra Indonesia


Praktik kritik dengan model emansipatoris dalam kritik sastra Indoensia terdiri dari “Kajian Atas Novel Populer Indonesia oleh Jakob Sumardjo; Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? oleh Ajip Rosidi; Politik, Ideologi, dan Sastra Hibria oleh Sapardi Djoko Damono; Kegagalan kritik oleh Wiratmo Sukito dan Tentang Kewibawaan Kritik oleh Goenawan Mohamad. Akan tetapi author hanya akan membagi dua praktik kritik menurut Jakob Sumardjo dan Ajip Rosidi.

Kajian atas Novel Populer Indonesia  
             
Buku Novel Populer Indonesia adalah Jakob Sumardjo terbit pada 1982. Buku ini disituasikan oleh kesejarahan sastra yang bertumpu pada pandangan modern. Sebuah pandangan yang memilah secara keras mengenai apa yang disebut dengan sastra dunia atau sastra kanon yang sangat berbeda dengan sastra lokal atau sastra pinggiran.

Novel populer berada pada posisi pinggiran, atau menurut bahasa Teew sebagai sastra kelas tiga karena kelas pertama diduduki oleh Balai Pustaka, kemudian penerbitan swasta yang berorientasi pada sastra kanon, dan sastra picisan dari situ, Teew berharap bahwa penelitian hanya diacukan kepada dan memilih objek sastra kanon sebab hanya itulah yang mengandung mutu baik.

Masalah yang terdapat dalam novel populer, yaitu sebuah novel yang luput dari pembicaraan karya sastra. Landasan pertama adalah bahwa novel populer bagaimana pun asumsi yang timbul atas hadirnya di masyarakat adalah tetap sebagai sebuah hasil karya sastra. Lepas dari mutunya baik atau tidak. Lebih dari itu penentuan mutu yang baik atau sebaliknya, Sumardjo lebih melihat sebagai sebuah perbincangan belaka.




Kedua, secara kuantitas, penerbitan novel populer jauh lebih besar dari pada novel serius. Jumlah penerbitan yang besar itu masih ditambah penentuan harga novel populer yang terpatok lebih tinggi dari pada novel serius. Di bagian awalnya, mempertimbangkan masalah harga, novel populer dua kali lebih mahal dari pada novel serius, tetapi permintaan yang ada di pasar jauh lebih tinggi novel populer daripada novel serius.

Landasan ketiga tentang pentingnya gagasan telaah novel populer adalah bahwa novel populer bisa dijadikan sebagai sumber utama dalam menyelidiki sebuah kebudayaan di suatu waktu dan tempat. Dengan merujuk pada nalar Rovlink, orang Belanda yang ahli sastra Indonesia, Sumardjo setuju bahwa sastra mestinya tidak hanya dipandang dari segi keindahannya belaka, tetapi juga semangat yang melandasi pencipta sastra waktu itu. Semangat, ketika dilihat berdasarkan konteksnya, sebagai sesuatu yang melandasi kehidupan sehari-hari pada penduduk kota besar. Atas dasar itu, maka sastra populer memiliki kedudukan penting dalam upaya menggambarkan detail kebudayaan, yang tidak bisa dimiliki oleh penelitian antropologi atau sosiologi perkotaan sekalipun.

Landasan keempat adalah langkanya dokumentasis sastra populer di tanah ait, padahal jumlah terbitannya amat melimpah. Satu-satunya pusat dokumentasi sastra yang bisa dirujuk saat itu, bahkan sampai saat ini, adalah PDS (Pusat Dokumentasi Sastra) HB Jassin, yakni menyimpan sekitar 400 novel populer yang bila dipilah-pilah jumlahnya menjadi 250 novel. Jadi dari 2.500 novel populer yang terbitnya hanya 10% yang bisa didokumentasikannya sampai-sampai dia berkomentar, “Jelas bahwa jumlah itu kurang memadai kalu diingat perkiraan adanya 2.500 judul novel populer di Indonesia sepanjang sejarahnya sejak akhir abad XIX.”

Atas dasar alasan itu Sumardji menyuguhkan kenyataan yang berbeda kepada para kritikus yang juga kanon tersebut. Objek novel populer yang dikajinya, 31 novel populer merupakan representasi dari novel populer yang terbit pada 1970-1980an. Objek tersebut setelah melakukan analisis satu persatu berdasarkan unsur-unsur struktur alur, tokoh, dan latar Sumardjo menggolong –golongkan menjadi dua aspek, yakni aspek dunia perempuan dan aspek dunia laki-laki. Isi masing-masing aspek dibagi menjadi dua lagi, yakni pandangan dewasa dan pandangan remaja dan laki-laki dewasa dan laki-laki remaja.

