Lagi
Analisis Kajian Stilistika Pada Naskah Drama Cipoa Karya Putu Wijaya
Literasi ditengah Pandemi
“Katanya
kita harus melek literasi tapi kenapa harga buku itu kok mahal ya Mas? Bukannya
semakin harga murah maka semakin banyak yang beli dan tentunya semakin banyak
pula yang akan baca? Atau karena biaya produksi dan hal-hal sebagainya?”
Siang itu tanpa ba-bi-bu aku langsung melontarkan berbagai pertanyaan kepada Mas yang sedang asyik memilah buku koleksiku di kamar. Pandangannya dengan khidmat tertuju pada salah satu penulis asal Belitong yang karyanya sangat kental dengan tema pendidikan. Ya, siapa lagi kalau bukan Pak Cik.
Aku yang saat itu belum
menerima jawaban hanya bisa bergeming sembari memperhatikan Mas yang mulai
menghampiriku dengan sebuah buku di genggamannya. Satu dua detik belum
memberikan jawaban. Padahal, Mas sudah duduk dan mencoba membaca dengan nyaman.
Bukannya mau bersikap egois, hanya saja saat itu kepalaku tiba-tiba penuh
dengan pertanyaan tentang fenomena literasi yang cukup memprihatinkan di tengah
pandemi kali ini.
Mungkin dari Teteman ada yang tahu mengenai fenomena itu? Beberapa bulan terakhir marak adanya pembajakan buku di media sosial. Syukurlah, ternyata banyak juga
yang berupaya menghentikan oknum-oknum tersebut, ada yang berusaha memberitahu
si penerbit bahkan sang penulis. You know-lah...
salah satu penulis yang menjadi korban adalah Bang Tere. Sampai-sampai nih Bang
Tere menulis novel yang sisinya berkaitan dengan bajak membajak tersebut (saya belum selesai baca, tapi kekalian
bisa baca novelnya di google play book judulnya “Selamat Tinggal”).
Beberapa
detik kemudian, Mas yang semula hanya fokus pada buku dipegangnya kini mulai
beralih menatapku. Seseorang yang tidak banyak bicara tapi selalu menyebalkan
itu mulai memasang aba-aba. Aku pikir Mas akan menjawab panjang lebar seperti
pertanyaanku yang mungkin membutuhkan berlembar-lembar kertas untuk menulis
jawabannya. Akan tetapi Mas berbeda. Dia hanya butuh satu kalimat yang
membuatku langsung terpaku.
“Harga buku
mahal bukan karena biaya produksi tapi yang membuat buku mahal itu idenya.”
Aku yang awalnya mengira pembajakan akibat nilai jual buku, kini hanya tercengang mendengar jawaban tersebut. Ternyata aku berpikiran terlalu sempit dan mengira masalah pembajakan akan bisa diatasi dengan memotong nilai jualnya saja. Aku sedang amnesiakah?
Bukankah selama ini aku tahu bila proses menulis itu tidak semudah membalikkan telapak tangan? Bisa menerbitkan sebuah buku saja itu anugerah; perlu melintasi jalan yang tentunya enggak lurus dan semulus jalan tol (eh, jalan tol saja masih ada yang berkelok-kelok ‘kan?).
Jangankan buku, nulis
begini saja susahnya minta ampun. Eh tiba-tiba ada yang seenaknya melipatgandakan atau ‘copas’ tanpa merasa bersalah sekalipun. Bukan hanya itu, pengaruh perkembangan
teknologi kadang enggak sebaik yang dikira. Bahkan kutipan, atau kata-kata
mutiara saja bisa diaku ‘milik sendiri(oknum)’ tanpa mencantumkan penulis atau
sumbernya. Yaa.... beginilah sisi hitam putih dunia.
Setelah ngobrol
ngalor-ngidul mengenai masalah buku,
tiba-tiba Mas berdiri sembari menyebut-nyebut tokoh kenamaan Indonesia yakni Gus Dur.
Memangnya apa hubungannya dengan beliau? Namun aku menyidik dan merasa mulai
ada yang tidak beres.
Sembari membolak-balikkan buku Mas berkata, “Hanya orang bodoh yang mau meminjamkan bukunya dan hanya orang gila yang mau mengembalikan buku yang sudah dipinjam.”
“Awas saja
yaaa kalau buku itu enggak dikembalikan!” tuturku langsung naik pitam.
Mas hanya tertawa. Huh! Menyebalkan!
