Lagi


Aku tak mau berhenti
Menceritakan kisah kita
Yang terjebak waktu
Terenggut masa

Detik yang memberi kesempatan
Kini telah habis
Jejak yang terlampaui
Kini telah terhapus usia

Jiwa kita ‘kan selalu bersama
Tak terbatas jeda dunia
Rasa kita yang telah menyatu
Akan selalu abadi bersama

Ingatanmu keberadaanmu
Rasa gembira dan sedumu

Lagi lagi bersama lagi
Lagi lagi melepas canda lagi
Lagi lagi tertawa manis lagi
Lagi lagi sampai bertemu lagi

Aku kamu dan segala kenangan yang ada



Lumajang, 22 Juni 2020

Analisis Kajian Stilistika Pada Naskah Drama Cipoa Karya Putu Wijaya


Drama Cipoa menceritakan tentang kehidupan para penambang yang diperintahkan oleh Juragan untuk mengeksplorasi pertambangan untuk mencari bongkahan emas. Berawal di depan tambang, Tivri meniup peluit agar para pekerja keluar dari tambang. Setelah pekerja meninggalkan tambang, datanglah Juragan, Alung dang Istri Juragan sambil berteriak dengan dalih ada gempa dengan 6,9 skala richter agar Tivri pergi meninggalkan tambang tersebut dan mereka bisa mencari emasnya sendiri. Mereka bertiga bermaksud untuk menjual emas yang telah ditemukan kepada orang asing agar para pekerja tidak mengetahuinya dan terus bekerja mencari harta yang lain.

Tetapi secara tidak sengaja para pekerja melihat Juragan menjual harta tersebut kepada orang asing. Para pekerja ingin membalas Juragan dengan mencari harta sendiri, kemudian dijual dan mereka nikmati sendiri hasilnya. Niat tersebut malah merugikan para pekerja karena Juragan mengetahui kalau para pekerja telah menemukan batu besar yang sebenarnya itu adalah emas yang disamarkan menyerupai batu. Karena dikarenanya itu batu, kemudian Juragan menjualnya dengan harga batu.

Akhirnya semua merasa menyesal tidak mengakui bahwa itu adalah emas yang sangat besar, tetapi terlanjur dijual oleh Jurangan dengan harga batu. Semua pekerja pun jatuh pingsan satu persatu dan menimbulkan penyesalan karena telah saling menipu dan mengakibatkan kerugian untuk semua orang.

Drama pada umumnya diawali dengan prolog, pembagian atas babak cerita dan epilog. Drama didominasi dengan dialog, disajikan dengan menyebutkan para pelaku dan pemeran lain pada awal dialog dan cerita. Drama ditulis dengan mempertimbangkan berbagai kemungkinan untuk pementasan. Tidak ada drama yang ditulis yang semata-mata untuk dibaca. Pengertian drama tulis, drama yang sebelum dipentaskan.

Bahasa dalam seni sastra dapat disamakan dengan cat air dalam seni lukis. Keduanya merupakan unsur, bahan, alat dan sarana yang diolah untuk dijadikan sebuah karya yang mengandung “nilai lebih”. Dalam naskah drama Cipoa Putu Wijaya menggunakan bahasa sehari-hari sehingga pembaca lebih mudah untuk memahami maksud dari cerita yang disajikan. Selain penggunaan gaya bahasa sehari-hari, ada beberapa penggunaan majas yang dominan seperti majas ironi, sinisme, sarkasme, ada pula majas metafora dan antitesis. Dapat terlihat pada beberapa kutipan berikut:

a.   Sarkasme
Sarkasme merupakan majas sindiran yang paling kasar (Ratna, 2013:447).  Dalam naskah Cipoa, majas jenis ini dapat dilihat dari kutipan berikut.

Tivri                : Jailah giliran istirahat semua menyanyi, kalau mulai semua sakit gigi!
  Dasar manusia tidak tahu diri! Kurang...
Pekerja 1         : harta karun tai kucing!
Istri                 : jangan berisik nanti kedengaran orang, dasar anak tukang
                bakso, nggak bisa diajak kaya!
Alung               : dasar anak tukang bakso tidak bisa diajak kaya!
Tivri                : tapi gede kaya setan begini, masak belum ketemu, tolol apa?
                          Kalau mereka lihat kan ketelihatan?
Juragan           : brengsek! Jangan itu tidak dijual!
Pekerja            : kau yang luntur, pengkhianat!

Kutipan di atas menggambarkan bahasa pekerja tambang. Kata-kata yang digunakan para pekerja dan orang-orang yang ada di sekitar pertambangan turut menggunakan kata-kata kasar. Jika ada hal yang membuat mereka kesal atau marah, mereka secara langsung memaki orang tersebut dengan kata-kata kasar, seperti kata “tidak tahu diri, tolol, brengsek, pengkhianat, tai kucing” dan lain sebagainya. Hal itu menggambarkan secara jelas majas sarkasme pada gaya bahasa drama Cipoa.