Penggolongan itu sendiri diragukan, dikatakan bahwa perbedaan gender dengan mengatakan kasar bagi lelaki dan lembut bagi wanita, sensual bagi lelaki dan sopan bagi wanita. Akan tetapi siapakah yang membaca teks tersebut? jawabannya adalah Jakob Sumardjo yang laki-laki itu memandang cerita secara niscaya dengan cara pandang laki-laki. Disini perlu dipertanyakan, bagaimana menurut pendapat perempuan tentang cerita yang ditulis oleh perempuan itu sendiri atau oleh laki-laki? Bias gender tidak bisa dihindari karena apa yang ditarik oleh fakta gender adalah nilai yang masih bisa diperdebatkan. Teori yang disangka bisa memecahkan persoalannya sendiri, justru membelitnya dengan masalah lain.

Anehnya reduksi cerita terhadap pribadi penyair ini sekaligus dijadikan pijakan oleh Sumardjo dalam menentukan kualitas. Menurutnya, novel populer dengan kualitas paling baik adalah Ashadi Siregar dengan Kugapai Cintamu dan Terminal Cinta Terakhir. Urutan kedua disapai Marga T dengan Di Ujung Sebuah Dunia dan Marianne Kattopo dengan Raumanen. Urutan ketiga dicapai oleh Eddy D Iskadar dengan Cowok Komersil, Yudhistira dengan Arjuna Mencari Cinta dan Dingdong dan teguh Esha dengan Ali Topan Kesandung.

Bila dihubungkan dengan penggolongan berdasarkan gender di atas, maka kualitas novel populer terbaik adalah novel dari pandangan remaja karena Ashadi dimasukkan dalam pandangan lelaki remaja, baru kemudian remaja. Teori hubungan tersebutvtentu saja tidak dengan serta-merta melakukan putusan bahwa novel populer yang baik tentu yang mengambil sudut pandang lelaki remaja, padahal simpulan yang mesti diambil adalah demikian. Dari paparan diatas, tampak bahwa Jakob Sumardjo kurang konsisten di dalam mengemukakan pandangannya untuk melakukan catatan kritis terhadap pandangan kritik sastra yang selama ini dianggap kanon.

Lepas dari kelemahan kerangka teoretisnya, Jakob telah berusaha (1) menggali sebuah bukti empiris yang selama ini diabaikan, menarik ke permukaan wacana kritik sastra Indonesia, dan dengan begitu telah berhasil masuk ke dalam perbincangan sastra Indonesia; sehingga (2) dengan menyuguhkan objek yang berbeda, Jakob memperlihatkan bahwa kritik sastra yang dominan adalah sebuah kritik yang memiliki justrifikasi tertentu, yang memiliki orientasi tertentu pula karena penentuan sebuah objek kemudian muncul pernyataan yang tergantung pada sebuah kepentingan-kepentingan.




Kajian Atas Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir?

Buku Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? oleh Ajib Rosidi merupakan kumpulan 17 esai yang tersebar dalam berbagai bentuk publikasi. Salah satu esai digunakan Ajib sebagai judul bukunya, yakni Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? Sebagai penonjolan bahwa dalam gagasan esai tersebut dapat dikatakan paling penting dari esai lainnya.

Esai ini ditulis berdasarkan pendapat yang telah diyakini sejak lama. Pendapat yang telah terkait dengan kelahiran kesusastraan Indonesia yang dikemukakan oleh Teeuw, Zuber Usman, dan B Simorangkir-Simanjuntak, mengemukakan menurut pembacaan Rosidi bahwa kesusastraan Indonesia lahir bersamaan dengan lahirnya sastra Melayu. Atas dasar, bahasa Melayu merupakan akar dari bahasa Indonesia dan dengan begitu kesusastraan Melayu merupakan identitas yang melekat dalam kesusastraan Indonesia.

Rosidi memandang sastra Indonesia melalui kategori identitas. Menurutnya, dalam peristiwa kesusastraan di Nusantara terdapat dua identitas kebangsaan, yakni kebangsaan Melayu dan kebangsaan Indonesia. Satu hal yang pasti, sekaligus dijadikan sebagai pernyataan yang dipegang oleh Ajip Rosidi bahwa identitas Melayu lebih dahulu mencuap dari pada identitas ke Indonesiaan. Masalah yang diangkat adalah “lebih dulu dari ....” artinya bahwa perlu adanya waktu, atau lebih tepatnya tahun, sedangkan yang bukan Indonesia dan lahir sebelumnya itu, adalah identitas kemelayuan.