Misteri Kupu-kupu dalam Drama Korea It’s Okay to Not Be Okay
Beberapa bulan
sebelum tayang, membaca judulnya saja membuat author sedikit menyidik, apakah
drama ini akan menceritakan atau mengulik sedikit tentang psikologi?
“Kok bisa
berpikiran seperti itu Thor?” dan
“Memangnya It’s Okay to Not Be Okay bercerita tentang apa sih Thor?
Ini hanya pendapat author sih, hal-hal yang berkaitan dengan
kata ‘it’s okay’ itu seolah-olah menggambarkan psikis atau kondisi kejiwaan. It’s
okay seperti kunci petunjuk pada suatu permasalahan psikis yang tengah
dialami seseorang. Pada topik ini bila dikaitkan dengan sebuah drama tidak
menuntut kemungkinan bila sang tokoh yang berperan sedang mengalami suatu
permasalahan psikis. Bisa jadi tokoh tersebut berupaya untuk memaafkan, melupakan
peristiwa masa lalu yang kurang baik, dan sebagainya. Mungkin kali ini hanya
sekadar kebetulan, tetapi opini tersebut
cukup berkaitan. Setelah menonton dua episode, ternyata tema yang
diusung dalam It’s Okay to Not Be Okay
terdapat masalah tersebut.
Secara singkatnya, It’s
Okay to Not Be Okay menceritakan seorang perawat (bangsal psikiatris yang bertugas menulis kondisi pasien dan
menenangkan pasien) bernama Moon Kang Tae (diperankan oleh Kim Soo Hyun)
bertemu dengan seorang penulis buku anak Go Moon Young (diperankan oleh Seo Ye
Ji) yang memiliki kepribadiaan yang sangat dingin. (Cukup aneh juga ya? Bila seorang penulis anak memiliki kepribadian
yang seperti itu) meski begitu, Moon Young merupakan penulis yang cukup
terkenal.
Usut punya usut mereka sebenarnya pernah bertemu di masa
kecil. Kang Tae kecil tertarik terhadap teman perempuannya yang dingin
tersebut, bahkan dia mengikutinya kemana pun teman perempuannya itu pergi.
Suatu saat Kang Tae kecil ingin mengakui perasaannya namun dia malah kabur
setelah melihat teman perempuan itu menangkap kupu-kupu dan menyakitinya hingga
mati.
Suatu ketika peristiwa nahas menimpa Kang Tae kacil,
ibunya meninggal sangat mengenaskan. Dalam potongan ingatan Kang Tae saat kecil
itu, kakaknya yang bernama Moon Sang Tae (diperankan oleh Oh Jung Se)
mengatakan bila ibu mereka dibunuh oleh kupu-kupu. (Kakak Kang Tae sedari kecil memang sudah mengalami keterbelakangan
mental, jadi harap dimaklumi author pun masih belum bisa memecahkan ucapakan
dari Sang Tae). Meninggalnya sang ibu membuat Kang Tae dan Sang Tae hanya
hidup berdua. Mereka kabur dari kepolisian setelah Sang Tae memberikan
kesaksiannya karena pihak berwajib ingin memisahkan mereka dan mengirim Kang
Tae ke panti asuhan dan Sang Tae ke rumah sakit jiwa untuk dirawat. Sejak saat
itulah hidup Kang Tae dan Sang Tae berpindah-pindah. Bahkan Kang Tae sudah
lebih dari sembilan kali pindah bekerja sebagai perawat.
Beberapa cuplikan sedikit inilah yang membuat keberadaan
kupu-kupu dalam drama ini menjadi misterius. Mengapa harus kupu-kupu? Sebenarnya
kupu-kupu itu melambangkan tentang apa sih? Kenapa Moon Young suka menyakiti
hewan ini? Lalu siapa yang membunuh ibu Kang Tae, bukankah Sang Tae mengatakan
bila ibu mereka meninggal karena kupu-kupu?
Dari beberapa sumber yang author baca, kupu-kupu itu
melambangkan kebebasan tapi mengapa Moon Young malah membunuh lambang
kebebasan tersebut? Apakah dalam dirinya merasa terkekang? Itukah penyebabnya
ilustrasi dalam buku anak yang ditulisnya kurang pantas (menakutkan) bila dibaca oleh anak-anak?
Ah! Kita tunggu saja kelanjutan ceritanya di pekan depan.