Majas sarkasme juga terdapat pada kutipan-kutipan lain, seperti:
PEKERJA                   : Kurang apa?! (Mengancam Mau Memukul Dengan
              Skop) Ayo lanjutkan kurang apa Dodol!
ALUNG                       : Bajingan! Gemes aku! Kesabaranku terbatas!

b.    Sinisme
Sinisme merupakan sindiran agak kasar (Ratna, 2013:447). Dalam naskah Cipoa, majas jenis ini dapat dilihat dari kutipan berikut.

ISTRI TIVRI               : Begini jadinya kalauy jujur Bang. Mereka kaya, kita
              tidak dapat aopa-apa.
TIVRI             : Memang, tapi hatiku tenang. Untuk apa kaya kalau banyak dosa.

Kutipan di atas merupakan gaya bahasa sindiran pekerja tambang yang menggunakan bahasa agak kasar. Dapat terlihat pada dialog  Tivri yang mengatakan “Untuk apa kaya kalau banyak dosa”.

c.   Ironi
Merupakan majas yang menyatakan hal yang bertentangan dengan maksud menyindir seseorang (Ratna, 2013:447).

Alung               : Sepinter kebo
Pekerja 1         : biarin. Enakan juga tua tidak perlu kerja!

Kutipan di atas menggambarkan gaya bahasa sindiran pekerja tambang. Walaupun unsur gaya bahasa sarkasme mendominasi, tetapi mereka juga menggunakan bahasa-bahasa sindiran yang terbilang lebih halus. Dapat terlihat pada dialog Alung yang mengatakan “sepinter kebo” yang bertentangan pada kenyataannya bahwa kerbau sama sekali tidak pintar.  

d.   Metafora
Majas ini berfungsi menggambarkan suasana kejiwaan tokoh. Dalam naskah drama Cipoa ini menggambarkan tokoh para pekerja di bagian kedua ketika mereka terlihat sangat bersemangat.

Pekerja 3                     : (yang ditampar) pantang mundur!  Semangat   
             menyala-nyala.
Pemimpin pekerja       : Bagus! Kalau pantang mundur, semangat terus
             menyala-nyala dan percara kepada bapak, batu pun bisa jadi emas.

Berdasarkan kutipan di atas terdapat majas metafora pada kalimat semangat menyala-nyala. Semangat merupakan perasaan yang ada dalam diri setiap orang, dan menyala biasanya digunakan pada sebuah lampu (lampu ini menyala atau tidak). Yang dimaksud dengan kalimat “semangat menyala-nyala” yaitu orang yang sedang memiliki semangat luar biasa, dalam hal ini para pekerja yang telah dimotivasi oleh pemimpin pekerja menjadi semakin bersemangat untuk percaya kepada Juragan bahwa Juragan bisa memberikan mereka kesejahteraan. 

e.   Antitesis 
Majas antitesis merupakan majas yang menggunakan pasangan kata yang artinya berlawanan. Dalam naskah drama Cipoa terdapat pada kalimat pekerja 2 pada babak kedua.
Pekerja 2         : yang tidak ada akan jadi ada. Kemalangan akan berubah menjadi keberuntungan!
                          Betul tidak kawan-kawan?

Berdasarkan kutipan di atas terlihat majas antitesis pada kalimat “yang tidak ada pun akan jadi ada” dan pada kalimat “kemalangan akan berubah menjadi keberuntungan”. Pada kalimat itu memiliki pasangan kata yang berbeda arti sebagaimana sesuai dengan majas antitesis. 

Pada dasarnya, penggarapan bahasa di dalam drama akan memberikan gambaran lain tentang keberadaan unsur-unsur yang berkaitan erat dengan latar suasana, waktu dan tempat, salah satunya seperti terlihat pada penggambaran gaya bahasa metafora yang menggambarkan semangat para pekerja tambang. Oleh sebab itu, penggarapan gaya bahasa oleh pengarang di dalam drama Cipoa karya Putu Wijaya ini merupakan bagian penting untuk menunjang pemahaman para penikmat drama.