Menggunakan teori kritis, Ajib menyusun pernyataan yang benar melalui falsifikasi terhadap pernyataan sebelumnya. Ajib mengoreksi gagasan Umar Junus yang mengidentifikasi kebangsaan Indonesia melalui tulisan “istilah dan masa waktu ‘Sastra Melayu’ dan ‘Sastra Indonesia’ dalam majalah Medan Ilmu Pengetahuan (tahun 1, no. 3, tahun 1960, hlm. 245-260). Dalam tulisan itu, Umar Junus menegaskan bahwa identitas kebangsaan Indonesia akan ada jika bahasa Indonesia ada. Dengan begitu, perlu dicari tahun kelahiran bahasa Indonesia. Dengan melihat peristiwa kebangsaan pada 1928, yakni Sumpah Pemuda, maka Umar Junus menetapkan bahawa bahasa Indonesia resmi lahir setelah 1928. Jadi kesusastraan Indonesia lahir setelah 1928, dengan merujuk pada terbitnya majalah Pujangga Baru sebagai patokan kesusastraan Indonesia lahir. Sebelum 1928, kesusastraan Indonesia belum lahir. Bagaimana nasib kesusastraan Indonesia yang dilahirkan Balai Pustaka? Melalui Ajib Rosidi, Umar Junus berkata, “Terbitan Balai Pustaka bertentangan dengan sifat nasional yang melekat pada nama Indonesia”. Antara 1933 dan 1928 terdapat sela waktu, bagaimana dengan sela waktu tersebut? Umar Junus melihat bahwa karya individu dan disebut sebagai angkatan pra-Pujangga Baru. (Rohman, 2014:166)

Premis-premis Junus oleh Rosidi dijadikan titik pemikirannya. Rosidi setuju, bahwa kesusastraan lahir setelah bahasa lahir. Sehingga, untuk menentukan kesusastraan Indonesia perlu penentuan bahasa Indonesia. Umar Junus menyebutkan bahwa bahasa Indonesia resmi lahir 1928, yakni peristiwa Sumpah Pemuda, Ajip Rosidi mempertanyakan hal tersebut. Kalau memang bahasa Indonesia resmi lahir pada tahun tersebut, tentu saja bahasa Indonesia sebelumnya sudah ada, tinggal meresmikannya saja.

Peresmian pengakuan terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan memang baru dilakukan pada Sumpah tanggal 28 Oktober 1928 di Jakarta. Tapi sebelum kita mengakui sesuatu, apa yang kita akui itu harus sudah terlebih dahulu ada. Apabila pada tanggal 1928 para pemuda Indonesia (masa itu) mengakui bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuannya, maka tentulah bahasa Indonesia sudah ada sejak sebelumnya. Maka persoalan kita sekarang: kapankah sesungguhnya bahasa Indonesia mulai ada? (Rosidi, 1988:3-4)



Kata sesungguhnya oleh Ajib Rosidi memberi informasi bahwa ia ingin mencari secara empiris asal-muasal bahasa Indonesia. Pencarian data secara empiris ini dilandasi oleh kategori-kategori yang ditetapkan, bahwa “anak lebih dahulu daripada bapak. “sumpah pemuda lebih dahulu daripada kenyataan bahasa Indonesia yang ada.” (Rohman, 2014:167)

Kategori semangat, isi dan jiwa Indonesia itu ditemukan pada 20 Mei 1908 sebagai hari lahirnya pergerakan kebangsaan yang disebut sebagai Boedi Oetomo. Tetapi hari itu melambangkan gerakan politik bukan pergerakan kesastraan. Peristiwa yang condong kepada kesusastraan adalah tahun 1920 dan 1921, tahun mirip berdirinya Balai Pustaka, terbit majalah Jong Sumatera, sajak-sajak Muhammad Yamin, Moh. Hatta, Sanusi Pane dan lainnya.

Puisi lirik bertemakan cinta tanah air dan bangsa yang sedang dijajah adalah hal yang tidak bisa kita jumpai dalam khazanah kesusastraan Melayu. Begitu pula bentuknya, soneta, sembilan seuntai, tujuh-seuntai dan lain-lain yang tidak seperti lazim kita jumpai dalam khazanh kesusastraan Melayu. Memang dalam hal bentuk, pembebasan itu tidak mutlak sifatnya, karena alun irama pantun dan syair masih banyak kita rasa-rasakan. (Rosidi, 1988:6)

Kutipan tersebut sekaligus sebagai penjelasan terhadap gagasan tentang lahirnya karya sastra dengan semangat keindonesiaan. Adapaun kesusastraan yang berbahasa Melayu, tetapi tidak masuk kategori keIndonesiaan melainkan Ajip menyamakan hasil karya tersebut sebagai sastra daerah yang ada di Indonesia.