Pertemuan Hujan dan Biola Mayra (Review Novel Ombrofobia karya Ang Setiawan)
Ketika
kehadiran hujan membawa inspirasi dan membuat psikis menjadi sedikit tenang
wajarlah yaaa, namun bagaimana bila hujan menjadi salah satu sebab seseorang
mengalami fobia?
“Memangnya ada Thor yang fobia pada
hujan?”
Selama
ini author belum pernah tahu sih secara fakta ada kasus tentang ketakutan
berlebihan pada hujan. Akan tetapi setelah baca tentang fobia tidak menuntut
kemungkinan bila di belahan negara lain ada yang mengalami hal tersebut. Bisa
jadi orang-orang di sekitar kalian, atau malah kekalian sendiri?
Ngobrol
masalah fobia nih, ada salah satu novel fiksi karya Anggoro Nur Setiawan yang
bercerita tentang fobia berjudul Ombrofobia.
Apa itu ombrofobia? Ombrofobia merupakan istilah fobia terhadap hujan. Secara
singkatnya nih, novel ini menceritakan seorang gadis berusia 16 tahun bernama
Mayra yang mengalami ombrofobia. Jadi, waktu itu ayahnya ingin mengantar Mayra
les biola menggunakan sepeda motor namun karena hujan sangat deras si ayah tidak
tahu bila ada jalan berlubang hingga membuat biola Mayra terlempar ke parit.
Sebagai seorang ayah tentu enggak akan membiarkan anaknya dong yang akan mengambil
biola yang terlempar itu? Ketika mencoba mengambil biola terjadilah kecelakaan,
si ayah tidak was-was dan terseret arus parit yang saat itu cukup deras dan
mengakibatkannya meninggal.
Dari
peristiwa itu membuat si Mayra seperti menyalahkan diri terlebih menyalahkan
hujan yang membuat ayahnya meninggal. Bahkan bukan hanya menyalahkan, kehadiran
hujan malah membuat Mayra memiliki perasaan trauma atau ketakutan berlebihan.
Hujan membuat kenangan pahit Mayra menyumbul satu persatu sehingga perasaan bersalah
yang dideritanya semakin menumpuk. Suatu ketika dia mendapatkan pesan singkat
misterius yang setidaknya membuat luka Mayra sedikit mengering. Siapakah
pengirim pesan misterius itu? Lantas dapatkah Mayra kembali menjalani
kehidupannya tanpa membenci atau takut kepada hujan?
Well, begitulah kisah Ombrofobia.
Ada beberapa catatan author mengenai novel ini, pertama keunggulan: enggak
perlu dipungkiri sih sebagai penulis Anggoro cukup piawai dalam mengolah ide
ceritanya. Topik tentang hujan memang sudah umum, namun cara mengolah ide hujan
menjadi ombrofobia ini yang cukup menarik. Kedua kekurangan: dalam novel ini
terdapat kesalahan (error) pada kata
depan, kata ulang; pengulangan pendeskripsian suasana dan tokoh. Akan tetapi sebagai
penulis pemula ada kekurangan itu wajarlah yaaa... meski begitu enggak ada masalah
kok, ceritanya masih bisa dinikmati.
Kemudian
apa sih yang bisa author petik dari novel ini? Sebagai manusia kita ibarat
miniatur yang tidak bisa memilih berbuat atau bergerak semaunya. Sebagai miniatur
kita hanyalah objek–benda yang digunakan untuk menyeimbangkan latar, alur Si
Pencipta. Bukankah sebagai objek
alangkah baiknya bila kita berupaya bisa menerima keadaan? Dengan menerima kita
akan menyadari bahwa dalam dunia ini ada Sang Pengatur Yang Maha Tahu tentang
apa dan hal terbaik apa yang bisa dijalani. Hal terpenting dari menerima adalah
tanpa sengaja kita belajar untuk selalu
bersyukur dalam setiap keadaan.
Kenangan Di Lorong Rumah
Siapa manusia paling menjengkelkan di dunia ini, yang hobinya suka marah,
jail, manja, cuek tapi peduli, baik juga perhatian? Tentunya bukan aku melainkan
kita.
Aku seorang anak bungsu dan memiliki dua orang kakak yang
terpaut usia cukup jauh. Kakak pertama biasa kupanggil Mbak Dian beda sepuluh
tahun dan Mas Halim beda sembilan tahun. Mungkin kalian pikir enak ya jadi
aku memiliki kakak cewek dan cowok
sekaligus? Pasti pun kalian mengira masa kanak-kanakku dipenuhi rasa gelak tawa
bersama. Ya ... mungkin saja, sayangnya aku tak terlalu ingat. Yang kupahami
ketika kelas 2 SD Mbak dan Mas sudah SMA bahkan sudah jarang di rumah karena
sekolah di luar kota. Begitupun setelah kelas 8 SMP, kakak-kakakku sudah sibuk
untuk menata masa depannya, ada yang memilih bekerja dan melanjutkan studinya.