Efek estetik atau keindahan dalam naskah drama Cipoa karya Putu Wijaya, terdapat kriteria sebagai berikut.
1)   naskah drama Cipoa karya Putu Wijaya sudah mencerminkan adanya kreativitas bahasa, kreativitas pengucapan, kreativitas memilih berbagai aspek bahasa secara tepat mendapat penekanan. Kutipan terdapat pada contoh majas sarkasme yakni “tidak tahu diri, tolol, brengsek, pengkhianat, tai kucing”. Penekanan tersebut difungsikan sebagai menuangkan kekesalan dan sindiran paling kasar yang dilakukan para tokoh dalam naskah.
2)   dalam naskah drama Cipoa karya Putu Wijaya terdapat komponen kebahasaan yang didayakan dan difungsikan untuk mencapai tujuan tertentu. Seperti yang terdapat pada kutipan dialog pekerja pada bagian pertama ketika Tivri ingin mengumpat pekerja. saat itu pekerja  berkata “Kurang apa?!” dengan mengancam ingin memukul Tivri dengan Skop. Ancaman pekerja dalam kutipan tersebut bermaksud untuk menghentikan Tivri, supaya tidak mencemooh para pekerja.
3)   adanya capaian atau tujuan keindahan, dalam naskah Cipoa menggunakan majas metafora, pada frasa “semangat menyala-nyala”. Hal tersebut disebabkan secara keseluruhan bahasa yang digunakan dalam naskah adalah bahasa sehari-hari buruh tambang. Namun, adanya majas metafora memberikan warna bahasa yang berbeda dalam naskah drama Cipoa.



Literasi ditengah Pandemi

POV: Sedang berbincang dengan kakak kedua. Mengamati literasi ditengah pandemi.

“Katanya kita harus melek literasi tapi kenapa harga buku itu kok mahal ya Mas? Bukannya semakin harga murah maka semakin banyak yang beli dan tentunya semakin banyak pula yang akan baca? Atau karena biaya produksi dan hal-hal sebagainya?”

Siang itu tanpa ba-bi-bu aku langsung melontarkan berbagai pertanyaan kepada Mas yang sedang asyik memilah buku koleksiku di kamar. Pandangannya dengan khidmat tertuju pada salah satu penulis asal Belitong yang karyanya sangat kental dengan tema pendidikan. Ya, siapa lagi kalau bukan Pak Cik. 

Aku yang saat itu belum menerima jawaban hanya bisa bergeming sembari memperhatikan Mas yang mulai menghampiriku dengan sebuah buku di genggamannya. Satu dua detik belum memberikan jawaban. Padahal, Mas sudah duduk dan mencoba membaca dengan nyaman. Bukannya mau bersikap egois, hanya saja saat itu kepalaku tiba-tiba penuh dengan pertanyaan tentang fenomena literasi yang cukup memprihatinkan di tengah pandemi kali ini.

Mungkin dari Teteman ada yang tahu mengenai fenomena itu? Beberapa bulan terakhir marak adanya pembajakan buku di media sosial. Syukurlah, ternyata banyak juga yang berupaya menghentikan oknum-oknum tersebut, ada yang berusaha memberitahu si penerbit bahkan sang penulis. You know-lah... salah satu penulis yang menjadi korban adalah Bang Tere. Sampai-sampai nih Bang Tere menulis novel yang sisinya berkaitan dengan bajak membajak tersebut (saya belum selesai baca, tapi kekalian bisa baca novelnya di google play book judulnya “Selamat Tinggal”).

Beberapa detik kemudian, Mas yang semula hanya fokus pada buku dipegangnya kini mulai beralih menatapku. Seseorang yang tidak banyak bicara tapi selalu menyebalkan itu mulai memasang aba-aba. Aku pikir Mas akan menjawab panjang lebar seperti pertanyaanku yang mungkin membutuhkan berlembar-lembar kertas untuk menulis jawabannya. Akan tetapi Mas berbeda. Dia hanya butuh satu kalimat yang membuatku langsung terpaku.

“Harga buku mahal bukan karena biaya produksi tapi yang membuat buku mahal itu idenya.”

Aku yang awalnya mengira pembajakan akibat nilai jual buku, kini hanya tercengang mendengar jawaban tersebut. Ternyata aku berpikiran terlalu sempit dan mengira masalah pembajakan akan bisa diatasi dengan memotong nilai jualnya saja. Aku sedang amnesiakah?

Bukankah selama ini aku tahu bila proses menulis itu tidak semudah membalikkan telapak tangan? Bisa menerbitkan sebuah buku saja itu  anugerah; perlu melintasi jalan yang tentunya enggak lurus dan semulus jalan tol (eh, jalan tol saja masih ada yang berkelok-kelok ‘kan?)

Jangankan buku, nulis begini saja susahnya minta ampun. Eh tiba-tiba ada yang seenaknya melipatgandakan atau ‘copas’ tanpa merasa bersalah sekalipun. Bukan hanya itu, pengaruh perkembangan teknologi kadang enggak sebaik yang dikira. Bahkan kutipan, atau kata-kata mutiara saja bisa diaku ‘milik sendiri(oknum)’ tanpa mencantumkan penulis atau sumbernya. Yaa.... beginilah sisi hitam putih dunia.