Melestarikan Kearifan Lokal Melalui Film (Review Film Gundala)

Salah satu cara asyik untuk tetap #dirumahaja selama pandemi diisi dengan kegiatan yang menghibur, misalnya nonton film. Tetapi kalau author pikir-pikir perfilman di Indonesia akhir-akhir ini (sebelum COVID19 menyerang) lebih banyak bercerita tentang remaja kan ya? Kisah-kisah romantis anak remaja yang banyak diadaptasi dari novel populer. (bukannya mau ngeremehin sih, cuma si author sudah kurang tertarik dan ingin mencari yang lain saja gitu)

Nah, setelah menyusuri ribuan pulau (eh... enggak boleh Thor, lagi lockdown!) akhirnya baru ingat sepertinya ada film Indonesia yang bagus dan belum sempat ditonton (maklum tahun lalu ada tugas negara dan enggak tahu kok bisa menjadi manusia seribet itu sampai lupa segalanya :D). Kalau dilihat dari cuplikannya sih film ini menjadi kebanggaan tersendiri sebagai bangsa Indonesia, yaaa meskipun author hanya sebatas penonton. Akan tetapi dua jempol deh buat Bapak Joko Anwar dkk karena berhasil membuat salut dan terharu.

Apa sih film yang akan author bahas kali ini?

Kalau di Jepang ada film animasi berjudul Godzilla, Indonesia memiliki film yang enggak kalah seru nih berjudul Gundala. Apa sih yang terlintas setelah teteman mendengar kata Gundala?

“Apaan itu Thor?” ; “Kok seperti bahasa Jawa ya Thor?”; “Emang itu judul film Thor?”

Gundala merupakan tokoh komik (pahlawan super) yang diciptakan oleh Harya Suraminata pada tahun 1969. Dari beberapa sumber yang telah author baca nih, gundala berasal dari bahasa Jawa “gundolo” yang artinya petir. Gundala sendiri  terinspirasi dari tokoh legenda Jawa yang bernama Ki Ageng Selo sosok sakti yang mampu menangkal petir dengan tangannya. Jadi enggak mengherankan sih, bila film ini menjadi salah satu karya yang mengandung unsur kearifan lokal, seharusnya kita patut bangga dong, ya kan?

Gundala diadaptasi menjadi film dan dirilis pada 29 Agustus 2019, disutradarai oleh Joko Anwar. Film ini bercerita tentang seseorang yang memiliki keistimewaan menangkal petir bahkan dapat memanfaatkannya untuk menolong sesama, khususnya orang-orang yang tertindas.  Dalam kisahnya, Sancaka–Si Gundala (diperankan oleh Abimana Aryasatya) berusaha menghentikan rencana jahat Pengkor (diperankan oleh Bront Palarae) yang telah meracuni persediaan beras nasional dengan serum dan menargetkan para ibu hamil sehingga dapat mempengaruhi otak janin bila dilahirkan. Anak-anak yang dilahirkan akan kehilangan moral karena tidak dapat membedakan mana yang baik dan buruk, sehingga generasi anak-anak tersebut akan kacau.

Setelah negara resah dengan berita beras beracun tersebut, masyarakat mulai protes kepada Dewan Legislatif hingga terciptalah RUU untuk menyebarkan penawar racun kepada para ibu hamil. Akan tetapi kebahagian rakyat mengenai pendistribusian itu hanya terjadi sesaat. Penyuntikan penawar racun itu merupakan salah satu rencana jahat Pengkor hal itu diketahui karena perusahaan farmasi yang memproduksi penawar racun merupakan milik Pengkor. Pak Ridwan–salah satu Dewan Legislatif merasa dikhianati dan mencoba menghubungi Sancaka untuk menghentikan pendistribusian obat penawar (saat itu Pak Ridwan sudah tahu kalau Sancaka adalah Gundala). Ketika ingin menghentikan pendistribusian Gundala sudah dihadang oleh anak buah Pengkor dan mereka mulai bertarung.

Gundala berhasil mengalahkan para anak buah Pengkor, bahkan dapat mengalahkan Pengkor berkat bantuan Pak Ridwan. Gundala meminta Pengkor untuk menyerah dan menghentikan semua niat jahatnya, namun Pengkor menampik bahwa rencananya tidak akan bisa dihentikan begitu saja.
Meski di akhir cerita Pengkor dapat ditaklukkan dan sebagian besar mobil pendistribuasian dapat dihentikan, bagi author endingnya masih mendebarkan belum ada titik temunya. Yaaa memang sih, bila dilihat dari sisi masyarakat mereka berbahagia bisa menghentikan kasus atau masalah yang meresahkan itu. Akan tetapi untuk Gundala, muncul tokoh antagonis baru yang  kapan saja siap menemui bahkan menyerang tanpa aba-aba.