Jangan kira karena usia terpaut cukup jauh itu, tidak ada
percek-cokan di antara kami. Ah! Hal itu mustahil tidak terjadi. Kami tetaplah
kakak beradik, insting untuk jail-menjaili, saling ejek, kecewa, marah
sana-sini, tetap menjadi hal lumrah. Aku pun tidak memungkiri bila kehadiran
Mbak dan Mas merupakan sumbu dari berbagai kekesalan di rumah. Dua manusia itu
merupakan makluk penggangguku ketika belajar. Orang-orang yang selalu berhasil
membuat mood-ku yang gembira seketika menjadi buruk. Rasanya aku seperti bahan
pelampiasan saja. Kadang aku marah dan selalu menyalahkan keadaan sebagai anak
bungsu. Meski adakalanya aku merasa tidak memiliki kekurangan apapun. Anak bungsu sepertiku memiliki jutaan
perhatian yang berlimpah. Mungkin itulah arti perspektif orang-orang yang
selalu menganggap bahwa anak bungsu itu manja. Bukannya mau membela diri,
tetapi aku tidak setuju dengan pernyataan seperti itu. Toh, aku bahkan mungkin
manusia yang bernasib sama tak pernah ingin diperlakukan demikian.
Ketika aku SMA, Mbak dan Mas sudah memiliki keluarga baru.
Kupikir itulah awal berakhirnya seorang anak bungsu dalam keluarga. Anggota
keluarga yang tercatat dalam kartu kelurga lambat laun menghilang satu persatu,
hanya menyisakan namaku dan kedua orang tua. Saat itulah keadaanku serasa
jungkir balik. Suasana rumah yang kadang
pecah oleh kejailan Mbak dan Mas, kini hanya menyisakan sunyi. Tidak ada lagi
seseorang yang suka marah-marah enggak jelas seperti Mbak Dian maupun makhluk
menyebalkan diseluruh semesta seperti Mas Halim. Ya, kedua makluk itu sekarang
sibuk dengan urusan masing-masing.
Kini kami sudah lama dipisah oleh jarak. Apalagi ketika
tahun terus bertambah, rasanya ... sudah tidak ada tempat hanya untuk menyeduh
teh bersama, membicarakan hal ini dan itu, atau bercerita mengenai masa lalu. Akan
tetapi, aku sangat bersyukur memiliki mereka. Aku tahu bila jarak tidak
menghalangi kami untuk memahami satu sama lain. Kami tetaplah kakak beradik,
bukan? Insting memiliki, peduli, juga saling mengisi kekosongan, bukankah sudah
lama pula kami diajarkan demikian? Perjalanan, jarak, dan jauh pun merupakan
makanan yang sudah sering kami rasakan.
Akan tetapi perjalan Mbak dan Mas kali ini bukan untuk
kembali ke rumah lama kami, mereka telah menempati rumah bahkan berbaur dengan
keadaan serba baru. Yaaa ... tidak masalah, meski perjalanan Mbak dan Mas
menyisakan rongga kenangan di lorong rumah yang kini kutempati.
Lapuk
Pertarungan Kekuasaan dan Keadilan, Siapakah yang akan Menang? (Review Film The Crucible)
The Crucible atau Silenced merupakan film Korea Selatan yang diadaptasi dari sebuah novel karya Gong Ji Young. Film yang memiliki judul sama dengan novel ini, disutradai oleh Hwang Dong Hyuk dan diproduksi pada 2011. Ada hal menarik dari film The Crucible selain diperankan oleh aktor dan aktris ternama, film ini diangkat dari kisah nyata yang terjadi tahun 2000-an dari salah satu sekolah di Korea Selatan bernama Gwangju Inhwa School.
Gwangju Inhwa School sebenarnya sekolah apa sih? Kemudian kasus apa yang menyebabkan peristiwa itu ditulis oleh pengarang kenamaan Korea Selatan seperti Gong Ji Young?
Gwangju Inhwa School adalah sekolah khusus bagi siswa
yang mengalami gangguan pendengaran atau tuna rungu (mungkin kalau di Indonesia seperti sekolah luar biasa kali ya?)
yang didirikan pada tahun 1961. Dari beberapa sumber yang saya baca nih,
sekolah ini operasinya sudah diberhentikan sejak tahun 2011 (setelah dua bulan film dirilis).