Setelah ngobrol ngalor-ngidul mengenai masalah buku, tiba-tiba Mas berdiri sembari menyebut-nyebut tokoh kenamaan Indonesia yakni Gus Dur. Memangnya apa hubungannya dengan beliau? Namun aku menyidik dan merasa mulai ada yang tidak beres.

Sembari membolak-balikkan buku Mas berkata, “Hanya orang bodoh yang mau meminjamkan bukunya dan hanya orang gila yang mau mengembalikan buku yang sudah dipinjam.”

“Awas saja yaaa kalau buku itu enggak dikembalikan!” tuturku langsung naik pitam.

Mas hanya tertawa. Huh! Menyebalkan!



Misteri Kupu-kupu dalam Drama Korea It’s Okay to Not Be Okay

It’s Okay to Not Be Okay baru tayang dua episode sudah membuat deg-degan. Drama serial  yang dibintangi oleh Kim Soo Hyun dan Seo Ye Ji ini terkesan cukup epik. Bisa dikatakan nih, drama ini berhasil menarik perhatian penonton (terkhusus author).

Beberapa bulan sebelum tayang, membaca judulnya saja membuat author sedikit menyidik, apakah drama ini akan menceritakan atau mengulik sedikit tentang psikologi?

“Kok bisa berpikiran seperti itu Thor?” dan  “Memangnya It’s Okay to Not Be Okay bercerita tentang apa sih Thor?

Ini hanya pendapat author sih, hal-hal yang berkaitan dengan kata ‘it’s okay’ itu seolah-olah menggambarkan psikis atau kondisi kejiwaan.  It’s okay seperti kunci petunjuk pada suatu permasalahan psikis yang tengah dialami seseorang. Pada topik ini bila dikaitkan dengan sebuah drama tidak menuntut kemungkinan bila sang tokoh yang berperan sedang mengalami suatu permasalahan psikis. Bisa jadi tokoh tersebut berupaya untuk memaafkan, melupakan peristiwa masa lalu yang kurang baik, dan sebagainya. Mungkin kali ini hanya sekadar kebetulan, tetapi opini tersebut  cukup berkaitan. Setelah menonton dua episode, ternyata tema yang diusung dalam It’s Okay to Not Be Okay terdapat masalah tersebut.

Secara singkatnya, It’s Okay to Not Be Okay menceritakan seorang perawat (bangsal psikiatris yang bertugas menulis kondisi pasien dan menenangkan pasien) bernama Moon Kang Tae (diperankan oleh Kim Soo Hyun) bertemu dengan seorang penulis buku anak Go Moon Young (diperankan oleh Seo Ye Ji) yang memiliki kepribadiaan yang sangat dingin. (Cukup aneh juga ya? Bila seorang penulis anak memiliki kepribadian yang seperti itu) meski begitu, Moon Young merupakan penulis yang cukup terkenal.

Usut punya usut mereka sebenarnya pernah bertemu di masa kecil. Kang Tae kecil tertarik terhadap teman perempuannya yang dingin tersebut, bahkan dia mengikutinya kemana pun teman perempuannya itu pergi. Suatu saat Kang Tae kecil ingin mengakui perasaannya namun dia malah kabur setelah melihat teman perempuan itu menangkap kupu-kupu dan menyakitinya hingga mati.

Suatu ketika peristiwa nahas menimpa Kang Tae kacil, ibunya meninggal sangat mengenaskan. Dalam potongan ingatan Kang Tae saat kecil itu, kakaknya yang bernama Moon Sang Tae (diperankan oleh Oh Jung Se) mengatakan bila ibu mereka dibunuh oleh kupu-kupu. (Kakak Kang Tae sedari kecil memang sudah mengalami keterbelakangan mental, jadi harap dimaklumi author pun masih belum bisa memecahkan ucapakan dari Sang Tae). Meninggalnya sang ibu membuat Kang Tae dan Sang Tae hanya hidup berdua. Mereka kabur dari kepolisian setelah Sang Tae memberikan kesaksiannya karena pihak berwajib ingin memisahkan mereka dan mengirim Kang Tae ke panti asuhan dan Sang Tae ke rumah sakit jiwa untuk dirawat. Sejak saat itulah hidup Kang Tae dan Sang Tae berpindah-pindah. Bahkan Kang Tae sudah lebih dari sembilan kali pindah bekerja sebagai perawat.

Beberapa cuplikan sedikit inilah yang membuat keberadaan kupu-kupu dalam drama ini menjadi misterius. Mengapa harus kupu-kupu? Sebenarnya kupu-kupu itu melambangkan tentang apa sih? Kenapa Moon Young suka menyakiti hewan ini? Lalu siapa yang membunuh ibu Kang Tae, bukankah Sang Tae mengatakan bila ibu mereka meninggal karena kupu-kupu?   