“Loh, kok bisa begitu Thor?”

Ada dua peristiwa yang membuat author yakin bahwa akan ada cerita kelajutan dari Gundala, pertama saat salah satu mobil pendistribusi melaju di jalanan berhasil dihentikan oleh seseorang yang kelihatannya juga merupakan manusia super bernama Sri Asih. Alasan kedua salah satu teman pengkor yang bernama Ghazul berupaya membangunkan jasad di makam kuno yang merupakan Ki Wilawuk (yang diperankan oleh Sujiwo Tejo) tidak terlalu jelas siapa Ki Wilawuk ini, namun dalam percakapannya menggunakan bahasa Jawa dengan Ghazul dan mengatakan bahwa musuh Ki Wilawuk sudah datang namun dia belum tahu siapa dirinya (yaa saat itu Sancaka masih amatiran dalam bertarung meski sudah memiliki kekuatan super. Dari beberapa scane sih Sancaka masih berupaya mencari jati diri mengapa dia seperti itu dan bagaimana cara mengendalikan kekuatan petirnya). Lantas Ki Wilawuk memerintahkan Ghazul untuk mengumpulkan tentara karena akan ada perang besar.





Bagaimana teteman, dari sedikit ulasan ini gereget enggak dengan Film Gundala? Bukan hanya ceritanya yang masih membuat deg-degan, akting dari para tokoh enggak kalah loh... setting latar dan efeknya juga terlihat meyakinkan, pokoknya enggak kalah sama film-film luar negeri. Salah satu kekurangannya sih waktu adegan bertarung, adegannya terlihat seperti hafalan masih belum natural akan tetapi yang lainnya bagus. Pokoknya film ini rekomendasi banget sih bagi teteman yang belum nonton, okay?!

Kedwibahasaan dan Diglosia


PENDAHULUAN
Hampir setiap negara di dunia ini menghadapi fenomena kedwibahasaan dan diglosia sebagai suatu bentuk kenyataan dalam kehidupan sehari-hari. Definisi kedwibahasaan menurut Mackey (dalam Achmad, 2013) ialah pemakaian dua bahasa atau lebih oleh seorang penutur sesuai dengan tingkatan kemampuan yang dimilikinya, sedangkan definisi diglosia menurut Ferguson (dalam Chaer, 2014) adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, dimana selain terdapat sejumlah dialek atau ragam utama dari satu bahasa terdapat juga sebuah ragam lain.
Penduduk di suatu negara pada umumnya terdiri atas berbagai golongan, suku bangsa dengan bahasanya masing-masing. Akan tetapi beberapa penduduk dituntut untuk dapat menguasai dan menggunakan bahasa lain selain bahasa yang digunakannya setiap hari. Hal tersebut membuat pengguna bahasa “terpaksa” harus mempelajari suatu bahasa sebagai tuntutan masyarakat yang tinggal di lingkungan baru, sehingga pengguna bahasa tersebut tidak hanya menguasai satu bahasa saja.




Fenomena kedwibahasaan dan diglosia tidak dapat diabaikan dalam setiap usaha memahami perilaku berbahasa suatu masyarakat yang menguasai banyak bahasa, terbuka komunikasinya dengan masyarakat lain, mempunyai sejarah perkembangan masyarakat dan bangsanya sebagai suatu bangsa yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan mempunyai satu bahasa sebagai bahasa nasional. Kedwibahasaan dan diglosia ini telah menjadi sendi pergaulan dalam masyarakat. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis membahas tentang kedwibahasaan dan diglosia, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kedwibahasaan, serta hubungan yang terjadi antara kedwibahasaan dan diglosia.