Lantas apa sih yang terjadi di Gwangju Inhwa School sehingga dikemas dalam sebuah film?
The Cruscible diawali sebuah cerita kedatangan seorang
guru baru bernama Kang In Ho (yang diperankan oleh Gong Yoo) ke Gwangju Inhwa
School sebagai Guru Seni. Di awal mengajar In Ho mengamati beberapa siswa yang
sedikit berbeda dari yang lain.
Beberapa siswa seolah takut dan tak segan menghindar saat
In Ho berupaya mendekat. Mendapat perlakuan seperti itu akhirnya dia bertanya
ke salah satu guru dan mendapat jawaban bila mereka memang berbeda dari siswa
yang lain (maksudnya bila sekolah Inhwa
merupakan sekolah untuk siswa yang berkebutuhan khusus), tentu In Ho sudah
tahu kondisi tersebut, tapi bukan itu yang dimaksudnya.
Ada perasaan aneh yang In Ho rasakan terhadap mereka yang
berupaya menjaga jarak bahkan cenderung seperti mengalami trauma. Disebabkan
pertanyaan masih tak menemukan jawaban, akhirnya Guru In Ho membaca rekam
identitas siswa di kelasnya.
Ketika mencoba mengamati para siswa dan tempat barunya
bekerja, Guru In Ho menemukan hal-hal mengganjal lainnya seperti mendengar
teriakan siswa di kamar mandi dan melihat siswa yang tanpa takut duduk merenung
di jendela kamar asrama yang cukup tinggi. Usut punya usut, keanehan-keanehan
itu akhirnya menemukan titik temu ketika Guru In Ho menyaksikan seorang
penanggung jawab asrama yang menghukum salah satu siswanya dengan mencelupkan
kepala ke mesin cuci.
Dari peristiwa ini mulai terkuaklah masalah apa saja yang
terjadi, salah satu contohnya bentuk kekerasan seksual yang dilakukan oleh
beberapa guru terhadap siswa. Bukan hanya itu, yang paling miris dan
memprihatinkan adalah kepala sekolah menjadi salah satu oknum yang melakukan
tindakan asusila tersebut.
Akhirnya Guru In Ho memutuskan meminta bantuan seorang
aktivis hak asasi manusia yang dikenalnya untuk melaporkan ke kementerian pendidikan
bahkan kepolisian, tapi semua menolak dengan alasan bila bukti yang dibawa
masih kurang. Bahkan salah seorang polisi mengatakan kepala sekolah tidak akan
melakukan perbuatan asusila tersebut karena dikenal sebagai orang yang cukup
religius dan dermawan.
Saat upayanya dalam memerangi ketidakkeadilan menemukan
jalan buntu, salah satu reporter membantu untuk menayangkan dan menyebarluarkan
video kesaksian siswa yang menjadi korban kejahatan tersebut. Tentu video itu
menimbulkan banyak protes dan meminta pelaku untuk ditindak sesusai hukum yang
berlaku.
Akan tetapi hukuman para oknum tidak sesuai dengan
harapan, pengadilan hanya memberikan hukuman kurang dari satu tahun dan ada
okum yang dibebaskan karena batas kejahatan mereka telah berakhir (saya enggak terlalu ngerti hukum sih, mohon
dimaklumi).
Hal itu langsung menuai berbagai protes, dan menyulut
kemarahan masyarakat bahkan salah seorang siswa memilih untuk balas dendam
akibat hukuman yang tidak masuk akal tersebut , alasan lainnya karena dia tidak bisa bersaksi karena keluarganya sudah
disuap (mirisnya lagi memang para korban
adalah siswa kurang mampu dan yatim piatu).
Aksi siswa itu dilakukan dengan berupaya menyakiti pelaku
dan ironisnya siswa tersebut juga mendapatkan akibat karena tertabrak kereta
api. Namun dari ekspresinya saat itu, saya merasa bahwa dia bermaksud membela
diri dan belum terima atas kematian adiknya yang juga bunuh diri di rel kereta
api akibat perbuatan pelaku (fyi, adiknya
juga pernah jadi korban dong, sedih banget). Dari ekspresinya sebelum
melakukan aksi nekad itu, seolah-olah dia bilang “enggak apa-apa aku meninggal yang penting dia (pelaku) juga meninggal
meski hukum enggak adil”.