Dari beberapa sumber yang author baca, kupu-kupu itu melambangkan kebebasan tapi mengapa Moon Young malah membunuh lambang kebebasan tersebut? Apakah dalam dirinya merasa terkekang? Itukah penyebabnya ilustrasi dalam buku anak yang ditulisnya kurang pantas (menakutkan) bila dibaca oleh anak-anak?

Ah! Kita tunggu saja kelanjutan ceritanya di pekan depan.

 


Pertemuan Hujan dan Biola Mayra (Review Novel Ombrofobia karya Ang Setiawan)


Enggak tahu kenapa, hujan itu sering kali disandingkan dengan ingatan, kenangan dan tetek bengek-nya. Bukannya yang sok melankolis sih, hanya saja kehadiran hujan sering kali membuat banyak hal terlintas di kepala. Seolah-olah tuh, hujan membawa berbagai inspirasi, kekalian pernah merasa begitu juga enggak sih?
Ambrofobia
sumber: Guepedia.com

Ketika kehadiran hujan membawa inspirasi dan membuat psikis menjadi sedikit tenang wajarlah yaaa, namun bagaimana bila hujan menjadi salah satu sebab seseorang mengalami fobia?

“Memangnya ada Thor yang fobia pada hujan?”

Selama ini author belum pernah tahu sih secara fakta ada kasus tentang ketakutan berlebihan pada hujan. Akan tetapi setelah baca tentang fobia tidak menuntut kemungkinan bila di belahan negara lain ada yang mengalami hal tersebut. Bisa jadi orang-orang di sekitar kalian, atau malah kekalian sendiri?

Ngobrol masalah fobia nih, ada salah satu novel fiksi karya Anggoro Nur Setiawan yang bercerita tentang fobia berjudul Ombrofobia. Apa itu ombrofobia? Ombrofobia merupakan istilah fobia terhadap hujan. Secara singkatnya nih, novel ini menceritakan seorang gadis berusia 16 tahun bernama Mayra yang mengalami ombrofobia. Jadi, waktu itu ayahnya ingin mengantar Mayra les biola menggunakan sepeda motor namun karena hujan sangat deras si ayah tidak tahu bila ada jalan berlubang hingga membuat biola Mayra terlempar ke parit. Sebagai seorang ayah tentu enggak akan membiarkan anaknya dong yang akan mengambil biola yang terlempar itu? Ketika mencoba mengambil biola terjadilah kecelakaan, si ayah tidak was-was dan terseret arus parit yang saat itu cukup deras dan mengakibatkannya meninggal.

Dari peristiwa itu membuat si Mayra seperti menyalahkan diri terlebih menyalahkan hujan yang membuat ayahnya meninggal. Bahkan bukan hanya menyalahkan, kehadiran hujan malah membuat Mayra memiliki perasaan trauma atau ketakutan berlebihan. Hujan membuat kenangan pahit Mayra menyumbul satu persatu sehingga perasaan bersalah yang dideritanya semakin menumpuk. Suatu ketika dia mendapatkan pesan singkat misterius yang setidaknya membuat luka Mayra sedikit mengering. Siapakah pengirim pesan misterius itu? Lantas dapatkah Mayra kembali menjalani kehidupannya tanpa membenci atau takut kepada hujan?

Well, begitulah kisah Ombrofobia. Ada beberapa catatan author mengenai novel ini, pertama keunggulan: enggak perlu dipungkiri sih sebagai penulis Anggoro cukup piawai dalam mengolah ide ceritanya. Topik tentang hujan memang sudah umum, namun cara mengolah ide hujan menjadi ombrofobia ini yang cukup menarik. Kedua kekurangan: dalam novel ini terdapat kesalahan (error) pada kata depan, kata ulang; pengulangan pendeskripsian suasana dan tokoh. Akan tetapi sebagai penulis pemula ada kekurangan itu wajarlah yaaa... meski begitu enggak ada masalah kok, ceritanya masih bisa dinikmati.

Kemudian apa sih yang bisa author petik dari novel ini? Sebagai manusia kita ibarat miniatur yang tidak bisa memilih berbuat atau bergerak semaunya. Sebagai miniatur kita hanyalah objek–benda yang digunakan untuk menyeimbangkan latar, alur Si Pencipta.  Bukankah sebagai objek alangkah baiknya bila kita berupaya bisa menerima keadaan? Dengan menerima kita akan menyadari bahwa dalam dunia ini ada Sang Pengatur Yang Maha Tahu tentang apa dan hal terbaik apa yang bisa dijalani. Hal terpenting dari menerima adalah tanpa sengaja kita  belajar untuk selalu bersyukur dalam setiap keadaan.