KEDWIBAHASAAN
Pada umumnya sosiolinguistik mengkaji masyarakat dwibahasa atau multibahasa. Kedwibahasaan selalu berkembang dan cenderung meluas. Kedwibahasaan dipakai untuk konsepsi yang berkaitan tetapi berbeda, yakni kemampuan menggunakan dua bahasa dan kebiasaan memakai dua bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana yang dikatakan oleh Nababan (dalam Warsiman, 2014:85), bahwa orang yang terbiasa menggunakan dua bahasa dalam berinteraksi dengan orang lain disebut bilingualisme, sedangkan kemampuan menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas.
Seseorang akan dikatakan bilingual, apabila penguasaan akan bahasa pertama (B1) dan bahasa kedua (B2) derajatnya sama baiknya atau dengan kata lain tidak setengah-setengah yang nantinya justru akan menurunkan nilai rasa bahasa Indonesia dibandingkan bahasa asing. Contoh penyimpangan dari pernyataan tersebut telah terjadi di sebagian masyarakat saat ini. Masyarakat merasa lebih hebat dan lebih bergengsi, jika dapat menyelipkan beberapa kata asing dalam bahasa Indonesia, padahal kosakata asing yang digunakan tersebut telah ada pada kosakata bahasa Indonesia. Misalnya, beberapa masyarakat lebih suka menggunakan atau menambahkan beberapa kata seperti, di-pending, meeting, loundry, download, on the way, dan kata lain pada saat berinteraksi dengan orang lain.
Seorang penutur bilingual menggunakan bahasa tertentu, bahasa pertama (B1) dan bahasa kedua (B2), atau satu ragam bahasa tertentu digunakan pada saat menyangkut masalah fungsi bahasa atau fungsi ragam bahasa tertentu di dalam masyarakat tutur yang berhubungan dengan adanya ranah-ranah penggunaan bahasa atau ragam bahasa tersebut. Bahasa pertama (B1) dan bahasa kedua (B2) juga digunakan bergantung pada lawan bicara, topik pembicaraan, dan situasi sosial pembicaraan.

Kedwibahasaan bukan merupakan gejala bahasa, melainkan sifat penggunaan bahasa yang dilakukan penutur bilingual secara berganti-ganti. Setiap bahasa di dalam masyarakat bilingual itu tidak dapat secara bebas digunakan, melainkan harus diperhatikan fungsinya masing-masing. Jika suatu bangsa, salah satu simbol jati diri adalah bahasa dan sastra Indonesia. Anggota suatu komunitas etnis di Indonesia juga memiliki simbol jati diri yakni bahasa dan sastra daerah.
Kedwibahasaan sebagai wujud dalam peristiwa kontak bahasa merupakan istilah yang pengertiannya bersifat nibsi atau relatif (Suwito, 1982:40). Hal ini disebabkan pengertian kedwibahasaan berubah-ubah dari masa ke masa. Perubahan tersebut dikarenakan sudut pandang atau dasar pengertian bahasa itu sendiri berbeda-beda, seperti halnya yang dikemukakan oleh beberapa ahli mengenai pengertian kedwibahasaan sebagai berikut.
Menurut Weinreich (dalam Syafyahya dkk, 2014:23), “Kedwibahasaan adalah kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian”. Blommfield (dalam Syafyahya dkk, 2014:23), berpendapat bahwa kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya merupakan kedwibahasaan. Selain itu, Mackey (dalam Rusyana, 1989) mendefinisikan kedwibahasaan adalah kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih oleh seseorang. Menurut Mackey, dalam membicarakan kedwibahasaan tecakup beberapa pengertian, seperti masalah tingkat, fungsi, pertukaran atau alih kode, percampuran atau campur kode, interferensi, dan integrasi.