Memang Guru In Ho saat itu tidak bisa berbuat banyak
untuk memerangi ketidakadilan yang dialami siswanya. Namun dari kisah ini
banyak yang mengkritik hukum kasus tersebut sehingga dilakukan penyelidikan
ulang.
Well, memang sih diawal kisah keadilan hanya memihak kepada
yang memiliki kuasa. Akan tetapi perlu diingat kembali bila setiap kekuasaan
itu memiliki hukum vertikal, masih ada kekuasaan di atas kekuasaan. Lantas
hukum vertikal itulah yang sering dilupakan atau sengaja dilupakan oleh
manusia.
Dari kisah Gwanju Inhwa School ini enggak ada yang bisa saya
katakan kecuali marah, miris, prihatin, kejam untuk para oknum. Akan tetapi
saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Guru In Ho dan pihak terkait
yang sudah memerangi hal tersebut. Semoga menjadi pembelajaran untuk dunia
kependidikan selanjutnya.
Bunga Krisan: Kisah Tiga Detik
Pertama kali kau dan aku bertemu saat bunga krisan sedang mekar-mekarnya. Aku masih ingat dengan senyummu yang merekah kala itu, terlihat sangat hangat dan bersahabat. Akan tetapi tak lama kemudian aku kembali menatap mimik tajam dan dingin, raut sendu dan datar, ketika tak kurang dari tiga detik arus udara merenggut semua yang bersinar dari tangkainya. Saat itu pula aku melihat peristiwa aneh yang pernah ada di bumi. Bagaimana bisa jejemarimu tergores dan meninggalkan sebercak luka yang begitu dalam? Bukankah bunga itu tak berduri? Kini aku menyadari bila kita ibarat sebuah prosa yang dipertemukan dengan prolog dan berpisah sebagai ending-nya.
Lumajang, 2 Juni 2020
Kumpulan Kutipan dalam Novel Merantau ke Deli karya Hamka
Bila unggahan lalu membahas sedikit mengenai Novel Merantau ke Deli yang dapat kita pelajari dari sikap Poniem,
kali ini akan author bagi beberapa kutipan dalam novel sebagai berikut:
“Seorang anak muda walaupun
kaya raya melimpah-lipah uangnya, penuh pundi-pundinya, padat kantongnya dan
berpintu-pintu kedainya di rantau orang, tetapi sekali dalam selama hidupnya
haruslah ia membayar utang kepada negeri dan kampung halamannya.”
“Pernikahan adalah suatu tujuan
yang suci atas bersatunya laki-laki dan perempuan. Tiga kali kita menyeberangi
hidup, apabila ketiga kalinya telah diseberangi dengan selamat, bahagialah
kita. Pertama hari kelahiran, hari suci. Kedua hari pernikahan, hari bakti.
Ketiga hari kematian, hari yang sejati.”
“Karena seruan kampung halaman,
seruan pancuran tempat mandi lebih keras rasanya, maka terbayang-bayanglah di
matanya negeri kampung yang telah lama ditinggalkan itu, teringat masa
kanak-kanak, masa kecil lagi.”
“Siapakah dia, bagaimanakah
bentuk dan rupanya orang beroleh kemenangan itu, orang yang akan merampas
singgasana yang dibinanya dengan aman sentosa sekian tahun lamanya?”
“Dalam kekusutan rumah tangga
semacam ini yang paling buruk ialah apabila dimasukkan tangan orang lain ke
dalamnya. Orang-orang yang tidak bertanggung jawab atas kebahagiaannya dari
kita sendiri. Cara seperti ini masih menjadi kebiasaan yang ringan dalam
kalangan bangsa kita.”
“Lantaran kesungguhan dan
hati-hatinya; sepasang suami istri itu, dan kesadarannya yang telah mengikat
mereka kedua belah pihak maka Allah tidaklah lupa memberi mereka rahmat dan
nikmat. Dari kehematan dan cermat, serta memikirkan keadaan di hari tua, mereka
hidup aman dan damai.”
“Mereka bersenang hati sebab
niat mereka sudah tetap akan menjadi orang Deli selamanya. Mereka tidak
mengingat lagi akan pulang ke tanah Jawa yang sangat banyak penduduknya itu.
Mereka telah masuk ke dalam masyarakat baru, masyarakat Deli yang terhimpun
dari berbagai suku dari segenap daerah Indonesia, untuk kelak melahirkan
keturunan baru, anak Indonesia yang sejati.”