Kenangan Di Lorong Rumah


Siapa manusia paling menjengkelkan di dunia ini, yang hobinya suka marah, jail, manja, cuek tapi peduli, baik juga perhatian? Tentunya bukan aku melainkan kita.

Aku seorang anak bungsu dan memiliki dua orang kakak yang terpaut usia cukup jauh. Kakak pertama biasa kupanggil Mbak Dian beda sepuluh tahun dan Mas Halim beda sembilan tahun. Mungkin kalian pikir enak ya jadi aku  memiliki kakak cewek dan cowok sekaligus? Pasti pun kalian mengira masa kanak-kanakku dipenuhi rasa gelak tawa bersama. Ya ... mungkin saja, sayangnya aku tak terlalu ingat. Yang kupahami ketika kelas 2 SD Mbak dan Mas sudah SMA bahkan sudah jarang di rumah karena sekolah di luar kota. Begitupun setelah kelas 8 SMP, kakak-kakakku sudah sibuk untuk menata masa depannya, ada yang memilih bekerja dan melanjutkan studinya.

Jangan kira karena usia terpaut cukup jauh itu, tidak ada percek-cokan di antara kami. Ah! Hal itu mustahil tidak terjadi. Kami tetaplah kakak beradik, insting untuk jail-menjaili, saling ejek, kecewa, marah sana-sini, tetap menjadi hal lumrah. Aku pun tidak memungkiri bila kehadiran Mbak dan Mas merupakan sumbu dari berbagai kekesalan di rumah. Dua manusia itu merupakan makluk penggangguku ketika belajar. Orang-orang yang selalu berhasil membuat mood-ku yang gembira seketika menjadi buruk. Rasanya aku seperti bahan pelampiasan saja. Kadang aku marah dan selalu menyalahkan keadaan sebagai anak bungsu. Meski adakalanya aku merasa tidak memiliki kekurangan apapun. Anak bungsu sepertiku memiliki jutaan perhatian yang berlimpah. Mungkin itulah arti perspektif orang-orang yang selalu menganggap bahwa anak bungsu itu manja. Bukannya mau membela diri, tetapi aku tidak setuju dengan pernyataan seperti itu. Toh, aku bahkan mungkin manusia yang bernasib sama tak pernah ingin diperlakukan demikian.

Ketika aku SMA, Mbak dan Mas sudah memiliki keluarga baru. Kupikir itulah awal berakhirnya seorang anak bungsu dalam keluarga. Anggota keluarga yang tercatat dalam kartu kelurga lambat laun menghilang satu persatu, hanya menyisakan namaku dan kedua orang tua. Saat itulah keadaanku serasa jungkir balik.  Suasana rumah yang kadang pecah oleh kejailan Mbak dan Mas, kini hanya menyisakan sunyi. Tidak ada lagi seseorang yang suka marah-marah enggak jelas seperti Mbak Dian maupun makhluk menyebalkan diseluruh semesta seperti Mas Halim. Ya, kedua makluk itu sekarang sibuk dengan urusan masing-masing.

Kini kami sudah lama dipisah oleh jarak. Apalagi ketika tahun terus bertambah, rasanya ... sudah tidak ada tempat hanya untuk menyeduh teh bersama, membicarakan hal ini dan itu, atau bercerita mengenai masa lalu. Akan tetapi, aku sangat bersyukur memiliki mereka. Aku tahu bila jarak tidak menghalangi kami untuk memahami satu sama lain. Kami tetaplah kakak beradik, bukan? Insting memiliki, peduli, juga saling mengisi kekosongan, bukankah sudah lama pula kami diajarkan demikian? Perjalanan, jarak, dan jauh pun merupakan makanan yang sudah sering kami rasakan.

Akan tetapi perjalan Mbak dan Mas kali ini bukan untuk kembali ke rumah lama kami, mereka telah menempati rumah bahkan berbaur dengan keadaan serba baru. Yaaa ... tidak masalah, meski perjalanan Mbak dan Mas menyisakan rongga kenangan di lorong rumah yang kini kutempati. 


Lapuk


Berhenti bukanlah satu-satunya cara untuk menepi. Bukankah manusia itu merupakan makhluk yang selalu ada-ada saja dalam benaknya? Seperti halnya aku dan ke-kini-anku sekarang, tengah melempar jangkar berupaya memotong talinya dan membiarkan dia terombang-ambing dalam samudera. Apakah aku terlalu kejam? Ah! Aku sudah tak peduli pada perahu yang lapuk itu. Tidak untuk kesekian–

Pertarungan Kekuasaan dan Keadilan, Siapakah yang akan Menang? (Review Film The Crucible)

The Crucible  atau Silenced  merupakan film Korea Selatan yang diadaptasi dari sebuah novel karya Gong Ji Young. Film yang memiliki judul sama dengan novel ini, disutradai oleh Hwang Dong Hyuk dan diproduksi pada 2011. Ada hal menarik dari film The Crucible selain diperankan oleh aktor dan aktris ternama, film ini diangkat dari kisah nyata yang terjadi tahun 2000-an dari salah satu sekolah di Korea Selatan bernama Gwangju Inhwa School.