DIGLOSIA
Diglosia adalah suatu situasi bahasa di mana terdapat pembagian fungsional atas variasi-variasi bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di masyarakat. Maksud dari penjelasan ialah bahwa terdapat perbedaan antara ragam formal atau resmi dan non-formal atau tidak resmi. Contohnya di Indonesia terdapat perbedaan antara bahasa tulis dan bahasa lisan.
Diglosia diperkenalkan pertama kali oleh Ferguson (dalam Chaer, 2014) untuk melukiskan situasi kebahasaan yang terdapat di Yunani, negara Arab, Swiss, dan Haiti. Di negara-negara tersebut terdapat dua ragam bahasa yang berbeda, masing-masing adalah Katharevusa dan Dhimtika di Yunani, Al-fusha dan Ad-dirij di Arab, Scriftsprache dan Schweizerdeutsch di Swiss, serta Francais dan Creole di Haiti. Pertama adalah ragam bahasa tinggi (T) yang dipakai dalam situasi resmi, sedangkan yang kedua adalah ragam bahasa rendah (R) yang dipakai dalam situasi sehari-hari atau tidak resmi. Ragam bahasa yang dipakai di dalam situasi resmi seperti, perkuliahan, sidang parlemen, dan khitbah di tempat-tempat ibadah dianggap sebagai bahasa yang bergengsi tinggi oleh masyarakat bahasa yang bersangkutan. Mengingat latar belakang sejarah ragam ini yang sudah sejak lama mengenal ragam tulis dan menikmati gengsi itu, ragam inilah yang dipakai sebagai bahasa sastra di kalangan para pemakainya. Definisi diglosia yang diberikan oleh Ferguson (dalam Chaer, 2014) adalah sebagai berikut:
Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, di samping adanya dialek-dialek utama dari bahasa meliputi ragam-ragam baku setempat, mengenal suatu ragam yang ditinggikan, sangat berbeda, terkondisikan secara rapi (tata bahasanya lebih rumit), berasal dari waktu lampau atau berasal dari masyarakat bahasa lain, kemudian dipelajari melalui pendidikan formal dan sebagian besar dipakai untuk keperluan formal lisan dan tertulis, tetapi tidak dipakai di sektor apapun di dalam masyarakat itu untuk percakapan sehari-hari.
Pengertian diglosia kemudian dikembangkan oleh Fishman (dalam Rokhman, 2013:21) istilah diglosia tidak hanya dikenakan pada ragam tinggi dan rendah dari bahasa yang sama, akan tetapi juga dikenakan pada bahasa yang sama sekali tidak serumpun. Hal yang perlu ditekankan adalah perbedaan fungsi kedua bahasa atau ragam bahasa yang bersangkutan. Di samping itu, Fishman juga berpendapat bahwa diglosia tidak hanya terdapat pada masyarakat yang mengenal satu bahasa dengan dua ragam bahasa semata-mata, diglosia dapat juga ditemukan pada masyarakat yang mengenal lebih dari dua bahasa. Di samping perbedaan, ada juga persamaan antara keduanya, yaitu bahwa ragam-ragam bahasa itu mengisi alokasi fungsi masing-masing dan bahwa ragam tinggi hanya dipakai di dalam situasi resmi dan ragam rendah di dalam situasi yang tidak atau kurang resmi. Menurut Fishman (dalam Rokhman, 2013:21) diglosia tidak hanya terdapat di dalam masyarakat aneka bahasa yang secara resmi mengakui beberapa bahasa, dan tidak hanya terdapat dalam masyarakat yang menggunakan ragam sehari-hari dan klasik, tetapi juga di dalam masyarakat bahasa yang memakai logat-logat, laras-laras atau ragam-ragam jenis yang berbeda secara fungsional.

FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KEDWIBAHASAAN
Dasar sosiolinguistik ialah individu-individu dipandang sebagai anggota kelompok sosial (Bambang, 1995:396). Kelompok sosial tersebut memainkan berbagai peranan dan menunjukkan berbagai perilaku, termasuk perilaku bahasa. Perolehan bahasa selain bahasa asli menghasilkan kedwibahasaan. Ini terjadi karena dua bahasa yang berkontak sebagai penutur bahasa dapat mempelajari unsur-unsur bahasa lainnya. Kontak bahasa itu terjadi karena pendukung masing-masing bahasa itu dapat menjadi dwibahasawan berdasarkan alasan-alasan tertentu, seperti perpindahan penduduk dengan alasan politik, sosial atau ekonomi, nasionalisme, faktor budaya dan pendidikan, faktor perkawinan, dan sebagainya (Komaruddin, 1989).
Perpindahan penduduk
Perpindahan penduduk secara kelompok mempunyai berbagai alasan, seperti keamanan, militer, ekonomi, pendidikan, politik, agama, dan bencana alam. Biasanya gerakan tersebut mengakibatkan kedwibahasaan sebagai hasil kontak antara penduduk yang baru dengan penduduk yang sudah lama berdiam di daerah tersebut.
Nasionalisme dan Sistem Politik
Sejak abad ke-19 identitas bahasa dan bangsa telah menjadi unsur penting di dalam perjuangan suatu kelompok sebagai bangsa. Semangat kebangsaan berpengaruh besar terhadap penentuan dan penyebaran bahasa nasional dan telah menancapkan tingkat kedwibahasaan tertentu pada banyak negara. Ada sejumlah penulis yang berpendapat bahwa setiap bangsa perlu memiliki satu bahasa nasional. Penduduk yang tidak mempunyai bahasa sendiri hanyalah setengah bangsa.
Suatu bangsa harus mempertahankan bahasanya dan ini merupakan perthana yang lebih penting daripada benteng. Sikap nasional terhadap bahasa sering mengantar kepada penyebaran bahasa nasional daripada penyebaran bahasa daerah dan ini menjurus kepada kedwibahasaan di kalangan penduduk, apabila kebijakan negara lebih moderat dan demokrat serta sistem politik dan perundang-undangan mendukung pengembangan wilayah secara utug dan berakar dari dalam maka kedwibahasaan akan bertahan sebagai kenyataan pemakai bahasa penduduk.
Pendidikan dan Kebudayaan
Billingual sebagai akibat dari pendidikan dan kebudayaan bukanlah hal yang baru. Lahirlah ungkapan bahwa menjadi terdidik atau cendekiawan berarti menjadi dwibahasawan. (Mackey dalam Komaruddin, 1989). Contohnya pada zaman sekarang apbila seorang sarjana untuk sekolah ke jenjang di atasnya maka ia harus mampu berbahasa Inggris. Hal ini akan membuat orang tersebut akan menguasai dua bahasa atau lebih. Jika orang tersebut mempunyai bahasa daerah misalnya bahasa Jawa, kemudian bahasa Indonesa, dan bahasa Inggris. Inilah yang menyebakan bahwa pendidikan maupun kebudayaan sebagai salah satu faktor kedwibahasaan itu lahir.