Gwangju Inhwa School sebenarnya sekolah apa sih? Kemudian kasus apa yang menyebabkan peristiwa itu ditulis oleh pengarang kenamaan Korea Selatan  seperti Gong Ji Young?

Gwangju Inhwa School adalah sekolah khusus bagi siswa yang mengalami gangguan pendengaran atau tuna rungu (mungkin kalau di Indonesia seperti sekolah luar biasa kali ya?) yang didirikan pada tahun 1961. Dari beberapa sumber yang saya baca nih, sekolah ini operasinya sudah diberhentikan sejak tahun 2011 (setelah dua bulan film dirilis).

Lantas apa sih yang terjadi di Gwangju Inhwa School sehingga dikemas dalam sebuah film?

The Cruscible diawali sebuah cerita kedatangan seorang guru baru bernama Kang In Ho (yang diperankan oleh Gong Yoo) ke Gwangju Inhwa School sebagai Guru Seni. Di awal mengajar In Ho mengamati beberapa siswa yang sedikit berbeda dari yang lain.

Beberapa siswa seolah takut dan tak segan menghindar saat In Ho berupaya mendekat. Mendapat perlakuan seperti itu akhirnya dia bertanya ke salah satu guru dan mendapat jawaban bila mereka memang berbeda dari siswa yang lain (maksudnya bila sekolah Inhwa merupakan sekolah untuk siswa yang berkebutuhan khusus), tentu In Ho sudah tahu kondisi tersebut, tapi bukan itu yang dimaksudnya.

Ada perasaan aneh yang In Ho rasakan terhadap mereka yang berupaya menjaga jarak bahkan cenderung seperti mengalami trauma. Disebabkan pertanyaan masih tak menemukan jawaban, akhirnya Guru In Ho membaca rekam identitas siswa di kelasnya.


Ketika mencoba mengamati para siswa dan tempat barunya bekerja, Guru In Ho menemukan hal-hal mengganjal lainnya seperti mendengar teriakan siswa di kamar mandi dan melihat siswa yang tanpa takut duduk merenung di jendela kamar asrama yang cukup tinggi. Usut punya usut, keanehan-keanehan itu akhirnya menemukan titik temu ketika Guru In Ho menyaksikan seorang penanggung jawab asrama yang menghukum salah satu siswanya dengan mencelupkan kepala ke mesin cuci.

Dari peristiwa ini mulai terkuaklah masalah apa saja yang terjadi, salah satu contohnya bentuk kekerasan seksual yang dilakukan oleh beberapa guru terhadap siswa. Bukan hanya itu, yang paling miris dan memprihatinkan adalah kepala sekolah menjadi salah satu oknum yang melakukan tindakan asusila tersebut.

Akhirnya Guru In Ho memutuskan meminta bantuan seorang aktivis hak asasi manusia yang dikenalnya untuk melaporkan ke kementerian pendidikan bahkan kepolisian, tapi semua menolak dengan alasan bila bukti yang dibawa masih kurang. Bahkan salah seorang polisi mengatakan kepala sekolah tidak akan melakukan perbuatan asusila tersebut karena dikenal sebagai orang yang cukup religius dan dermawan.

Saat upayanya dalam memerangi ketidakkeadilan menemukan jalan buntu, salah satu reporter membantu untuk menayangkan dan menyebarluarkan video kesaksian siswa yang menjadi korban kejahatan tersebut. Tentu video itu menimbulkan banyak protes dan meminta pelaku untuk ditindak sesusai hukum yang berlaku.

Akan tetapi hukuman para oknum tidak sesuai dengan harapan, pengadilan hanya memberikan hukuman kurang dari satu tahun dan ada okum yang dibebaskan karena batas kejahatan mereka telah berakhir (saya enggak terlalu ngerti hukum sih, mohon dimaklumi).

Hal itu langsung menuai berbagai protes, dan menyulut kemarahan masyarakat bahkan salah seorang siswa memilih untuk balas dendam akibat hukuman yang tidak masuk akal tersebut , alasan lainnya karena dia  tidak bisa bersaksi karena keluarganya sudah disuap (mirisnya lagi memang para korban adalah siswa kurang mampu dan yatim piatu).  