HUBUNGAN KEDWIBAHASAAN DAN DIGLOSIA
Hubungan antara kedwibahasaan dan diglosia menurut Dittmar (dalam Alwasilah, 1985:145) sebagai berikut:
Diglosia dan bilingualisme
Di dalam masyarakat yang dikarakterisasikan sebagai masyarakat yang bilingualisme dan diglosia, hampir setiap orang mengetahui ragam atau bahasa tinggi dan bahasa rendah. Kedua ragam atau bahasa tersebut akan digunakan menurut fungsinya masing-masing dan tidak dapat dipertukarkan. Misalnya, pada penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Bahasa Indonesia digunakan dalam pergaulan pendidikan dan bahasa Jawa digunakan di lingkungan keluarga.
Diglosia tanpa bilingualisme
Di dalam masyarakat yang diglosia tetapi tanpa bilingualisme terdapat dua kelompok penutur. Kelompok pertama yang biasanya lebih kecil, merupakan kelompok hanya bicara dalam bahasa tinggi. sedangkan kelompok kedua yang biasanya lebih besar, tidak memiliki kekuasaan dalam masyarakat, hanya berbicara bahasa rendah. Situasi diglosia tanpa bilingualisme contohnya pada masyarakat Jawa yang tinggal di dalam dan luar keraton.
Bilingualisme tanpa diglosia
Dalam masyarakat yang bilingualis tetapi tidak diglosis terdapat sejumlah individu yang bilingual, namun mereka tidak membatasi penggunaan bahasa untuk satu situasi dan bahasa yang lain untuk situasi yang lain pula. Jadi, mereka dapat menggunakan bahasa yang manapun untuk situasi dan tujuan apapun.
Misalnya Asep yang berasal dari Banjarnegara yang sudah hidup di Semarang selama 7 tahun. Di kontrakannya dulu terdapat 7 mahasiswa yang berasal dari Kabupaten Banyumas, Purbalingga, dan Banjarnegara yang menggunakan bahasa Banyumasan atau Ngapak dan 3 mahasiswa lainnya berasal dari Kudus dan Jepara. Mereka menggunakan bahasa campuran dalam lingkungan kontrakannya tanpa memandang siapa dan dari mana asal setiap penghuni kos.
Tanpa bilingualisme dan diglosia
Masyarakat yang tidak diglosia dan tidak bilingual tentunya hanya ada satu bahasa dan tanpa variasi serta dapat digunakan untuk segala tujuan. Keadaan in hanya mungkin ada dalam masyarakat primitif atau terpencil, yang dewasa ini tentunya sukar ditemukan. Masyarakat yang tidak diglosia dan bilingual ini akan mencair apabila telah bersentuhan dengan masyarakat lain (Chaer, 2014:102-104).




PENUTUP
Kedwibahasaan adalah kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian. Kedwibahasaan dipakai untuk konsepsi yang berkaitan tetapi berbeda, yakni kemampuan menggunakan dua bahasa dan kebiasaan memakai dua bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Diglosia adalah suatu situasi bahasa di mana terdapat pembagian fungsional atas variasi-variasi bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di masyarakat terdapat perbedaan antara ragam formal atau resmi dan tidak resmi atau non-formal. Faktor-faktor penyebab terjadinya kedwibahasaan yaitu, perpindahan penduduk, nasionalisme dan sistem politik, serta pendidikan dan kebudayaan. Kemudian Dittmar (dalam Alwasilah, 1985:145) mengungkapkan terdapat empat hubungan kedwibahasaan dengan diglosia, yakni diglosia dan bilingualisme; diglosia tanpa bilingualisme; bilingualisme tanpa diglosia; dan tanpa bilingualisme dan diglosia.