Aksi siswa itu dilakukan dengan berupaya menyakiti pelaku dan ironisnya siswa tersebut juga mendapatkan akibat karena tertabrak kereta api. Namun dari ekspresinya saat itu, saya merasa bahwa dia bermaksud membela diri dan belum terima atas kematian adiknya yang juga bunuh diri di rel kereta api akibat perbuatan pelaku (fyi, adiknya juga pernah jadi korban dong, sedih banget). Dari ekspresinya sebelum melakukan aksi nekad itu, seolah-olah dia bilang “enggak apa-apa aku meninggal yang penting dia (pelaku) juga meninggal meski hukum enggak adil”.

Memang Guru In Ho saat itu tidak bisa berbuat banyak untuk memerangi ketidakadilan yang dialami siswanya. Namun dari kisah ini banyak yang mengkritik hukum kasus tersebut sehingga dilakukan penyelidikan ulang.

Well, memang sih diawal kisah keadilan hanya memihak kepada yang memiliki kuasa. Akan tetapi perlu diingat kembali bila setiap kekuasaan itu memiliki hukum vertikal, masih ada kekuasaan di atas kekuasaan. Lantas hukum vertikal itulah yang sering dilupakan atau sengaja dilupakan oleh manusia.

Dari kisah Gwanju Inhwa School ini enggak ada yang bisa saya katakan kecuali marah, miris, prihatin, kejam untuk para oknum. Akan tetapi saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Guru In Ho dan pihak terkait yang sudah memerangi hal tersebut. Semoga menjadi pembelajaran untuk dunia kependidikan selanjutnya.


Bunga Krisan: Kisah Tiga Detik


Pertama kali kau dan aku bertemu saat bunga krisan sedang mekar-mekarnya. Aku masih ingat dengan senyummu yang merekah kala itu, terlihat sangat hangat dan bersahabat. Akan tetapi tak lama kemudian aku kembali menatap mimik tajam dan dingin, raut sendu dan datar, ketika tak kurang dari tiga detik arus udara merenggut semua yang bersinar dari tangkainya. Saat itu pula aku melihat peristiwa aneh yang pernah ada di bumi. Bagaimana bisa jejemarimu tergores dan meninggalkan sebercak luka yang begitu dalam? Bukankah bunga itu tak berduri? Kini aku menyadari bila kita ibarat sebuah prosa yang dipertemukan dengan prolog dan berpisah sebagai ending-nya.

 

Lumajang, 2 Juni 2020


Kumpulan Kutipan dalam Novel Merantau ke Deli karya Hamka


Bila unggahan lalu membahas sedikit mengenai Novel Merantau ke Deli yang dapat kita pelajari dari sikap Poniem, kali ini akan author bagi beberapa kutipan dalam novel sebagai berikut:

“Seorang anak muda walaupun kaya raya melimpah-lipah uangnya, penuh pundi-pundinya, padat kantongnya dan berpintu-pintu kedainya di rantau orang, tetapi sekali dalam selama hidupnya haruslah ia membayar utang kepada negeri dan kampung halamannya.”

“Pernikahan adalah suatu tujuan yang suci atas bersatunya laki-laki dan perempuan. Tiga kali kita menyeberangi hidup, apabila ketiga kalinya telah diseberangi dengan selamat, bahagialah kita. Pertama hari kelahiran, hari suci. Kedua hari pernikahan, hari bakti. Ketiga hari kematian, hari yang sejati.”

“Karena seruan kampung halaman, seruan pancuran tempat mandi lebih keras rasanya, maka terbayang-bayanglah di matanya negeri kampung yang telah lama ditinggalkan itu, teringat masa kanak-kanak, masa kecil lagi.”

“Siapakah dia, bagaimanakah bentuk dan rupanya orang beroleh kemenangan itu, orang yang akan merampas singgasana yang dibinanya dengan aman sentosa sekian tahun lamanya?”

“Dalam kekusutan rumah tangga semacam ini yang paling buruk ialah apabila dimasukkan tangan orang lain ke dalamnya. Orang-orang yang tidak bertanggung jawab atas kebahagiaannya dari kita sendiri. Cara seperti ini masih menjadi kebiasaan yang ringan dalam kalangan bangsa kita.”

“Lantaran kesungguhan dan hati-hatinya; sepasang suami istri itu, dan kesadarannya yang telah mengikat mereka kedua belah pihak maka Allah tidaklah lupa memberi mereka rahmat dan nikmat. Dari kehematan dan cermat, serta memikirkan keadaan di hari tua, mereka hidup aman dan damai.”

“Mereka bersenang hati sebab niat mereka sudah tetap akan menjadi orang Deli selamanya. Mereka tidak mengingat lagi akan pulang ke tanah Jawa yang sangat banyak penduduknya itu. Mereka telah masuk ke dalam masyarakat baru, masyarakat Deli yang terhimpun dari berbagai suku dari segenap daerah Indonesia, untuk kelak melahirkan keturunan baru, anak Indonesia yang sejati.”